Lihat ke Halaman Asli

Vita Brevis: Perempuan Penggugat Orang Suci

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1387700145949890736

Judul asli: Vita Brevis

Author: Jostein Gaarder

Judul terjemah: Vita Brevis, Sebuah Gugatan dari Cinta

Santo Agustinus adalah seorang bapak Gereja yang dihormati karena kewibawaannya dan pujangga gereja (doctor ecclessiae) yang dikagumi karena pemikiran-pemikirannya yang luas dan mendalam. Ajaran-ajarannya begitu membekas dalam sejarah Gereja bahkan sampai sekarang. Siapa gerangan berani mengawali suratnya pada Uskup Agustinus dengan cara yang begitu informal? Penulis surat ini adalah Aemelia Floria yang mengaku sebagai bekas kekasih Agustinus. Floria terpaksa menulis karena dalam banyak hal ia tidak setuju dengan apa yang ditulis Agustinus dalam Confessiones yang termasyhur itu.

Kenakalan Agustinus (termasuk dalam hal-hal seksualitas) merupakan salah satu bunga indah dari sejarah hidupnya. Dalam kisah tentang hidup Agustinus, kesuciannya tidak pernah bisa dipisahkan dari pengalaman hidup yang mendahuluinya, yaitu petualangan asmara yang menghasilkan seorang anak bernama Adeodatus. Kontras antara dua periode hidupnya ini yang justru membuat hidup Agustinus tampak indah dengan berbagai perjuangannya.

Kisah hidupnya bersama Floria merupakan bagian dari hidupnya sebelum menjadi seorang kristiani. Rasa hampir tidak percaya saat Codex Floriae muncul adalah karena kisah itu ditulis oleh Floria sendiri. Ibu adeodatus itu berbicara sendiri tentang hubungan mereka. Bekas calon menantu Monica (Ibu dari Agustinus) itu bicara sendiri tentang bekas calon mertuanya. Sejauh ini, orang yang bernama Floria tidak pernah berbicara kecuali disebut-sebut tanpa nama dalam tulisan Agustinus.

Pengakuan Floria ini sendiri tentu bisa menimbulkan akibat pada “kebenaran” yang selama ini ditulis tentang dirinya. Bahkan, pasti punya akibat dengan cara kita memandang Agustinus, Monica ibunya, dan hal lain yang berkaitan dengan hubungan mereka. Yang menarik, Floria tidak hanya berbicara tentang kisah mereka berdua, melainkan juga mendebat tentang pandangan hidup Agustinus setelah ia menjadi seorang Kristen.

Pengakuan St. Agustinus

Agustinus lahir di Tagaste pada 354. Pada usia enam belas tahun ia dikirim oleh orangtuanya ke Carthage untuk belajar retorika. Di sanalah ia kemudian bertemu dengan seorang “perempuan muda” dan tinggal bersamanya selama empat belas tahun. Selama di Carthage ia pernah menjadi anggota kelompok Manikean (Manichean). Pada awal 380-an, ia pergi ke Roma, tempat ia membuka sekolah retorika. Di sana ia mendapat tawaran untuk menjadi guru retorika di Milano. Setelah diuji oleh ahli retorika Symmachus, ia diterima dan berangkat ke Milano dan bertemu dengan Uskup Ambrosius. Pertemuannya ini menjadi jalan bagi Agustinus untuk memeluk Agama Kristen. Pada 387 ia dibaptis oleh Uskup Milano Ambrosius. Pada 388 ia kembali ke Afrika. Pada 391 ia ditahbiskan menjadi imam, kemudian diangkat menjadi uskup di Hippo tahun 396 sampai meninggalnya tahun 430. Buku Confessiones ditulis dari tahun 397 sampai 400. Buku ini berkisah tentang perjalanan hidupnya sampai akhirnya ia dibaptis. Buku inilah yang kemudian dikomentari oleh Floria.

Buku Confessiones Agustinus dibagi menjadi 13 bagian. Buku 1 berjudul “Masa Kanak-kanak” bercerita tentang pengalaman masa kecil. Buku 2 “Agustinus Berumur Enam Belas Tahun”, berisi pengalaman Agustinus pada masa remaja. Buku 3 “Masa Muda Selanjutnya”, berisi masa mudanya sebagai mahasiswa di Carthage sampai ia mengenal Manikeisma. Pengalaman ini kemudian dibicarakan secara khusus pada Buku 4 “Agustinus Sang Manikean”. Buku 5 “Di Roma dan Milano”, bercerita tentang pengalamannya sebelum menjadi seorang Katolik. Buku-buku selanjutnya berisikan dialog internal Agustinus tentang isi ajaran Katolik dan pergulatannya untuk mensintesiskan dengan latar belakang intelektual sebelumnya: “Persoalan Akal dan Kepercayaan” (Buku 7), “Rahmat Iman” (Buku 8), “Seorang Katolik Baru” (Buku 9), “Filsafat Ingatan” (Buku 10), “Waktu dan Keabadian” (Buku 11), “Bentuk dan Materi” (12), dan Penciptaan Dunia” (13).

Codex Floria sebagai Pengakuan Balik

“Saya harus mengakui bahwa pikiran ini menggelisahkan saya, namun saya memohon pada Tuhan agar suara seorang perempuan juga didengarkan oleh Gereja. Barangkali engkau masih ingat sesuatu yang saya katakan padamu pada pagi hari saat kita berjalan turun ke Forum Romanum dan melihat lapisan salju tipis yang menutupi Palatina. Waktu itu saya berbicara tentang tragedi Medea karya Seneca yang baru saja saya baca. Dalam dramanya dia mengatakan bahwa pihak lain sebaiknya juga didengarkan, dan pihak lain itu adalah saya.” (Codex Floriae).

Kalau tulisan Agustinus mengambil judul Pengakuan (Confessiones), tulisan Floria pantas disebut Pengakuan Balik. Seperti kita baca dalam kutipan di atas, Floria juga ingin didengarkan, ia juga ingin membuat pengakuan seperti halnya Agustinus. Bahkan ia juga ingin pengakuannya didengarkan oleh Gereja, dan tidak hanya oleh Agustinus sendirian.

Memang, sejauh ini “pihak lain” tidak pernah didengar suaranya dan bahkan tidak diketahui namanya. Mengapa Agustinus tidak pernah menyebut “ibu Adeodatus” dalam Pengakuannya? Mungkinkah untuk melindungi Floria atau melindungi dirinya sendiri dari perasaan yang tidak diinginkan. Dalam terjemahan Confessiones berbahasa Inggris, buku 6 bab 15 “Ibu Adeodatus”, berbunyi:

“In the meantime my sins were multiplied. The woman with whom I was wont to share my bed was torn from my side as an impediment to my marriage. My heart still clung to her: it was pierced and wounded within me, and the wound drew blood from it. She returned to Africa, vowing that she would never know another man, and leaving with me our natural son.”

Begitulah “Ibu Adeodatus” menjadi tidak bernama dan kedudukanya sebagai agensi dalam sejarah juga dilupakan sampai akhirnya naskah Codex Floriae ditemukan pada tahun 1995 di Buenos aires pada sebuah book fair. Naskah itu berasal dari abad ke-16. Seorang peneliti manuskrip dan juga penerjemah Vita Brevis ke dalam bahasa Inggris, Anne Born menganggap mustahil bahwa naskah itu ditulis pada abad ke-16. Dari sintaksis dan kosakatanya berasal dari abad ke-5, berisi campuran sensualitas dan kesan refleksi religius Floria. Usaha Born untuk melacak ke perpustakaan Vatikan tidak membuahkan hasil. Jadi, memang landasan kepercayaannya pada keaslian naskah hanya pada bahasa. Kalau landasan itu yang digunakan, pembuktian memang hanya menjadi privelese para classicists, dalam hal ini mereka yang ahli dalam bahasa latin.

Confessiones mulai ditulis Agustinus kira-kira tahun 397 dan selesai tahun 400. Kita tidak tahu tahun berapa Floria membaca teks Confessiones. Anggaplah pada tahun 400 itu juga dan langsung menanggapinya. Dengan pengandaian ini, pembuka surat Floria berbicara:

Tentu saja rasanya aneh menyapamu dengan cara ini. Dulu, sekian waktu yang lalu, saya pasti hanya akan menuliskan “Aurel kecilku yang lincah”. Namun kini, LEBIH DARI SEPULUH TAHUN sejak engkau memelukku, banyak hal berubah.”

Angka berapa kira-kira yang dimaksud dengan “LEBIH DARI SEPULUH TAHUN?” apakah dua belas, tiga belas, lima belas? Kebersamaan terakhir antara Floria dan Agustinus terjadi dua tahun sebelum kematian Adeodatus. Menurut sejarah, Adeodatus meninggal antara tahun 389 atau 390. Jadi, kebersamaan itu berakhir pada tahun 387. Kita tahu dari sejarah bahwa tahun ini (pada hari paskah) Agustinus dibaptis. Kita mungkin meragukan bahwa pada tahun itu mereka berdua masih berhubungan. Mungkinkah setelah dibaptis Agustinus masih berhubungan dengan Floria?

Floria menulis: “Kamu tidak jatuh ketika beberapa minggu kita mengulangi hidup lama kita bersama-sama.” Hidup lama yang dimaksudkan tentu hidup sebelum Agustinus memeluk Katolik. Kehadiran Floria ini rupanya menggelisahkan Agustinus karena bisa mengancam keselamatan jiwanya. Tidak mengherankan kalau Agustis bersikap agresif kepada Floria. Kematian Adeodatus ternyata juga tidak mempertemukan kembali. Perpisahan mereka memuluskan jalan baru Agustinus. Pada tahun 391 ia ditahbiskan jadi Imam, dan tahun 395 menjadi uskup. Sementara itu, Floria melihat bahwa jalan yang ditempuh Agustinus justru merupakan jalan lama. Dalam hal tulis menulis, keduanya dibesarkan dalam tradisi filsafat Yunani dan Romawi, saat retorika Aristotelian sedang mengalami kemapanan. Karena itu, kemampuan Floria mengemukakan pemikirannya tertuang dalam tulisan yang kuat dalam retorika dan sastra Yunani-Romawi.

Vita Brevis. Hidup Ini Singkat, Floria...

Secara sepintas kita mendapatkan kesan sakit hati Floria yang ditinggalkan Agustinus, rasa dendam Floria pada Monica yang memisahkan asmara mereka, dan kegeramannya karena dipisahkan dari anaknya Adeodatus. Namun ada alasan-alasan lain yang lebih mendasar terkait dengan prinsip filosofis yang merugikan Floria dan perempuan pada umumnya. “Sainganku,” tulis Floria, “bukanlah perempuan lain yang dapat saya lihat dengan mata telanjang, sainganku adalah sebuah prinsip filosofis. Sainganku bukanlah sainganku. Dia adalah saingan setiap perempuan.”

Gagasan yang menarik adalah gagasan Floria tentang perempuan dan seksualitas. Floria tidak setuju dengan pandangan Agustinus yang menempatkan sejarah hidupnya bersama dengan Floria sebagai hidup lama. Memang dalam Confessiones kita melihat ada dikotomi abstinensi-seksualitas, pria-perempuan, dan selibat-pernikahan. Dalam dikotomi ini Floria sebagai perempuan merasa ditempatkan sebagai pihak yang menggoda dan harus dijauhi. Dalam hidup Agustinus, Adeodatus kelihatan sebagai buah kejahatan. Inkarnasi dari hubungan seksualnnya dengan Floria. Cara pandang ini, menurut Floria, sangat berbahaya—bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi setiap perempuan, bukan perempuan pada zamannya namun juga sepanjang zaman. Dengan jujur Floria bertanya-tanya sambil menggugat seolah hidupnya bersama Agustinus itu hidup penuh dosa. Floria yakin bahwa yang mereka lakukan selama ini benar-benar atas dasar cinta. Mereka tidak melakukan hubungan gelap karena semua orang tahu hubungan mereka. Mereka juga tidak menjalankan hubungan murahan karena keduanya atas dasar ketulusan dan cinta. Kebanggaan Agustinus pada hubungan mereka berdua bisa dilihat dari nama anaknya Adeodatus yang berarti “yang dianugerahkan oleh Tuhan” (A deo datus). Artinya, anak mereka tidak hanya buah dari hubungan horisontal, melainkan juga vertikal antara mereka berdua dan yang ilahi. Floria mengingatkan bahwa sejak awal hubungan mereka memang tidak bisa dilepaskan dari seksualitas.

“Jika orang-orang ingin menghindar dari perbuatan yang salah, mereka biasanya malah melakukan hal yang sebaliknya.”

Floria juga mengingatkan berkali-kali bahwa di antara mereka ada cinta, ada venus, bahkan mereka adalah cultivated venus (venus yang berpendidikan; venus yang dipelihara). Oleh karena itu, Floria sedih ketika Agustinus menilai seolah-olah mereka hanya dipersatukan oleh nafsu.

Gagasan kedua berkaitan dengan mitos Oedipus. Menarik sekali memperhatikan bahwa Floria sudah menggunakan Oedipus kompleks jauh sebelum Freud memperkenalkan psikoanalisisnya. Ia memaparkan bagaimana pengalaman seorang anak mengarahkan dorongan seks pada ibu dan rasa iri pada sang ayah. Dalam bentuknya yang sederhana, Floria menggunakan kompleksitas hubungan Oedipus dan ibunya untuk melukiskan hubungan Agustinus dengan ibunya Monica dan Tuhan. Agustinus begitu terikat pada ibunya sampai tidak berani mengambil keputusan untuk menikah dengan Floria. Di mata Floria, Monica adalah satu-satunya orang yang menjadi penghalang perkawinan mereka. Setelah kematian Monica, Agustinus mengalami kekosongan mendalam. Kekosongan itu kemudian diisi oleh “Tuhan dari Nazareth”. Demikianlah, Tuhan tampil sebagi ibu baru. Bagi Florida, pelarian Agustinus pada Tuhan tidak lebih daripada sebuah langkah untuk pengebirian diri seperti saat Oedipus membutakan diri setelah dia mengawini ibunya. Kisah Oedipus ketika sang tokoh menghancurkan dirinya sendiri juga dilihat Floria dalam sejarah hidup Agustinus.

Dalam suratnya ini Floria juga banyak berdebat dengan Tuhan. Dia merasa tahu Tuhan macam apa yang diikuti oleh Agustinus. Dia bahkan mengaku sudah menjadi seorang katekumen (calon baptis). Akan tetapi dia menolak dibaptis karena dia mempuyai penafsiran sendiri tentang Tuhan. Berkenaan dengan Tuhan yang ditafsirkan Agustinus, Floria menyatakan bahwa itu adalah “Tuhan yang pertama-tama menginginkan bahwa manusia seharusnya hidup dalam abstinensi.” Katanya. “Tuhan Agustinus adalah Tuhan yang menakutkan.” Sebaliknya, Tuhan Floria adalah, “Tuhan yang menciptakan surga dan bumi ialah Tuhan yang juga menciptakan venus.”

Vita brevis. Kata-kata Agustinus ini pasti begitu mengesankan bagi Floria. Mungkin aslinya Vita brevis est, Floria. Hidup ini singkat, Floria. Mengapa mengesankan sehingga Floria mengulang-ulang dalam suratnya? Karena isinya atau karena cara mengatakannya? Keduanya tak dapat dipisahkan. Kata-kata ini meluncur dari mulut Agustinus saat mereka berdua menyeberangi jembatan Sungai Arno di Firenze menjadi sasksi kenangan manis hubungan mereka berdua. In Florentia Floria floruit, begitulah kenang Floria. Di Firenze Floria berbunga-bunga. Di sungai Arno, di antara keduanya, telah terjadi sesuatu yang penting.

“Kau hanya ingat ide-ide, Aurel. Tidak bisakah kau juga mencoba mengingat kembali beberapa pengalaman inderawi? Begitu kita menyeberangi sungai, dan ketika kita masih berada di jembatan engkau menghampiriku. Engkau waktu itu sedang berbicara dengan beberapa orang, namun kemudian tiba-tiba berada di sampingku. Aku merasakan tanganmu di pundakku. Kemudian engkau menarikku dengan lembut dan berbisik, ‘Hidup ini begitu singkat, Floria’”.

“Engkau memegang pinggulku degan erat—seakan-akan engkau berjanji bahwa ini adalah saat yang tidak akan pernah engkau lupakan. Waktu itu engkau bertanya apakah engkau dapat mencium aroma rambutku. Engkau boleh. Aku merasakan napasmu mengalir di leherku sementara engkau mengurai rambutku yang panjang dan mencium aromanya. Waktu itu seakan-akan engkau ingin menarik seluruh diriku ke dalam dirim, seakan-akan ada tempat tinggal bagiku dalam dirimu. Engkau tampaknya ingin mengatakan bahwa aku senantiasa milikmu karena jiwa kita sudah menyatu. Ini terjadi saat Monica belum datang ke Milano, sebelum rencana pernikahan yang melelahkan itu, sebelum engkau berjumpa dengan para teolog.”

Buku Vita Brevis adalah salah satu dari karya Jostein Gaarder yang menakjubkan saya—selain Dunia Sophie, Misteri Soliter, dan Maya. Buku ini berisi dialog-dialog filsafat, sejarah dan teologi yang dikemas dan ditampilkan penuh emosi kasih sayang sejati seorang perempuan kepada pria yang dicintainya, melainkan juga merasakan pergulatan terhadap iman dan takdir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline