mendung menggelayut di atas kota jogja, sempat ada keraguan dalam benak. namun sebuah bayang-bayang perjalanan penuh tantangan telah merobek keraguan itu. pukul tujuh waktu giwangan, bertemulah saya dengan mr.seven yang sepertinya sudah datang lebih dulu. setelah menunggu beberapa menit sambil membuka koran yang memuat lowongan pekerjaan bus jurusan wonosari telah menempati landasannya. 07.30 bus pun berangkat. kami memilih duduk disamping pak sopir yang sedang bekerja mengendali roda supaya baik jalannya. merangkak naik dijalanan bukit pathuk, pemanasan mata pun dimulai, tatapan terakhir tertuju dari atas bukit untuk kotaku,"pagi ini kami meninggalkanmu dengan searak mendung menggelayut, esok sore sambut kedatanganku dengan biru langitmu". sembilan kosong kosong waktu wonosari, bus telah memasuki terminal. mencari sedikit ruang untuk istirahat bersama bus yang lainnya. kamipun melangkah keluar menuju sebuah warung tenda warna orange, sekedar membeli nasi kucing dan esteh untuk bekal hari ini. tiga nasi,tiga gorengan dan segelas esteh untuk mr seven, satu bungkus nasi, sebuah gorengan dan 2 buah roti pisang, tentunya digelontor segelas esteh untuk saya. sembilan ribu kata ibu itu. sembilan tigapuluh kurang lebih, bus arah jepitu berangkat keselatan, melenggang diantara kendaraan lainnya. memasuki hutan jati, menembus kebun akasia, sesekali meninggi dan sesekali menurun. kami tetap duduk didepan, menemani sopir berkendara. menyambut sapaan pohon jati, kebun ketela, pohon akasia, batu kapur, bukit karst, dan tentusaja langit biru nan cerah. sesekali terdengar cengkrama penumpang lain, seorang setengah baya, dan satunya sekitar enam lima, curhat tentang kehidupannya masing masing. sepuluh lebih empat puluh roda bus berhenti, sepertinya ada yang tidak beres, kami disuruh turun sebelum tiba ditujuan, ada uang yang lebih banyak ternyata, sehingga sopir dan kondektur melalaikan tanggungjawabnya. kami harus menunggu lagi bus selanjutnya, sekitar 30 menit menunggu, dan kami pun melanjutkan perjalanan kembali. pertigaan jepitu, tukang ojek menanti kami, 5 ribu sampai pantai, ok tanpa nego kamipun menurut saja, sudah tak sabar rasanya melihat pantai. semilir angin menghempas rambut tatkala sepeda motor mulai melaju, naik turun menyusur jalan beraspal, kicau burung sesekali terdengar, dan hijau bukit masih saja menyita pandangan kami. dan hingga akhirnya biru langit menyapa mata. lautan teduh tenang terhampar diantara perbukitan, sesekali menghilang karena terhalang pepohonan. tak sabar rasanya segera menginjakkan kaki dibibirnya. akhirnya pantai pasir putih dengan hiasan batu entah apa namanya telah dihadapan. pantai pasir putih dengan air yang jernih dikelilingi perbukitan hijau, wedi ombo, 11.30. sedikit berfoto dan melemparkan pandangan ketengah lautan, menikmati deburan ombak dan berteduh dibawah pohon yang rindang. nb. sangat membutuhkan komen yang sejujurjujurnya. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H