Bila anda berkunjung dan bermalam di kota Solo, setelah berkeling mengunjungi tempat-tempat bersejarah bernilai budaya tinggi seperti kraton Kasunanan, kraton Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, atau Museum Keris (museum baru), Kampung Batik Laweyan dan Kauman, pada pagi-siang hari, belum sah rasanya bila tidak berwisata kuliner di malam hari.
Aneka ragam kuliner malam di Solo bisa dijumpai dengan mudah, baik di mall/pusat pertokoan maupun di restoran/rumah makan cepat saji atau warung makan khusus. Namun sebaiknya anda berkuliner di tempat-tempat makan yang memang menjadi khas Solo, kalau di restoran/rumah makan cepat saji, anda tentu sudah terbiasa karena di kota/tempat anda juga sudah banyak.
Salah satu tempat kuliner tradisi warga Solo dan sekitarnya (Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Karanganyar dan Sragen) adalah HIK (dibaca /hek/ seperti mengucapkan kata 'adik'), singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung. HIK merupakan warung angkringan ala warga Solo yang menjajakan makanan dan minuman yang beraneka ragam. Masyarakat Solo biasa menyebut aktivitas kuliner,makan dan minum, di HIK ini dengan nama 'wedangan'. Jadi kalau ada seseorang mengajak temannya pergi ke 'wedangan', ini berarti mengajak makan dan minum (berkuliner) di HIK.
Keberadaan HIK di Solo sudah berpuluh-puluh tahun, kapan persisnya penulis kurang tahu, mungkin mulai ada awal sekitar 1970an, namun bisa jadi sebelum tahun itu sudah ada. Pada tahun 1970an pedagang HIK, menjajakan dagangannya dengan cara dipanggul di pundak berjalan keliling kampung, sambil meneriakkan Hik,...Hik .... Di masa ini dagangan yang dijual hanya makanan saja (jajanan pasar/makanan tradisional). Mereka mulai berdagang biasanya selepas waktu magrib sekitar jam 18.00 sampai pagi menjelang subuh.
Jalanan di kampung-kampung di kota Solo di masa itu masih belum banyak lampu penerangan, jadi betul-betul minim lampu. Maka yang namanya gelap malam memang betul-betul gelap, beda jauh dengan kondisi sekarang, jalanan di kampung-kampung sudah terang. Berjalannya waktu, memasuki tahun 1975an, pedagang HIK keliling sudah tidak dijumpai lagi, mereka mulai berjualan secara mangkal/menetap di tempat-tempat yang dianggap strategis. Dan yang dijual tidak hanya aneka macam makanan, tetapi juga minuman.
Ada keunikan tersediri dari HIK atau ankringan ala Solo ini; di masa itu model angkringnya masih model panggul, terdiri dari dua: angkring satu sebagai tempat masak air dan membuat minuman, dan angkring satu yang lain untuk tempat makanan sekaligus tempat untuk makan dan minum pembeli. Uniknya lagi, lampu penerangan yang digunakan adalah lampu minyak tanah (dian) _ masyarakat Solo menyebut lampu thinthir_ diletakkan ditengah-tengah pada angkring tempat menaruh makanan.
Bisa dibayangkan kan? Suasana teramnya malam masih terasa betul, duduk-duduk dan ngobrol bersama teman sambil minum wedang jahe, kopi, susu, coklat, teh panas, kopi jahe, susu jahe, coklat jahe, susu kopi jahe, atau susu coklat jahe, dan makan camilan jajanan pasar atau nasi kucing (ini menu utama di HIK). Nasi kucing ini menjadi satu-satunya menu di warung HIK, modelnya nasi dibungkus dengan daun pisang sebanyak sekepalan tangan ditambah lauk secuwil kecil bandeng ditambah sambal.
Lauk utamanya tahu atau tempe goreng, ataupun tahu/tempe bacem, biasanya pembeli minta tahu/tempe tersebut dibakar terlebih dahulu sebelum memakannya, sehingga ketika dimakan ada sensasi khas yang nikmat rasanya. Oh ya ada satu lagi lauk khas peneman nasi kucing, yaitu kikil (kaki sapi), biasanya pembeli juga minta kikil ini dibakar sebelum dimakan. (Menu nasi kucing ini sampai sekarang masih ada, namun bungkusnya sudah diganti dengan kertas khusu pembungkus).
Memasuki kira-kira tahun 1980-an sampai kira-kira tahun 1992-an, angkringan HIK mengalami perubahan dalam hal angkring dan lampu penerang. Masa-masa ini bisa dikatakan tak ada lagi angkring bermodel panggul, berganti dengan angkring model gerobak dorong beroda dua dan berpenerang lampu listrik dengan watt kecil.
Jam buka-tutup warung cenderung masih sama seperti di awal-awal angkringan HIK ada, yaitu sore selepas magrib hingga waktu subuh. Waktu terus berjalan, keadaan sosial berubah, kira-kira mulai tahun 1992an sampai tahun 2000-an atau era digital seperti saat ini, HIK angkringan ala Solo-pun mengalami perubahan yang cukup variatif. Dari sisi tempat misalnya, cukup banyak angkringan HIK yang mengambil tempat di rumah-rumah lawas/kuno yang berhalaman cukup luas atau di rumah-rumah baru dengan desain yang tradisional Jawa, keduanya dibentuk untuk mempertahankan tampilan dan nilai tradisi dari angkringan HIK.
Tetapi biasanya kalau sudah di tempat seperti ini, maka dari sisi harga makanan dan minuman, menjadi lebih mahal dibandingkan dengan angkringan HIK yang mengambil tempat di tepi-tepi jalan_ baik di jalan besar maupun di jalan kecil. Kemudian dari sisi makanan dan minuman, angkringan HIK menawarkan variasi pilihan makanan yang lebih beragam.