Lihat ke Halaman Asli

Kuncoro Maskuri

Doktor Linguistik Pragmatik

Drama Politik Pilkada di Indonesia

Diperbarui: 20 Januari 2018   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Drama Politik  Pilkada di Indonesia

 

Memperhatikan jalannnya perpolitikan pemilihan kepala daerah di tanah air di era pasca reformasi saat ini, bak sinetron televisi yang kejar tayang. Dari proses parpol mencari cagub-cawagub, cabup-cawabup, ataupun cawakot-wawakot, deklarasi pasangan yang diusung parpol, pendaftaran pasangan ke KPU,  hingga hari pelaksanaan pemilihan/pencoblosan hampir selalu didramatisasi sedemikian rupa untuk menarik perhatian masyarakat sebagai calon pemilih.  

Layaknya cerita drama, dalam tahapan penjaringan para calon kepala daerah  oleh parpol pengusung itu  ada juga intrik atau konfliknya. Tahapan penjaringan calon kepala daerah bagai sebuah bagian  pembukaan atau pengantar  suatu cerita drama/sandiwara. Sebagai contoh, mungkin masih hangat dalam ingatan kita, drama pencalonan Deddi Mizwar  sebagai cagub Jawa Barat, yang semula sudah  sepakat diusung  oleh parpol Gerindara,PKS, dan PAN, ternyata mendekati batas pendafataran cagub ke KPU kesepakatan dibatalakan dan berubah mengusung cagub dan cawagub_ Sudrajat dan Ahmad Syaikhu. Namun kekecewaan Deddi Mizwar tidak berlangsung lama, dia akhirnya diusung oleh partai Demokrat dan partai Golkar dan berpasangan dengan Dedi Mulyadi sebagai cawagubnya. Drama lain terjadi di Jawa Timur, yaitu gagalnya Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menjadi cawagub pendamping cagub Gus Ipul yang diusung oleh PDIP  dan PKB. Perbedaannya dengan  kasus Dedi Mizwar adalah cawagub Abdullah Azwar Anas dihantam dan  dijatuhkan dengan pra-kampanye hitam berupa foto-foto asusila. Ini menjadikan Azwar Anas tidak kuat menghadapi tekanan politik sehingga memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi cawagub Jatim.  Diluar peristiwa drama yang terjadi di Jabar dan Jatim tersebut, penulis meyakini masih ada kasus-kasus yang serupa namun karena tidak tercium baunya oleh media maka tidak bisa tersebar beritanya. Bisa kita bayangkan betapa dalam politik yang terjadi saat ini penuh konflik, intrik, ataupun praktek interaksi/komunikasi yang tidak sehat yang cenderung membunuh karakter seseorang dan menghalalkan segala cara, tuna moral, tuna etika, dan tuna nurani. 

Tahapan berikutnya adalah pendaftaran pasangan calon kepala daerah ke kantor KPU. Dalam tahapan ini biasanya  suhu politik tidak panas tapi adem ayem dan bahkan bisa dianggap menarik karena memunculkan ide-ide kreatif dan menghibur. Seringkali para pasangan calon kepala daerah yang sudah ditetapkan oleh parpol pengusung, diarak ramai-ramai layaknya karnaval oleh para pendukungnya dan didandani/dirias seperti pengantin, pengantin sunatan maupun pengantin pria-wanita, ada proses kreativitas seni budaya di sini. Ada yang diarak dengan menggunakan andong/dokar/sado yang dihias dengan pernik-pernik aneka warna, ada yang diarak dengan naik becak ataupun sepeda yang diikuti secara ramai-ramai oleh para anggota parpol pengusung sehingga tampak riuh meriah, dan ada juga yang diarak dengan naik mobil bak terbuka sehingga si calon kepalabisa mengumbar senyum sambil melambai-lambaikan tangannya kepada  orang-orang yang dijumpai di jalan, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa tersebut  bisa mengundang perhatian massa dan media massa yang sekaligus jadi ajang kampanye pembuka dari para pasangan calon kepala daerah.

  Bagian drama politik yang dianggap lebih seru adalah pada masa kampanye karena biasa disertai dengan pengerahan massa, baik massa yang dibayar maupun yang tidak.  Dalam orasi kampanye para pasangan calon kepala daerah   menawarkan janji-janji  politiknya disertai iming-iming ini-itu, persis salesman  yang sedang menawarkan produk dagangannya. Calon  kepala daerah  yang petahana bisa dipastikan menawarkan 'dagangannya' dengan cara menunjukkan capaian kinerjanya yang dianggap berhasil mensejahterakan masyarakat dan menjajikan  lebih ditingkatkan lagi bila terpilih lagi menjadi kepala daerah. Sementara itu calon kepala daerah yang non-petahana menawarkan janji-janji yang pada dasarnya sama dengan calon pasangan petahana tapi disajikan dengan bungkus yang berbeda, kadang-kadang dengan cara menganggap jelek atau negatif atas apa yang telah dicapai oleh calon kepala daerah yang petahana.  Bila para pasangan calon kepala daerah tidak atau kurang hati-hati dalam berorasi , misalnya  menyinggung hal-hal yang dianggap SARA oleh masyarakat bisa berakibat fatal. Pasangan tersebut akan dibantai, diperkusi tidak hanya oleh pasangan pesaing dan pendukungnya tetapi juga oleh pihak-pihak lain yang merasa    tersinggung, sebagaimana yang terjadi dalam pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu, disini cerita drama politik makin seru.

Masih cukup segar ingatan kita, bagaimana dramatisasi kompetisi politik dalam kampanye pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, yang akhirnya menghasilkan pasangan  Anies Bawesdan dan Sandiaga Uno sebagai pemenang kompetisi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI baru, menggantikan Basuki Cahaya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Namun sayangnya kemenangan tersebut diperoleh dengan cara yang tidak elegan, terlalu sarat dengan muatan SARA. Bisa dikatakan bahwa Pilkada DKI 2017 yang lalu adalah drama kolosal politik yang menjadi catatan sejarah ketidaksehatan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat bagi rakyat Indonesia.  Bahkan bisa dikatakan pula rangkaian peristiwa politik Pilkada DKI 2017 itu lebih gaduh dan mengusik ketentraman masyarakat tidak hanya yang ada di DKI Jakarta tetapi juga di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Pilkada DKI 2017  sekalipun tidak sampai menimbulkan kerusuhan secara fisik atau chaos,  namun sejatinya secara psikis, dalam kontek bernegara dan berbangsa, telah merobek-robek, mengkoyak-koyak mental, merusak fondasi maupun sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika berdasar negara Pancasila. Maka tidak salah kalau  banyak yang menganggap bahwa Pilkada DKI 2017 terasa seperti pilihan presiden, sama gaduhnya dengan Pilpres 2014, bahkan mungkin lebih gaduh.   

Kita semua tidak tahu drama politik seperti apa yang akan terjadi di pilkada serentak 2018, apakah akan lebih gaduh daripada pilkada DKI 2017? Lebih adem ayem? Atau berlangsung datar begitu saja tidak ada gejolak sosial politik yang mengkhawatirkan?  Namun bila melihat gelagat yang muncul di masyarakat baik yang di media elektronik maupun cetak, potensi gaduh dalam darama pilkada serentak 2018 mungkin akan terulang lagi, khususnya pilkada yang berlangsung di Pulau Jawa, utamanya di Barat dan Jawa Tengah _Semoga ini tidak terjadi. Indikasinya bisa dilihat dari parpol-parpol yang jadi motor utama pengusung masing-masing calon kepala daerah. Seperti kita ketahui, tiga parpol Gerindra, PKS, dan PAN berkoalisi mengusung  calon kepala daerah pilihannya di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sama seperti ketika pilkada DKI 2017. Untuk pilkada Jatim mereka sudah berhitung degan cukup cermat, tidak  membentuk koalisi sendiri tapi justru berkoalisi dengan parpol yang jadi lawan utama di pilkada DKI 2017_PDIP.  Khususnya di Jawa Barat, ketiga parpol itu juga mendapat dukungan kuat dari kelompok massa (keagamaan) bertendensi politis   yang menamakan dirinya Garda 212. Meskipun kelompok ini menanggap bukan  sebagai  bagian dari wadah Alumni 212 ataupun anggota gerakan 212, tetapi masyarakat meyakini bahwa itu sangat  tidak mungkin. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan motor/pimpinan Garda 21 _Ansufri Idrus Sambo_ yang dimuat di cnnindonesia.com (13 Januari 2108/17.40): " Garda 212 ini menjadi fasilitator untuk memfasilitasi alumni 212 atau anggota 212 yang ingin ikut terjun dalam politik praktis dalam pileg 2019 nanti" .  Atau juga di tribunnews.com (14 Januari 2018/12.08) Idrus Sambo mengatakan,"Jadi Garda (212) ini memang didirikan sebagai wadah untuk para alumni atau simpatisan 212 yang ingin berkiprah di dunia politik praktis, ikut pesta demokrasi, kita fasilitasi".  Tampak bahwa Garda 212  turut serta  bermain di pentas drama politik. Memang memberikan dukungan politik kepada parpol-parpol adalah hal yang lumrah, justru bila tidak  ada suatu kelompok masyarakat yang mendukung parpol menjadi tidak lumrah kehidupan demokarasi suatu negara. Yang menjadi problema adalah apabila cara-cara menyalurkan dan mewujudkan dukungan politik kepada parpol dilakukan dengan tidak sehat, menggunakan sentimen berunsur SARA.    Sisi tidak sehat dari pengalaman pilkada DKI 2017  diharapkan tidak terjadi dalam pilkada serentak 2018 maupun nanti di pilpres 2019.

              Usai tahapan kampanye, cerita drama bergeser ke tahapan pemungutan suara. Tensi politik kembali turun memasuki masa tenang menjelang hari pemungutan surara.. Menurut aturan KPU, di masa tenang tidak boleh melakukan kampanye lagi baik secara terang-terangan apalagi terselubung. Namun faktanya masing-masing parpol bersama-sama dengan parpol koalisi dan kelompok-kelompok massa pendukungnya tetap melakukan kampanye,  bedanya cuma dilakukan secara senyap.  Misalnya, parpol-parpol yang warna keagamaannya kental akan rajin mendatangi forum-forum keagamaan yang ada  di  masyarakat. Dengan dalih minta doa restu mereka menyelipkan pesan permintaan kepada yang hadir di forum tersebut, untuk memberikan suara kepada pasangan calon kepala daerah  yang diusung oleh parpol tersebut ketika pemungutan suara nanti. Dan tentu saja tidak lupa sambil menghadiahi sesuatu kepada kelompok-kelompok warga yang dikunjunginya. Pun, parpol-parpol yang genre nasionalis, apalagi bila pasangan calon kepala daerah yang diusung adalah petahana, dengan dalih memberikan bantuan kesehatan ataupun yang lainnya, mereka mendatangi kumpulan-kumpulan warga dari tingkat RT sampai Kota/Kabupaten sambil menyelipkan pesan permintaan dan menghadiahi sesuatu kepada para warga untuk memberikan suara/ hak pilihnya kepada calon kepala daerah yang diusung oleh parpol tersebut. Karena masih merasa belum maksimal, di malam hari/pagi menjelang fajar, para kader parpol dan mungkin juga orang-orang bayaran  bergerilya mendatangi rumah-rumah warga yang dianggap bisa dibeli hak pilihnya dengan memberi sejumlah uang_ masyarakat menyebutnya 'serangan fajar.  Pemberian gratifikasi ataupun politik uang jelas terjadi dalam praktek-praktek kampanye politik seperti itu.    Tetapi masyarakat sekarang cenderung sudah mulai paham, terima gratifikasi/uangnya tetapi memilih sesuai keinginannya. Apakah pengawas pemilu tidak tahu praktek semacam ini? Kecil kemungkinan   tidak mengetahuinya, bisa jadi karena panita pengawas pemilu terlalu meresapi jalan cerita dari drama politik itu, yang harusnya tidak boleh bermain tapi malah ikut bermain, memihak kepada salah statu pasangan calon kepala daerah.

       Setelah tahapan pemungutan suara dilewati, tahapan penutupnya adalah penghitungan hasil suara dan pengumuman pemenang pilkada. Ini adalah tahapan dimana para pasangan calon kepala daerah dan parpol pengusung memasuki ketegangan emosi, menanti dengan harap-harap cemas apakah hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Drama politik pilkada ini berakhir dengan happy-ending bagi yang menang dan sad-ending bagi yang kalah. Kalau yang kalah tidak legowo, tidak siap kalah, maka cerita drama politik berlanjut di pengadilan dengan cerita 'sengketa pilkada'.  Kalah juga di pengadilan, bukan berarti cerita drama berakhir, ganti cerita lagi menjadi 'mengusili lawan politik'_ seperti yang terjadi di pemerintahan DKI Jakarta saat ini. Bagaimana rakyat bisa makmur dan sejahtera kalau praktek politik berjalan tidak sehat seperti itu? Para politisi melalui parpol yang diikutinya lebih mementingkan keinginannya diri  sendiri dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat.

(200118)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline