Bagi masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke tempe goreng merupakan makanan yang sangat khas, bahkan sebagian masyarakat menempatkannya sebagai pilihan utama sebagai pendamping makanan pokok, nasi. Dari anak-anak hingga kakek-kakek, nenek-nenek, sembilan puluh sembilan persen, tahu apa itu tempe goreng dan pernah memakannya.
Secara sosiologis, bagi masyarakat Indonesia tempe goreng adalah salah satu makanan yang bisa masuk diterima di semua strata sosial rumah tangga/keluarga, dari yang tidak mampu hingga yang sangat mampu, dari yang tinggal di rumah amat sangat sederhana hingga yang tinggal di rumah amat sangat mewah lagi megah.
Di setiap sajian makan, baik makan pagi, makan siang maupun makan malam, tempe goreng hampir selalu hadir sebagai lauk pauknya baik di saat makan di rumah , di warung makan, atau di rumah makan; kalau toh harus absen, ‘dia’ diwakilkan oleh saudaranya yaitu ‘tempe bacem’ atau ‘tempe kering’( tempe dirajang tipis-tipis setelah dibumbui digoreng campur dengan kecap plus cabe).
Di Jakarta/Jawa Barat disebut ‘orek’,di Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutnya ‘tempe kering’ , di tempat lain mungkin punya nama yang berbeda. Ini menggambarkan bahwa tempe tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Contoh lain, meskipun masyarakat Papua atau Maluku makanan utamanya sagu atau nasi, atau masyarakat lain di Indonesia yang tinggal di pesisir lauk utamanya ikan laut/sungai, bukan berarti mereka tidak mengkonsumsi tempe goreng, mereka mengenal melalui interaksi sosial dengan masyarakat lain yang tempe goreng merupakan lauk pauk utama dan kemudian mengkonsumsinya. Tidak sah rasanya bila tidak ada tempe goreng dalam setiap menu sajian makan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia_dalam bahasa agama Islam, wajib hukumnya.
Dalam sudut pandang budaya/kebudayaan, tempe goreng sebagai produk budaya asli bangsa Indonesia memiliki peran yang tidak kalah penting dengan produk budaya asli bangsa Indonesia yang lain seperti: kain batik, wayang kulit, wayang orang, sistem perairan subak di Bali, angklung dari tanah Sunda, sate ayam Madura, rendang Padang, candi Borobudur di Jawa Tengah, dan lain-lain. Keaslian tempe goreng sebagai produk budaya asli Indonesia bisa dikenali dari asal-usul tempe yang bahan baku utamanya adalah kedelai.
Seperti yang diungkap oleh Mary Astuti, seorang pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, melalui buku ‘Bunga Rampai Tempe Indonesia’ (2011) menjelaskan bahwa kata ‘kedelai’ yang ditulis ‘kadele’ dalam bahasa Jawa telah disebutkan dalam Serat Sri Tanjung dan Serat Centhini. Dalam Serat Sri Tanjung yang ditulis di abad ke-12 atau ke-13 (berkaitan dengan legenda Kota Banyuwangi) terselip kata ‘kedelai’ yang ditulis sebagai ‘kadele’.
Salah satu baitnya menggambarkan jenis tanaman di Sidapaksa yang mengandung kata kata ‘kedelai’… Kata ‘kedelai’ juga ditulis dalam Serat Centhini jilid II oleh juru tulis Kraton Surakarta,R.Ng.Ronggo Sutrasno pada 1814. Sedangkan dalam Serat Centhini jilid III dijumpai kata ‘tempe’. Serat Centhini III menggambarkan perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang mampir di Tembayat, Kabupaten Klaten. Di sana Pangeran Bayat dijamu dengan lauk pauk seadanya, termasuk tempe.
Kemudian dalam ‘The Book of Tempe’, Dr. Sastromijoyo memperkirakan bahwa tempe sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Saat itu bangsa Cina membuat makanan dari kedelai yang hampir mirip tempe, yaitu koji _sejenis kecap.
Makanan ini terbuat dari kacang kedelai matang yang kemudian diolah sedemikian rupa agar sesuai dengan selera orang Jawa, kemudian dibawa oleh para pedagang Cina ke Pulau Jawa. Zuoetmulder (1982) menyebutkan bahwa pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan yang dibuat dari sagu, disebut tumpi. Karena tumpi juga berwarna putih dan penampakkannya mirip tempe maka makanan olahan kedelai ini disebut ‘tempe’.
Temuan-temuan tentang asal-usul tempe di atas menunjukkan cukup bukti yang valid bahwa tempe memang benar-benar produk budaya asli Indonesia (dari pulau Jawa khususnya).