Lihat ke Halaman Asli

Abdul Malik

penulis seni budaya

Saya Bersyukur Menjadi Seniman Ludruk

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1427936369176987348

Totok Suprapto, Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang (PALMA):

Saya bersyukur menjadi seniman ludruk

Oleh Abdul Malik

[caption id="attachment_407139" align="aligncenter" width="300" caption="Totok Suprapto, Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang (PALMA), "Saya bersyukur menjadi seniman ludruk "(dok. Abdul Malik)"][/caption]

Saya pribadi bersyukur menjadi seniman ludruk. Saya  mendapat banyak fasilitas yang memudahkan hidup saya saat saya menjadi seniman ludruk. Berbagai fasilitas dapat saya nikmati ketika saya main ludruk. Naik pesawat terbang bersama kawan-kawan Ludruk Mandala, naik kereta api eksekutif bersama Ludruk Mandala saat pentas ludruk dari Jakarta ke Bandung,  Semarang; naik  bus pariwisata ber ac saat pulang ke Jatim dari Jakarta. Saya bangga dan bersyukur kepada Tuhan..Saya juga bisa jadi Bupati, Walikota diatas panggung ludruk meskipun hanya 3 jam…he he..Demikian Totok Suprapto (64), Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang (PALMA), memulai kisah hidupnya. (4/9/2014).

Siang itu, di rumahnya yang tenang di Jl.Kuntul 1 Kecamatan Sukun Kelurahan Tanjungrejo Kota Malang, Totok Suprapto sedang merancang desain gerbang pintu masuk desa. Rumahnya yang lain di Jl.Kakak Tua Utara 4 dipakai untuk usaha.

Jika sedang senggang, Totok Suprapto menyalurkan hobinya memancing dan beternak kucing Persia.

Totok Suprapto masuk Malang untuk ngludruk tahun 70-an. Bergabung dengan Ludruk Wijaya Kusuma unit 2 yang dibina oleh Inmindam VIII Brawijaya. Setelah 1981 Totok hijrah ke Jakarta gabung dengan Ludruk Mandala Jakarta. Bermitra dengan Nurbuat, Kabul.

Setelah 1982 Totok Suprapto kembali gabung dengan kawan-kawan Malang di Ludruk Persada. Sekitar awal 1990, Totok sementara tidak aktif di ludruk. Totok Suprapto menyiapkan anak-anaknya sekolah. Penghasilan dari main ludruk tidak cukup. Totok bekerja diluar dunia ludruk namun tetap di wilayah kesenian. “Awal 2005  Pak Henri Supriyanto dan Mas  Teguh melobby saya dan saya diminta untuk kembali ikut ngurusi kesenian khususnya ludruk,” kata Totok Suprato.

Henri Supriyanto mendirikan paguyuban ludruk yang waktu itu dinamai Polma (Paguyuban Organisasi Ludruk Malang). Berdiri tahun 2000  dengan Ketua Pak Haji Buamin Sahara. Periode kedua Totok Suprapto terpilih sebagai Ketua Polma (2005). Menurut penuturan Totok Suprapto, Polma sendiri merupakan suatu organisasi yang mempunyai tujuan agar seni ludruk tetap lestari, eksis dan meningkatkan sumber daya  para pemain ludruk. Polma tidak menerima tanggapan orang punya hajat hanya even tertentu yang berkaitan dengan program pemerintah semisal keluarga berencana.

Dalam perjalanannya, ternyata Polma tidak berhasil mewujudkan tujuan dibentuknya lembaga tersebut. Salah satu penyebabnya karena ketua organisasi di masing-masing ludruk tidak sepaham dan kemungkinan malah tidak mengerti tujuan awal terbentuknya Polma. Polma pun  diganti menjadi  Palma (Paguyuban Arek Ludruk Malang) tahun 2009. Terobosan yang digagas Palma rupanya juga tak mampu mencapai sasaran yang diharapkan. Banyak faktor yang menyebabkan Palma tidak maksimal. Sehingga Palma pun vakum.

Namun demikian tentu ada program Palma yang patut dicatat. Salah satunya adalah Palma mengadakan pentas ludruk di Gedung Dewan Kesenian Malang di Jalan Majapahit. Pentas digelar tiap sabtu malam minggu mulai pukul 19.30 hingga jam sebelas malam. Seluruh biaya kegiatan ditanggung  Dwi Cahyono, Ketua Dewan Kesenian Malang, saat itu. Kegiatan digelar dalam dua periode. Tiap  periode durasi nya tiga bulan. Jadi tiap periode minimal digelar 12 pentas ludruk. Yang pernah tampil antara lain ludruk Taruna Budaya, Tjap Jempol, Palma.  Totok Suprapto menampilkan judul lakon yang unik: Kepala Stasiun, Gara-gara sandal antik, Bukan korban mutilasi, Lidah mertua, Siapa bersalah. Polma dan Palma rutin tampil di even Malang Tempoe Doeloe sejak tahun  2006.

Menurut Totok Suprapto , yang pernah menjadi pengurus Dewan Kesenian Malang, pentas ludruk rutin dengan durasi pendek juga tak mampu merangsang komunitas ludruk membuat pola terobosan baru bagi dunia ludruk maupun bagi penanggap.Pola main tidak mau berubah manakala mereka membuat durasi pendek. Pentasnya masih seperti suguhan di terop. Ceritanya panjang hingga jam dua belas malam baru usai.

Palma Vakum

Paguyuban Arek Ludruk Malang (Palma) saat ini vakum. Menurut Totok Suprapto, sebagai Ketua Palma hal tersebut disebabkan karena pola pikir seniman ludruk yang  belum mau berubah. Mengalami semacam syndrome pada hal-hal yang baru. Menurut mereka hal-hal yang baru tadi tidak benar. Mereka tidak berpikir bahwa ludruk lahir sebagai anak jaman. Di awal kelahirannya didahului dengan ludruk ngamen, besutan sehingga ludruk itu mengalami evolusi sandiwara ludruk. Dalam perjalanan waktu di hari ini, ludruk dituntut mengikuti perkembangan jaman.

Totok Suprapto memberikan solusi terkait kemasan ludruk saat ini. “Kenapa tidak menampilkan ludruk dengan durasi pendek, enak dan segar tapi tetap ludruk rasane.. Kenapa durasi pendek? Ludruk sendiri banyak saingannya. Lha wong bioskop saja tutup karena sarana hiburan di rumah sangat lengkap. Ada TV yang  acaranya menarik, belum lagi cd dan dvd,”

Totok Suprapto kisaran tahun 80-81 an pernah tampil di Sarinah Thamrin lantai 12 Jakarta dengan ludruk durasi  pendek. Main jam setengah delapan, jam sebelas malam selesai.

Ludruk yang gabung di Polma berjumlah 15 -20 group. Namun kalau ditelusuri dengan cermat sebetulnya hanya 5 group. Cara untuk membuktikannya adalah dengan mengadakan festival ludruk dimana semua ludruk tampil bersamaan di beberapa tempat. Kalau tiap ludruk minimal memiliki 30 orang maka untuk 20 group mesti tersedia 600 pemain. Kongkritnya hanya 150 orang yang siap. Inilah fenomena ludruk papan nama.

“Di jaman saya, tahun 70-an sampai awal 85-an ludruk masih memiliki pemain tetap.Ludruk Tumpang ada sendiri, Ludruk Wijaya Kusuma,Persada, Armada.Tahun 70-an, Inmindam VIII Brawijaya membina 4 group kesenian, yaitu Ludruk Wijaya Kusuma unit 1 (eks Ludruk Marhaen), Wijaya Kusuma unit 2 (eks Ludruk Malang Selatan), wayang orang Wijaya Kusuma, band Wijaya Kusuma”, Totok Suprapto berkisah.

Sekretariat Inmindam VIII Brawijaya di Jalan Retawu, kemudian pindah ke Bok Glodok. Kantor pusat Inmindam VIII Brawijaya di belakang Skodam. Totok Suprapto tercatat sebagai tenaga honorer Kodam VIII Brawijaya. Gaji pertama sebesar 2825 rupiah, (harga emas saat itu  400 rupiah per gram), beras 10 kg (untuk bujangan), untuk keluarga sesuai jumlah anak. Sebagai ludruk binaan Inmindam VIII Brawijaya , maka tugas Ludruk Wijaya Kusuma adalah menghibur pasukan, sebagai ‘corong’ suara pemerintah Orde Baru. Pentas ludruk Wijaya Kusuma pun lebih banyak di zona militer antara lain pentas di ulang tahun Angkatan Darat di lapangan Rampal, kemudian tampil saat pembukaan Transad (tranmigrasi lokal Angkatan Darat, di Kedawung Pasuruan, Sumbermanjing Wetan, dan Blitar Selatan); dan 3 kali  pentas di penjara Lowokwaru.

Tahun 80-an, menjelang Pemilu, saya dan kawan-kawan ludruk menghibur transad di Sumbermanjing Wetan panggung ludruk belum siap. Karena panitia lokal sibuk dengan pembagian bibit cengkeh dan karet. Kami noto sendiri panggung ludruknya”. Inilah salah satu pengalaman paling berkesan bagi Totok Suprapto.

Kenapa ludruk di Malang sepi tanggapan jika dibanding dengan order ludruk di Jombang, Mojokerto dan Sidoarjo? Di tiga wilayah tersebut, sebuah kelompok ludruk masih mampu menerima terop 20 atau 15 kali. Sementara di Malang dalam satu bulan ada 2 job itu sulit apalagi 5 tanggapan, sangat kesulitan. Totok Suprapto menganalisa hal tersebut karena sistem mainnya. Ludruk di Mojokerto, Jombang, Sidoarjo sistem mainnya persiapan panggungya masih lama seperti memakai panggung seperti arena tinju, sehingga tidak memerlukan peralatan yang banyak. Dan memangkas biaya transportasi. Sementara di Malang, ludruk membawa tobongan sendiri mengakibatkan pembengkakan pada biaya tanggapannya. Di Mojokerto, ludruk kecil biaya tanggapannya  7 juta, sudah bisa. Sedangkan di Malang dengan biaya tanggapan15 juta belum mau berangkat. Ini yang menyebabkan sepi tanggapan ludruk di Malang. Minimal 17-18 juta baru mau berangkat, khusus untuk ludruk Armada (Dampit) 25 juta.

“Saya pernah menyampaikan solusi agar ludruk di  Malang berani membuat 2 macam tarif. Pertama: pakai tobongan, kedua dengan sistem lama yaitu bawa kelir satu sebagai background sehingga bisa menekan harga. Rasa sama kemasan lain. Cukup 8 juta.Ludruk tidak mau. Karena pimpinan ludruk adalah juragan yang sudah kadung invest dananya ke peralatan panggung ludruk.”

Keturunan Demak

Totok Suprapto nunut lahir di Cepu, 21 Mei 1950. Bapak dari Demak dan ibu dari Kediri. Sekolah Rakyat di Cepu, lalu SMP 5 di Jalan Rajawali Surabaya, SMA Mujahidin Perak Surabaya. Totok Suprapto ikut kakaknya yang bekerja sebagai Brimob Resimen 4 Surabaya di Jl Waspada 1 (sekarang Pasar Atum). Kakaknya punya group ludruk  Duta Budaya. Seluruh anggota ludruk diangkat jadi polisi. (tahun 67- an). Setelah ludruk bubar tetap mereka tetap jadi polisi. Kakaknya adalah Komandan Peleton Brimob. Kalau sabtu malam minggu ludruk Duta Budaya nggedong di Surabaya, Totok remaja ikut dan semakin membuatnya kepincut pada dunia ludruk. Kemudian ikut narik kelir, sebagai figuran anak, melatih wayang gontok. Selepas SMA tahun 67 memutuskan ikut ludruk namun pihak keluarga tak setuju. Pihak keluarga meminta Totok remaja ikut daftar angkatan atau Brimob. Namun cintanya pada dunia ludruk tak semakin kendor. Totok lalu gabung Cak Meler di ludruk Bintang Surabaya, kemudian berpindah ke ludruk Wijaya Kusuma di Malang (tahun 70-an). Totok Suprapto bersyukur pernah belajar dan sepanggung dengan pelawak ludruk seperti Cak Kartolo, Cak Blontang, Cak Meler, Cak Basman, Cak Rukun. Meskipun allround di dunia ludruk, Totok Suprapto lebih mendalami keaktoran, dan pemandu cerita (sutradara).

Epilog

Sebagai Ketua Palma, Totok Suprapto tetap aktif membangun relasi dan jejaring dengan berbagai lembaga seni di Malang Raya. Totok Suprapto pernah menjadi pengurus Dewan Kesenian Malang di era Dwi Cahyono. Juga turut membantu di Dewan Kesenian Kabupaten  Malang saat Adi Pracoyo sebagai Ketua. Totok Suprapto juga masih intens berkomunikasi dengan seniman ludruk di Batu semisal Pak Raden.

Ludruk harus ada di Malang.Masih banyak seniman ludruk yang gigih seperti Mas Wito, Mas Sutak, Mas Marsam. Ludruk punya nafas lebih lama dibanding ketoprak. Karena menggunakan pengantar bahasa Indonesia sehingga bisa diterima publik,” tegas Totok Suprapto yang pernah main ludruk di Banyumas, Semarang, Bandung dan di panggung Pasar Baru dekat lumpur Lapindo, Sidoarjo. (*)

Alamat:

Totok Suprapto,

Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang (PALMA)

Jl.Kakak tua utara 4 Kecamatan Sukun Kelurahan Tanjungrejo

Kota Malang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline