Aku masih di kamar yang pengap. Di luar mau gelap. Koran-koran berserakan di lantai. Beberapa buku telanjang di atas meja. Pada televisi telah dilantungkan azan. "Hayyalashshala" aku abai dan baru menggoreskan beberapa kalimat pada suratku ini.
Maria sayangku. Ketika kesempatan membawamu datang padaku. Kuingin sekali melarikan kedua tanganku untuk mendekapmu. Ada rindu yang menyiksa harus kau tahu. Dan, kalau kau tak keberatan, biarkan bibirku menjamah bibirmu. Tapi sayang kau datang bersama dia yang telah beruntung menjadi suamimu. Inginanku dibatasi ruang dan keadaan.
Masih kuingat raut wajahmu kala itu. Kau sedih melihat keadaanku kumal. Hanya kau yang tahu pasti alasanmu. Mungkin saja memang benar kau bersimpati. Bisa saja kau tidak rida mantan pacarmu berujung begini. Kau pun menangis. Kulihat air matamu mengucur deras mengaliri pipimu. Dia mengusap pundakmu mencoba menenangkanmu.
Kenapa kau tidak datang seorang diri saja Maria? Batinku bertanya. Sehari saja kuminta waktumu untuk menemaniku. Ada banyak perihal penting yang harus kubagi. Ataukah kau merasa tidak aman menemuiku seorang diri. Sehingga kau butuh partner untuk membendung segala kemungkinan yang terjadi, apalagi keadaanku seperti ini. Tidak Maria! Aku tidak cukup berani untuk mengusikmu yang sekarang sudah menjadi istri orang. Kendati akal sehatku sering tidak berfikir sehat untuk menakalimu terakhir saja.
Sangat kusayangkan kau tidak bisa membaca sorot mataku, Maria. Pancarannya masih sama dari yang kau rasakan dan kau saksikan ketika kita masih bersama. Sorot mata seperti ini sama apa yang kau lihat saat kubacakan sajak-sajak cinta Gibran padamu. Sorot mata yang sama ketika kita berdua di kafe menikmati secangkir kopi dan teman-temannya. Sorot mata yang sama saat kuminta kau menanggalkan segala pakaianmu dan kulepas juga yang ada pada diriku. Bertahun-tahun kita melalui banyak kenangan. Bagaimana bisa semudah itu kau lupa?
Biarlah kau bersama orang-orang salah kaprah tentang keadaanku. Karena kenyataannya aku tidak benar-benar seperti ini. Kupilih begini untuk mengakali satu dari dua pilihan keadaan. Dan, diakhir surat ini kau akan tahu mengapa. Kalau kau masih tidak percaya, Maria. Baiklah, dengarkan aku sekarang.
Ketika orang-orang terbuai dengan berita-berita yang ada. Pilkada serentak memakan anggaran membukit. Tentang berita partai politik yang tidak ada habisnya untuk dibahas. Tentang LGBT yang masih menjadi polemik. Tentang seratus hari kinerja salah seorang gubernur yang terus diberitakan. Apakah puas atau tidak puas khalayak. Sementara seratus hari kinerja puluhan gubernur tidak bernafsu untuk dibicarakan. Mungkin kau akan beranggapan itu wajar, toh ibu kota negara harus diprioritaskan.
Iya harus menjadi prioritas. Sampai-sampai semua pada kaget ketika menyaksikann derita Asmat. Busung lapar dan campak di sana bikin hati menjerit. Ketika semua sudah terlanjur terjadi, barulah kita saling menampakkan diri memberikan pertolongan bak malaikat kesiangan. Wajar Maria. Kita memang bangsa yang suka mengobati, bukan bangsa yang suka mencegah.
Di salah satu sekolah dasar, ada oknum guru olahraga mencabuli 16 siswanya. Bayangkan Maria! 16 siswa, bukan satu atau tiga siswa. Dan, ini bukan kali pertama yang terjadi seperti itu di dunia pendidikan kita, ada banyak kejahatan dengan bermacam-macam modus. Kalau sudah seperti ini, saya makin percaya diri membenarkan perkataanku waktu kita bersama, bahwa pendidikan di tempat kita memang pincang dan matanya picek.
Maria cintaku. Masih belum kau percaya kalau aku hanya pura-pura dalam kondisi seperti ini? Orang yang tidak waras, tidak akan mau mati-matian menonton televisi membaca koran. Lalu menyimpulkan apa yang ia lihat diketik rapi pada komputer kemudian dicetak untuk dikirimkan pada mantan pacarnya. Hanya aku yang seperti itu, tandanya aku memang pura-pura seperti ini.
"Untuk apa satu periode lima tahun memerintah jika dinilai belum cukup melaksanakan program kerja?" Pertanyaanmu waktu itu. Sengaja kuingatkan kau kembali, bahwa ingatanku masih waras.