Tulisan ini juga dipublikasikan di laman: http://www.siperubahan.com/read/2242/Urgensi-Pengadilan-Rakyat-Internasional-atas-Tragedi-1965
Kejahatan Hak Asasi Manusia yang menjadi perhatian IPT 1965 adalah kejahatan kemanusiaan, termasuk di dalamnya kejahatan seksual terhadap laki-laki dan perempuan yang terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air pada tahun 1965 dan sesudahnya, sebagaimana dilaporkan oleh Komnas HAM pada 2012 dan para peneliti lainnya, yang memakan korban lebih dari sejuta manusia dan juga nasib keluarga mereka yang terus menerima stigma dan diskriminasi sampai sekarang. Semua kejahatan yang terjadi di peristiwa 1965 meliputi semua kejahatan yang tercantum dalam pasal 9 dari UU No. 26 tahun 2000, meliputi semua kejahatan kemanusiaan seperti perkosaan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, dll.
Tujuan International People’s Tribunal (IPT) 1965 adalah memberikan ruang kepada korban untuk bersuara karena mereka telah dibungkam dan direndahkan sampai sekarang. Kisah-kisah kekejaman yang mereka alami harus diperdengarkan dengan jelas terutama kepada masyarakat internasional yang selama ini menutup mata terhadap kejahatan kemanusiaan ini serta untuk meruntuhkan stigma, kekerasan dan diskriminasi terhadap para korban dan penyintas dan keluarga mereka yang masih berlangsung sampai sekarang. IPT 1965 akan berkontribusi terhadap pemulihan dan rehabilitasi para korban, penyintas, dan keluarganya.
Menyusun catatan publik atas kejahatan kemanusiaan 1965 dan sesudahnya, termasuk laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, laporan penyelidikan resmi institusi HAM yang merupakan catatan publik pertama namun tidak pernah menerima pengakuan dari negara serta tidak ditindaklanjuti meski telah menjadi catatan observasi komite CEDAW dan Human Rights Council. Catatan publik ini akan digunakan IPT ‘65 sebagai bukti kejahatan kemanusiaan tahun 1965 dan setelahnya sesuai dengan standar hukum nasional dan internasional.
Dengan membuka ruang debat publik khususnya tentang sejarah kekerasan di Indonesia postkolonial, sebagai upaya membangun keadilan sosial dan supremasi hukum. Poses ini akan memulihkan hak rakyat untuk mengetahui sejarah mereka sendiri terutama bagi jutaan anak sekolah dan mahasiswa yang selama ini menerima pelajaran sejarah yang didistorsi oleh rezim Orde Baru. Mata rantai kekerasan sangat penting untuk segera diputus agar tidak terulang kembali dengan cara menyusun kampanye pengungkapan kebenaran sekitar peristiwa 1965, baik oleh negara maupun masyarakat sipil lainnya, serta menyatakan bahwa propaganda sebagai kejahatan kemanusiaan sebagaimana preseden dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda. Kejahatan kemanusiaan baru lainnya yang akan diperlihatkan kepada publik adalah mengenai pencabutan paspor massal yang dilakukan negara terhadap ribuan pemuda dan pelajar Indonesia yang sedang menunaikan tugas belajar dari negara ketika tragedi 1965 itu terjadi.
Untuk mendapatkan perhatian internasional yang serius terhadap kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh negara Indonesia pada tahun 1965 maupun setelahnya, karena proses tindak lanjut yang lamban untuk membawa pelaku kejahatan ke pengadilan, maka penting mengundang pelapor khusus PBB untuk pelanggaran HAM masa lalu datang ke Indonesia.
Kegagalan dan keengganan (impunitas) negara, dalam hal ini penguasa, untuk melaksanakan tanggung jawabnya telah berlangsung secara terus-menerus selama hampir 50 tahun, meski tuntutan telah dilakukan berulang kali sejak era Soeharto sampai era reformasi. Pemerintah belum berupaya mengungkap kebenaran karena terus mempertahankan narasi sejarah versi Orde Baru. Negara juga belum meminta maaf secara resmi kepada korban yang dipenjara tanpa proses pengadilan dan keluarga jutaan korban yang terbantai. Alih-alih melakukan itu semua, negara malah membiarkan stigma “PKI” versi Orde Baru terus berkembang di masyarakat hingga hari ini. Sedangkan para penyintas (survivor) dan cendekiawan telah melakukan penelitian secara cermat dan membenarkan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer dan milisi sipil. Sementara itu, penolakan Kejaksaan Agung dan pihak lainnya atas laporan Komnas HAM pada 2012 lalu, membuat laporan tersebut belum dapat diproses ke DPR sebagai syarat bagi Presiden untuk mendirikan Pengadilan HAM ad hoc.
IPT ’65 akan menggalang kekuatan dari suara para korban, masyarakat sipil nasional dan internasional. IPT ’65 memiliki format sidang HAM formal. Ini bukan sebuah sidang kriminal yang menuntut seseorang atas sebuah dakwaan melakukan tindak pidana, melainkan pihak penuntut akan mendakwa Negara Indonesia agar bertanggungjawab secara moral dan hukum berdasarkan bukti-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan yang tersebar luas dan sistematis paska 1965-1966.
Bukti-bukti yang ada berupa dokumen, materi audivisual, pernyataan para saksi dan bukti-bukti legal lainnya akan dipresentasikan dalam sidang. Majelis Hakim akan melakukan penghakiman dengan menguji bukti-bukti dan membangun rekam sejarah yang akurat dan sahih sebagai dasar untuk memberikan putusannya setahun setelah Pengadilan Rakyat tersebut dilaksanakan.
Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) 1965 adalah inisiatif para penyintas kejahatan kemanusiaan 1965, aktivis hak asasi manusia, pegiat seni, jurnalis, mantat anggota Komnas HAM, intelektual, akademisi, dan masyarakat yang bersolidaritas terhadap korban. Akan diadakan pada 10-13 November 2015 di Den Haag untuk menandakan 50 tahun pembunuhan massal dan kejahatan kemanusiaan 1965. Pembacaan putusan Pengadilan HAM Internasional akan dilaksanakan pada tahun 2016 di Jenewa.
Jika pemerintah belum berniat mengungkap kebenaran, saatnya rakyat sipil bicara.