Kalau kita bicara soal job market sekarang, rasanya memang semakin berat, ya. Saya pribadi sering melihat teman-teman di sekitar yang susah cari kerja, bahkan yang sudah punya pengalaman pun masih kesulitan. Tantangan ini bukan cuma soal kompetisi, tapi juga soal bagaimana pasar kerja terus berubah dengan cepat. Dulu, orang mungkin berpikir kalau setelah kuliah, langsung kerja itu hal yang wajar. Sekarang? Rasanya jauh lebih sulit. Bahkan, mereka yang sudah punya pekerjaan pun belum tentu merasa aman.
Salah satu hal yang bikin saya terkejut adalah jumlah PHK yang meningkat drastis. Bayangin aja, angka PHK di Jakarta sendiri naik 1000%! Saya pernah ngobrol sama teman yang baru kena PHK. Dia cerita betapa tiba-tiba situasinya berubah---satu hari dia masih kerja, besoknya perusahaan mengumumkan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Bukan cuma dia yang kaget, tapi ratusan, bahkan ribuan karyawan lain yang mengalami nasib serupa. Dan ini bukan cuma terjadi di Jakarta, tapi di banyak kota besar lainnya.
Di sisi lain, banyak banget Gen Z yang menganggur. Data menunjukkan hampir 10 juta Gen Z di Indonesia sedang menganggur. Angka ini luar biasa besar. Bayangin generasi yang seharusnya jadi motor penggerak ekonomi masa depan malah kesulitan masuk ke pasar kerja. Ada teman saya yang baru lulus kuliah dengan harapan tinggi bisa langsung bekerja, tapi kenyataannya lowongan kerja yang tersedia justru sangat terbatas. Mau nggak mau, banyak dari mereka yang akhirnya harus berjuang lebih keras atau bahkan banting setir ke profesi lain yang jauh dari bidang studi mereka.
Saya ingat, ketika ekonomi Indonesia dikabarkan tumbuh lebih dari 5%, banyak orang mengira kondisi ini akan membawa dampak positif ke kehidupan sehari-hari. Tapi kenyataannya? Pertumbuhan ekonomi ini tidak terasa oleh sebagian besar orang. Setiap kali saya ngobrol sama orang-orang di sekitar, kebanyakan bilang kalau biaya hidup makin mahal, tapi pendapatan mereka tetap segitu-gitu aja. Rasanya seperti hidup di dua realita yang berbeda. Di atas kertas, pertumbuhan ekonomi bagus, tapi di lapangan, banyak orang yang tidak merasakan dampaknya.
Nah, yang bikin sedih lagi adalah fenomena penurunan kelas menengah. Kelas menengah ini dulu dianggap sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, tapi sekarang banyak dari mereka yang turun menjadi kelas rentan miskin. Saya banyak mengalami cerita tentang keluarga yang dulunya punya kehidupan cukup nyaman, tapi setelah pandemi dan berbagai krisis ekonomi, mereka harus mulai mengencangkan ikat pinggang. Mereka mulai merasa insecure soal masa depan, apakah akan mampu bertahan atau malah jatuh ke dalam kemiskinan.
Secara keseluruhan, situasi pasar kerja di Indonesia memang penuh tantangan. Dari PHK besar-besaran, pengangguran di kalangan Gen Z, hingga penurunan kelas menengah, semuanya menunjukkan betapa banyak orang yang sedang berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Ini bukan cuma masalah individu, tapi tantangan besar yang perlu ditangani secara sistematis, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Job Market Indonesia: Analisis Supply dan Demand
Setelah kita membahas tantangan di pasar kerja, sekarang kita coba lihat lebih dalam dari segi supply dan demand. Ini mungkin terdengar teknis, tapi pada dasarnya ini soal keseimbangan antara lowongan kerja yang tersedia (supply) dan jumlah orang yang mencari pekerjaan (demand). Ketidakseimbangan di antara keduanya adalah salah satu akar masalah kenapa banyak orang kesulitan mencari pekerjaan saat ini.
Dari segi supply, jumlah lowongan kerja yang dibuka oleh perusahaan memang sangat terbatas. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat hanya ada sekitar 270.000 lowongan pekerjaan yang tersedia. Coba bayangkan, di negara sebesar Indonesia dengan populasi lebih dari 270 juta orang, hanya ada ratusan ribu lowongan yang dibuka. Kalau kita membandingkan ini dengan angka demand, yaitu jumlah orang yang sedang mencari pekerjaan, masalahnya makin jelas.
Jumlah pencari kerja di Indonesia tahun 2023 mencapai sekitar 1,8 juta orang. Jadi, jika kita hitung rasio antara lowongan yang tersedia dengan jumlah pencari kerja, setiap lowongan diperebutkan oleh setidaknya 8 orang. Persaingan yang begitu ketat ini menjelaskan kenapa banyak orang, terutama mereka yang baru lulus atau mereka yang sedang mencari kerja setelah di-PHK, harus berjuang ekstra keras. Bukan hanya soal kemampuan, tapi kadang keberuntungan juga memainkan peran penting dalam mendapatkan pekerjaan.
Sekarang, kalau kita tarik ke belakang dan membandingkan dengan situasi sebelum pandemi, tepatnya tahun 2019, kondisinya jauh berbeda. Saat itu, dengan jumlah lowongan yang sama, yaitu 270.000, pencari kerja hanya mencapai 500.000 orang. Rasio supply dan demand pada waktu itu adalah 1:2, artinya setiap lowongan hanya diperebutkan oleh dua orang. Bisa dibilang, persaingan saat itu jauh lebih ringan dibanding sekarang. Perusahaan mungkin lebih fleksibel dalam memilih karyawan, sementara pencari kerja punya peluang yang lebih besar untuk mendapatkan posisi yang diinginkan.
Satu hal yang sangat mencolok adalah penurunan signifikan dalam jumlah pekerjaan formal yang tercipta dalam lima tahun terakhir. Jika kita bandingkan periode 2009-2014 dengan 2019-2024, perbedaannya sangat besar. Pada periode 2009-2014, ada sekitar 15,6 juta pekerjaan formal yang tercipta, sedangkan pada periode 2019-2024 hanya 2,8 juta pekerjaan formal yang tersedia. Penurunan ini menunjukkan bahwa semakin sedikit perusahaan yang menciptakan pekerjaan formal yang stabil dan menawarkan jaminan sosial yang memadai. Ini juga menjelaskan kenapa banyak orang, meskipun sudah bekerja, merasa tidak aman karena semakin banyak yang terjebak dalam pekerjaan kontrak atau outsourcing tanpa jaminan kerja jangka panjang.