Sistem zonasi sekolah di Indonesia, yang awalnya dimaksudkan sebagai solusi untuk menciptakan keadilan pendidikan, kini terbukti menjadi masalah besar akibat pelaksanaan yang buruk.
Kebijakan yang dirancang untuk mendistribusikan siswa secara merata ke sekolah-sekolah di sekitar tempat tinggal mereka, justru menciptakan polemik yang tak terduga.
Alih-alih mempersempit jurang ketimpangan antara sekolah-sekolah elit dan biasa, sistem zonasi malah memperlebar permasalahan, baik di tingkat sekolah maupun masyarakat.
Bicara soal zonasi, saya teringat ketika pertama kali mendengar kebijakan ini diumumkan. Pada mulanya, sistem ini terdengar seperti sebuah gebrakan yang mengusung perubahan revolusioner.
Tujuannya jelas: memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, terlepas dari latar belakang ekonomi atau geografis.
Sebuah mimpi besar yang, jika diterapkan dengan baik, bisa menjadi kunci pemerataan pendidikan di negeri ini. Siapa yang tidak menginginkan keadilan semacam itu?
Namun, realitas di lapangan ternyata jauh dari harapan. Zonasi yang seharusnya menjadi jembatan antara siswa dan sekolah yang layak malah berubah menjadi tambang masalah baru.
Publik berharap zonasi akan memberikan akses yang lebih adil kepada siswa untuk bersekolah di sekolah-sekolah terdekat dengan rumah mereka, sehingga menghilangkan kesenjangan yang selama ini terjadi antara sekolah unggulan dan sekolah biasa.
Tapi, apa yang kita lihat sekarang? Manipulasi data, ketidakjujuran, dan minimnya pengawasan merusak kredibilitas kebijakan ini.
Seiring berjalannya waktu, kecurangan semakin banyak ditemukan. Saya membaca tentang orang tua yang memalsukan alamat di Kartu Keluarga hanya untuk mendekatkan posisi mereka ke sekolah favorit.