Lihat ke Halaman Asli

Hukum Progresif: Solusi Kebuntuan Hukum

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila kita memalingkan wajah pada apa yang sudah dipraktekan oleh umat Islam sejak berabad-abad silam, akan didapatkan bahwa umat Islam lewat ulama dan para hakimnya ternyata sudah mencoba untuk melakukan hal yang intinya mirip dengan teori hukum progresif. Bahkan mereka telah berupaya menyusun aturan atau pedoman dalam usaha menggali hukum dari ketentuan hukum –dalam hal ini nash al-Qur’an dan sunnah- yang ada. Pedoman tersebut di namakan dengan Ushul Fikih.

Kemajuan sains dan teknologi memang banyak memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah, lebih praktis, tetapi juga memberikan masalah-masalahbaru yang kadang-kadang sampai meresahkan dan membingungkan umat dalam melakukannya. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kemaslahatan umat dan representatifuntuk semua kehidupan manusia, siapapun dan di manapun mereka berada. Dalam bidang peradilan pun Islam sangat menekankan pada pengutamaan kemaslahatan umum diatas kemaslahatan pribadi. Lalu bagaimanakah caranya untuk dapat memutuskan suatu perkara secara adil, dan berpihak pada ummat? Di sinilah dituntut kepiawaian, keahlian, dan kecermatan para qadhi (hakim) dan ulama dalam Islam. Qadhi dan ulama yang dimaksud adalah mereka yang ahli dalam hukum Islam atau ulama ushul. Alatatau sarana yang digunakan oleh para qadhi dan ulama ushul dalam menemukan solusi hukum inilah yang disebut dengan ushul fiqih. Di sinilah letak arti penting dari ilmu ushul fiqih.

Dengan ilmu ushul fiqih, hukum Islam akan menjadi fleksibel, dinamis, dan elastis untuk setiap zaman dan keadaan apapun, serta mampu mengikis dan mengkaji ulang terhadap pandangan umat Islam yang selalu mempertahankan produk fiqih ulama klasik yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan perkembangan zaman sekarang.

Di antara hakim yang terkenal pada masa sahabat, menurut Abu Zahrah (1958: 11), adalah Umar bin Khattab. Ia berusaha melakukan suatu perombakan bahkan keluar dari ketentuan “undang-undang” yang sudah ada, disebabkan keberpihakannya pada keadilan dan dalam upaya menjadikan hukum untuk manusia dan bukan malah sebaliknya.

Umar bin Khattab misalnya, memberlakukan pembuktian terbalik bagi para pejabat pemerintahan yang diduga melakukan korupsi.Penegakan hukum yang ditunjukan Umar menjelaskan betapa posisi sosial dan politik kepala pemerintahan itu sangat strategis. Karena sangat mudah bagi penguasa menyalahgunakan kekuasaannya guna mendapatkan keuntungan ekonomis bagi pribadi, keluarga, dan kerabatnya, untuk itu diperlukan adanya metode khusus dalam memeriksanya. Ini mengingat penguasa memiliki posisi luar biasa atau spesial dibandingkan dengan rakyat awam. Artinya, karena kejahatan ini ber-bobot extra ordinary crime, maka prosedur penyelidikan, penyidikan, dan pengadilannya pun memerlukan prosedur yang luar dari biasa. Secara substansial menjadi tidak adil jika penguasa yang memiliki posisi yang strategis, dan dengan posisi itu dia lalu melakukan korupsi, menghianati amanat rakyat, lalu diperlakukan sama prosedur penyelidikannya dengan rakyat biasa. Jadi pembuktian terbalik itu merupakan konsekuensi logis dari posisi politik penguasa, dan merupakan konsekuensi etis dari sikapnya yang diindikasikan telah menghianati kepercayaan yang diberikan oleh rakyat (http://www.komisiyudisial.go.id). Umar juga tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian. Alasan Umar adalah karena orang ini mencuri disebabkan pada saat itu adalah masa panceklik, sehingga sulit untuk mendapatkan makanan. Umar bin Khattab dalam menentukan pendapatnya ini didasarkan pada pendekatan maslahah, yang juga merupakan salah satu metode dalam ushul fiqih. Contoh lainnya menurut al-Jauziyyah (2006: 26), seperti memberlakukan talak yang dilafalkan tiga kali sekaligus sebagai talak tiga, dan pembuktian terbalik untuk menumpas kasus korupsi yang terjadi di kalangan pejabat pemerintahannya.

Dari keterangan di atas, terlihat bahwa sebenarnya gagasan hukum progresif telah dipraktekkan oleh umat Islam di abad pertama kemunculannya. Bahkan dalam pandangan pemakalah, Umar bin Khattab merupakan sosok yang mencanangkan hukum progresif di dunia Islam dan manuver-manuver hukumnya yang sangat layak mendapat penghargaan dan acungan jempol. Hal ini karena, ia berani untuk melakukan suatu hal yang baru, meminjam kalimat Raharjo, berani melakukan lompatan-lompatan jitu agar kemaslahatan dan rasa keadilan dapat terpenuhi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline