Oleh Abdul Malik
Sejarah kita seperti sebuah genangan yang di dalamnya penuh dengan kaca. Kalau kita masuk, kita terluka –Afrizal Malna
RATNA INDRASWARI IBRAHIM (1949-2011), sastrawan Malang, memasuki sejarah kelam negeri ini tanpa gamang. Berusaha menyembuhkan luka-luka yang dideranya dengan menulis. Novel 1998 dan Lemah Tanjung adalah dua buku yang mencatat perziarahannya pada lorong sejarah negeri ini. Lewat sastra Ratna Indraswari Ibrahim mengabadikan mozaik sejarah negeri ini, khususnya Malang. Novel 1998 dan Lemah Tanjung adalah karya magnum opus Ratna Indraswari Ibrahim. Dua buku tersebut didiskusikan di Warung Kelir Jl.Panglima Sudirman, Rampal Malang, oleh Prof DR Djoko Saryono, MPd, Yusri Fajar dan Aridia Elwiq Primadani. Dwi Ratih Ramadhany sebagai moderator. Sebuah peristiwa kebudayaan tepat di Hari Kebangkitan Nasional. Pelangi Sastra Malang (On Stage) # 37 diselenggarakan oleh Komunitas Pelangi Sastra Malang. Salah satu narasumber, Yusri Fajar (37), alumnus Universitas Bayreuth Bayern, Jerman, mengulas dengan runut dua buku tersebut. Menurutnya dalam novel 1998, yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012, Ratna Indraswari Ibrahim menjadikan Malang sebagai sentral gerakan reformasi, bukan Jakarta.
[caption id="attachment_409866" align="aligncenter" width="300" caption="Denny Mizhar, koordinator Pelangi Sastra Malang (dok.Pelangi Sastra Malang)"][/caption]
“Pada pertengahan 1994 aku masuk kuliah di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya di Kota Malang. Aku masuk dunia kampus dan bertemu dengan teman-teman baru: Neno, Heni, Marzuki, Gundul, Rudi, dan Zizi. Mereka adalah magnet yang beredar di duniaku.Daya tarik mereka luar biasa.” (hal.1)
Saat Mbak Ratna, demikian saya biasa memanggilnya, menyelesaikan novel 1998, saya masih sering silaturahmi ke rumahnya di Jl. Diponegoro 3 Malang. Semula novel tersebut berjudul Saksi Mata, namun menjelang naik cetak ada perubahan judul karena Saksi Mata sudah dipakai Seno Gumira Ajidarma untuk kumpulan cerpennya. Dipilih 1998 sebagai penanda bahwa di tahun tersebut peristiwa reformasi dan pergantian kekuasaan terjadi. Judul 1998 mengingatkan saya pada judul buku George Orwell “1984”. Tak apalah, selama kita masih dibawah langit, memang tak ada yang benar-benar baru. Demikian sebuah kalimat bijak yang pernah saya baca. Nama-nama tokoh dalam novel 1988, sebagian besar adalah nama-nama yang ada dalam dunia real. Mereka adalah sahabat-sahabat Mbak Ratna yang sering berdiskusi maupun sekedar mampir minum kopi di Jl.Diponegoro 3. Mbak Ratna ‘meminjam’ nama-nama mereka sebagai nama tokoh dalam novel 1998. Salah satu tokoh di novel 1998 adalah Zizi, dalam dunia nyata adalah panggilan akrab Azizah Hefni, alumnus Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang. Cerpennya “Pleidooi” dimuat sekaligus menjadi judul kumpulan cerpen Pleidooi, Pelangi Sastra Malang Dalam Cerpen (Mozaik Community, Malang, 2009). Zizi kini tinggal di Jogja.Tokoh Gundul adalah Nurahman Joko Wiryanu, alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Angkatan 1986. Awalnya membentuk kelompok diskusi Gemapakasi dengan Didit ‘Dalbo” Aditya Harsa (alm). Kemudian mendirikan Forkom (Forum Komunikasi Mahasiswa Malang), gerakan advokasi untuk rakyat, kelompok yang menolak mahasiswa ekstra kampus Cipayung. Gundul adalah panggilan akrabnya. Saya beberapa kali bertemu Cak Gundul di rumah Mbak Ratna, menjelang novel 1998 rampung. Novel 1998 berkisah tentang runtuhnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Mbak Ratna membalut kisah dalam novel tersebut lewat tokoh Neno, aktivis mahasiswa Universitas Brawijaya yang memiliki kekasih Putri, anak Walikota Malang. Jika kita menelisik sejarah Kota Malang, di tahun 1994-1998 sesuai dengan setting waktu di novel 1998, maka Walikota Malang saat itu adalah H.M.Soesamto (menjabat 1988-1998). Lalu siapakah tokoh Neno? “Di Malang tak ada aktivis yang diculik hanya kawan-kawan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pasca Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) 91-92. Di Malang, PRD hanya di Universitas Muhammadiyah Malang dipimpin oleh Wiwin. Penculikan dikuntit sepulang dari YLBHI. Yang pacaran dengan anak walikota adalah Gugun kawan Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya, kuliah di Fakultas Hukum Unair. Anak pendeta GKJW Sitiharjo. Dia pacaran dengan anak Pak Tom Walikota Malang di Jl.Ijen. Gugun sekarang menikah dengan dosen IKIP,” Jumali, salah satu aktivis Malang berkirim kabar dari Bogor. “Ada aktivis Malang namanya Masduki, alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya angkatan 86 sama dengan Gundul. Masduki kayak tokoh dalam novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, dia naik skuter. Kini Masduki menarik diri dari politik. Masduki macul bertanam jeruk di Srono Banyuwangi dan masih membujang. Tahun 2000-an saya ketemu Masduki di Tebet Jakarta bikin sekber yang dibantu Rizal Ramli.Masduki sempat saling taksir dengan Yeny Rosa Damayanti, anak Brigjen”, Jumali menambahkan sejumlah informasi. “secara kwalitatif mas e gundul yang namanya rudy da’ok itu yang dekat luar dalam dengan mbak ratna, luar dalam, inspiratif konon juga yang support relasi hingga mbak ratna ikut festival beijing, disamping mbak lastri kompas.”. Boleh jadi, tokoh Rudi di novel 1998 merujuk pada Rudi Da’uk.
[caption id="attachment_409867" align="aligncenter" width="300" caption="Dua narasumber:Aridia Elwiq Primadani dan Yusri Fajar. Dwi Ratih Ramadhany sebagai moderator. (dok.Pelangi Sastra Malang)"]
[/caption]
Novel 1998 memang tak sepenuhnya murni karya jurnalistik dan investigasi sehingga tak semua hal yang terjadi di dunia nyata ‘diangkut’ ke dalam karya sastra. Namun demikian 1998 juga tak sepenuhnya fiksi, karena didalamnya mencatat peristiwa-peristiwa yang memang terjadi. Sebut saja cerita penculikan mahasiswa (lewat tokoh Neno) yang belum tuntas hingga hari ini.
“Penggalian kisah hidup Neno sendiri sebetulnya tidak kemana-mana. Dia berada di suatu ruangan yang tidak jauh dari rumah yang ditumpangi teman-temannya.Waktu itu Neno bersama teman-teman ke Senayan. Pada malam itu dia kepingin ke warung telekomunikasi untuk menelepon Putri. Kemudian dua orang menguntit dan mengajaknya masuk ke mobil. “Kita ngobrol sebentar. Kami ingin membuktikan kamu bukan agen CIA.”Neno tercengang dan sebelum sempat berargumentasi dia sudah diseret masuk dalam mobil. Mereka menyeret Neno ke sebuah rumah kosong dan membiarkannya selama 3 hari tanpa seorangpun yang datang. Kemudian dengan mata yang ditutup Neno dipindahkan, lalu masuk ke sebuah sel yang pengap. Satu-satunya yang diinginkan Neno waktu itu adalah hal sedehana, udara segar seperti udara di halaman belakang rumahnya. (hal.227).
[caption id="attachment_409868" align="aligncenter" width="300" caption="Prof DR Djoko Saryono, MPd, dari Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang dalam orasi budaya bertajuk "] [/caption]
Novel 1998 memang membawa kita pada usaha melawan lupa. Sebuah usaha yang membutuhkan energi besar, boleh jadi malah membuat kita menjadi sendiri.”Ratna Indraswari Ibrahim adalah sosok yang telah menemukan kesejatian diri sebagai manusia. Lewat karya-karya sastranya membuktikan bahwa Ratna Indraswari Ibrahim begitu gigih dalam melawan segala hal, baik kultural maupun sosial,” Prof DR Djoko Saryono, MPd, dari Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang dalam orasi budaya bertajuk “Ratna, Sastra dan Kemanusiaan”.
Malam itu, Komunitas Pelangi Sastra Malang menghadirkan sebuah “legacy” bagi Ratna Indraswari Ibrahim. “Poinnya pada karya-karya Mbak Ratna, Lemah Tanjung misalnya dalam kajian kritik sastra lingkungan, dalam novel 1998 pun memberi inspirasi tentang pergerakan 1998 saat jatuhnya orde baru. Nah, karya-karya Mbak Ratna perlu dibaca, diapresiasi dan perlu kritik. Stimulus itulah Pelangi Sastra Malang bikin acara,” ujar Denny Mizhar, koordinator Komunitas Pelangi Sastra Malang sembari meng-update portal sastra www.pelangisastramalang.org bersama Redy Eko Prastyo. “Sehabis Lebaran nanti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Pelangi Sastra Malang akan menyelenggarakan Workshop Menulis Esai. Pesertanya 30 hingga 40 orang.Syaratnya menyerahkan tulisan berupa esai tema sosial, politik, budaya dan sastra. Gratis”.
[caption id="attachment_409871" align="aligncenter" width="300" caption="Swara Akustik (Abia Kana & Antok Yunus). (dok.Pelangi Sastra Malang)"] [/caption]
Begitu banyak sahabat Mbak Ratna hadir malam itu (20/5/2014), membaca dan mengapresiasi karyanya. Elyda K Rara (Komunitas Seni Ranggawarsita) membaca cerpen “Klown dengan Lelaki Berkaki Satu”, Swara Akustik (Abia Kana & Antok Yunus), Winda Carmelita, Rif Faruq Max Mandar, Sabda Musa (Komunitas Lembah Ibarat), Malam Puisi Malang, Okerhankestra (Farhani Kn dkk), IFGC (Feri H.Said dkk), Arie Triangga Sari, Denny Mizhar. Felix Nessi dari Komunitas Titik Sastra Universitas Merdeka Malang membaca puisi Gerakan karya Mbak Ratna, 1979:
Aku merasa pusing dan ingin keluar saja dari kamar ini / Kau menahanku, cobalah sejenak di sini….. / Betapa kecil! / Di tempatmu dingin dan kau hampir tertutup / Lantas dia menyanyi bersama topeng itu / Seperti pisau tajam / Kebisingan menyakitiku…
[caption id="attachment_409872" align="aligncenter" width="300" caption="Dalam novel 1998 Ratna Indraswari Ibrahim menjadikan Malang sebagai sentral gerakan reformasi, bukan Jakarta. Demikian ulasan Yusri Fajar (37), alumnus Universitas Bayreuth Bayern, Jerman. Novel 1998 karya terakhir Ratna Indraswari Ibrahim (1949-2011) diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012. (dok. Abdul Malik)"] [/caption]
Ah, setelah 1000 hari berpulang, karya-karya Ratna Indraswari Ibrahim masih tertoreh di benak sahabat-sahabat dan anak-anak muda dari berbagai komunitas sastra, musik, seni rupa, teater, film, seni tradisi. Mbak Donik, panggilan akrab Aridia Elwiq Primadani, editor novel 1998, memberi kabar suka cita bahwa 12 cerpen Mbak Ratna telah diterjemahkan ke bahasa Jerman oleh Sabine Mueller. Kabar yang lain: Ferdinal, mahasiswa School of History, Heritage and Society DeakinUniversity, Melbourne sedang menulis disertasi karya-karya Mbak Ratna dan 3 penulis Indonesia lainnya: Putu Wijaya, AA. Navis dan Seno Gumira Ajidarama.(*)
[caption id="attachment_409874" align="aligncenter" width="300" caption="Ratna Indraswari Ibrahim. (dok.Rumah Budaya Ratna)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H