Kehilangan—sebuah kata yang terdengar tidak asing di telinga kita. Siapapun di dunia ini pasti pernah mengalaminya. Entah dalam konteks kehilangan seseorang yang kita sayangi maupun suatu peristiwa yang—setidaknya—meluluh-lantakkan diri kita. Tetapi, seberapa sering Anda mendengar ungkapan demikian ketika mengalami ataupun mungkin menyaksikan seseorang mengalami kehilangan yang menyebabkannya berduka secara mendalam?
“Yang ikhlas yaa…”
“Inget, harus ikhlas.”
“Sudah takdir Tuhan.”
“Sudah jalannya begini.”
“Kamu nggak boleh gitu, karena tandanya kamu ngga menerima takdir Tuhan. Itu dosa!”
Ungkapan seperti ini mungkin seringkali kita dengar ketika seseorang mengalami big lost. Bisa jadi orang-orang di sekitar kita—yang menyayangi kita—memang tidak ingin melihat kita terus menerus terpuruk. Atau bisa juga karena mereka tidak memahami grieving, entah karena nilai yang diyakini atau memang tidak memiliki pengetahuan mengenai itu. Namun, jika kita mencoba menyaksikan film The Starling karya Theodore Melfi, sutradara yang sukses mengangkat isu kesetaraan dalam film Hidden Figures (2016), tentu akan menambah wawasan bagi kita untuk lebih memahami grieving. Menariknya lagi, The Starling dibintangi oleh Melissa McCarthy, aktris kelahiran 1970 yang lekat dengan tema-tema komedi yang justru kontradiktif dengan proyeknya kali ini.
Grieving adalah berduka. Mengutip dari American Psychological Association, grief merupakan penderitaan yang dialami setelah kehilangan yang sangat besar, biasanya kematian orang yang dicintai. The Starling bercerita tentang pasangan bahagia Lilly dan Jack Maynard (diperankan oleh McCarthy dan Chris O’Dowd) yang baru saja dikaruniai satu putri bernama Katie. Namun kebahagiaan itu sirna dalam sekejap ketika Katie mengalami sindrom kematian bayi mendadak (SIDS) dan mereka harus kehilangan bayi mereka seketika. Di sinilah yang menjadi inti cerita dalam film ini yang sekaligus menjadi bahan refleksi tulisan ini.
Baik Lilly maupun Jack mengalami kedukaan yang mendalam dimana Jack memilih ‘mengasingkan diri’ dari kehidupannya ke bangsal psikiatri, sedangkan Lilly berjuang mengatasi kesedihannya dengan kembali dalam rutinitas kehidupannya. Sekilas akan nampak klise bagi kedua karakter ini dimana ketika bersedih semuanya mencari jalan untuk mengatasi kesedihan itu, baik dengan rutinitas kesibukan maupun mencari bantuan profesional. Namun bukan itu saja yang akan coba kita telusuri dan tulisan ini pun bukan untuk mereview atau menilai film ini sebagai karya seni audio-visual.