Suatu siang di hari Sabtu, saya naik Commuter Line menuju Stasiun Bojonggede untuk selanjutnya menuju Bogor tempat tujuanku hari itu, yaitu mengunjungi sebuah TPS 3R di Kelurahan Cipaku, Kota Bogor.
Di stasiun Bojonggede aku dijemput rekanku, Pak Nana yang tinggal tidak jauh dari stasiun. Kami berdua menggunakan sepeda motor untuk mencapai tujuan. Lumayan jauhnya perjalanan di siang itu disengaja untuk menghindari kemacetan lalu lintas di tengah Kota Bogor yang semakin parah akhir-akhir ini.
Sesampainya di tempat tujuan, kami sudah disambut teman-teman pengelola di sana. Ada Kang Asep, selaku fasilitator TPS 3R Provinsi Jawa Barat yang tinggal di dekat sana dan satu lagi Ketua KSM Cipaku, Kang Amiharja.
Begitu melihat situasinya, aku benar-benar terpana. Ternyata di balik bukit Kuburan Cina Cipaku, ada lahan luas yang ada kolam ikan besar, serta kebun pohon-pohonan pas di depan bangunan TPS 3R. Waw, nyaman banget nih. Di Jakarta mana ada tempat seperti ini.
Bangunan TPS 3R ini terdiri 2 buah gedung. Gedung pertama ada 2 ruangan. Ruangan pertama untuk kantor. Ruangan kedua yang jauh lebih besar adalah untuk pemilahan, pencacahan, pengomposan, pengayakan dan pengepakan. Sedangkan gedung kedua yang berada di belakang gedung pertama berisikan alat digester biogas berkapasitas 17 m3 untuk mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk cair maupun padat. Di samping ruangan ini ada ruang kecil untuk kamar tidur karyawan penjaga.
Lalu apa yang membuatku terpaku? Dari cerita pengurus, warga Cipaku jarang ada yang mau memilah sampah dari rumah mereka. Padahal setahuku, konsep TPS 3R ini bisa berjalan, jika warga di lingkungannya mendukung dengan mau memilah sampah mereka, minimal menjadi 2 jenis, yaitu organik dan anorganik.
Jika tidak dipilah, maka beban pemilahan yang berat itu akan ditumpu oleh para pengelola TPS 3R, karena sampah sebelum diolah harus dipilah dulu, TIDAK BOLEH DICACAH PADA SAAT MASIH BERCAMPUR. Itu sama saja mempercepat kerusakan mesin dan tidak memperhatikan kualitas pupuk yang akan dihasilkan. Kita tidak perlu meniru pihak lain yang melakukan kesalahan seperti ini.
Lalu siapakah yang memilah sampah dari 635 KK atau 2.850 jiwa penduduk Kelurahan Cipaku? Rata-rata sehari timbulan sampah yang masuk adalah 255 -- 305 kg dalam kondisi bercampur, ada sisa makanan, kaleng, plastik, kardus, botol, kayu, kaca, bahkan kadang ada puing bangunan. Inilah para pemilah sampah itu
Yang aku saksikan langsung saat itu, ada 3 orang ibu-ibu yang sudah cukup lanjut usianya, namun mereka begitu tekun membuka kantong plastik sampah satu per satu dan memilah isinya menjadi beberapa jenis, organik, plastik daur ulang, kertas dan kardus, logam serta residu.
Menurut pengurus KSM, mereka bersama para aparat dari Kecamatan, Kelurahan, serta RT & RW sudah sering sekali bersosialisasi dan menghimbau warga untuk mau memilah sampah mereka, namun tidak ada yang menyambutnya.
Imbas yang muncul hanyalah naiknya nilai iuran warga dari yang RP 4.000,- menjadi Rp 5.000,- dan yang dari Rp 8.000,- naik menjadi RP 10.000,- atau Rp 15.000,- Namun, meskipun mereka sudah menaikkan iurannya, mereka tidak paham, bahwa ada warga mereka juga, yaitu ibu-ibu tadi yang menjalankan pekerjaan yang semestinya menjadi kewajiban mereka.