Lihat ke Halaman Asli

Two Track Education

Diperbarui: 4 Januari 2016   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam rangka mengantisipasi tuntutan pasar kerja, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memperbanyak jumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Lulusan SMK diharapkan dapat memenuhi tuntutan dunia usaha dan dunia industri (Dudi) untuk kebutuhan tenaga menengah (madya). Dengan demikian ke depan rasio jumlah SMK dan SMA proposional yang memperhatikan tuntutan pasar. Artinya, Kemdikbud perlu memperbanyak jumlah SMK dan mengurangi SMA yang diindikasikan lulusannya tidak semua melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, sedangkan kalau masuk ke dunia kerja belum memiliki keterampilan yang dibutuhkan Dudi. Kebijakan pemerintah ini cukup tepat meski terlambat dalam mengurangi pengangguran dengan mendirikan sekolah yang mampu mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja.

Namun kebijakan pemerintah ini akan mengalami kendala dalam implementasinya. Pertama, ketersediaan tenaga pengajar (guru). Dengan jumlah guru SMA yang lebih banyak dibandingkan dengan guru SMK, akan menyebabkan kesulitan ketika terjadi perubahan rasio jumlah SMA dan SMK. Guru-guru SMA dan SMK mempunyai karakteristik dan diferensiasi serta spesialisasi yang berbeda-beda. Guru-guru SMA akan kesulitan untuk mengajar di SMK, sehingga yang terjadi adalah surplus guru SMA. Untuk mengantisipasi kondisi ini, pemerintah dari sekarang mendata secara akurat berapa jumlah guru SMA dan berapa jumlah kebutuhan guru SMK, sehingga bisa dicari solusi untuk mengisi kekurangan guru SMK tersebut. Salah satu solusi tersebut adalah dengan melalui pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan.

Kedua, sarana dan prasarana pendidikan. Dengan jumlah SMK yang lebih banyak dibutuhkan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung terselenggaranya SMK, karena SMK membutuhkan fasilitas yang berbeda dengan SMA. Tanpa didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, seperti laboratorium, bengkel kerja dan sarana pendukung lainnya hanya akan menghasilkan SMK ”sastra”, yang mengajarkan konsep keterampilan (skill) hanya dengan ceramah tanpa praktek.

Ketiga, anggapan masyarakat (orang tua) yang masih menganggap bahwa SMK adalah sekolah kelas dua, sehingga orang tua lebih bangga kalau anaknya melanjutkan ke SMA. Anggapan sebagaian besar orang tua seperti ini harus dirubah dan pemerintah melalui Depdiknas harus mampu meyakinkan dan membuktikan bahwa anggapan SMK sekolah kelas dua tidak benar. SMK justru menjadi sekolah alternatif bagi mereka yang ingin segera masuk ke dunia kerja di samping juga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Pendidikan Bermutu
Dengan memperbanyak jumlah SMK dibandingkan dengan SMA ada dua keuntungan yang dapat dipetik. Pertama, bagi mereka yang ingin cepat memperoleh pekerjaan dan kemampuan akademisnya kurang begitu tinggi dapat terbantu dengan banyaknya SMK. Dengan masuk SMK siswa yang tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, baik karena alasan kemampuan akademis maupun finansial dapat masuk ke dunia kerja dengan berbekal ilmu dan keterampilan yang diperoleh di SMK. Kedua, bagi mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi dan menjadi seorang ilmuwan bisa masuk ke SMA. Dalam kaitan ini pemerintah (Depdiknas) harus membuat regulasi pendidikan, yakni bagi siswa lulusan SMP dilakukan test penempatan untuk melihat kecenderungan minat, bakat dan kemampuan siswa. Bagi siswa yang mempunyai minat, bakat dan kemampuan akademis yang mengarah ke SMK bisa dianjurkan untuk masuk ke SMK dan bagi siswa yang mempunyai minat, bakat dan kemampuan akademis yang mengarah ke SMA bisa dianjurkan untuk masuk ke SMA. Kemdikbud harus ketat menerapkan regulasi ini, dimana siswa memilih sekolah sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan akademisnya, sehingga akan menghasilkan pendidikan yang bermutu. Siswa yang masuk ke SMK harus benar-benar dilatih dan dididik agar menjadi tenaga yang siap pakai setelah lulus dari SMK. Dalam kaitan ini sekolah harus menjalin hubungan dengan dudi, sehingga ada keterkaitan antara yang dipelajari di sekolah dengan kebutuhan dudi (link and match).

Demikian juga siswa yang masuk ke SMA harus benar-benar dididik dan dilatih untuk menjadi seorang ilmuwan yang handal sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan siswa. Sarana dan prasarana pendukung, seperti laboratorium IPA, IPS, dan bahasa harus memadai, sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan optimal. Namun demikian nantinya tidak semua siswa lulusan SMA dapat melanjutkan ke universitas (PT). Hanya siswa yang mempunyai kemampuan akademis yang tinggi yang dapat masuk ke universitas, sedangkan yang mempunyai kemampuan akademis sedang bisa masuk ke politeknik.
Dengan demikian mahasiswa yang masuk universitas benar-benar mereka yang diharapkan ke depan dapat menjadi seorang ilmuwan yang mampu mengembangkan keilmuannya untuk kepentingan bangsa dan negara. Tidak seperti sekarang, hampir semua lulusan SMA tanpa kecuali dengan mudah dapat masuk ke universitas (PT) meskipun tanpa didukung dengan kemampuan akademik yang memadai. Apalagi dengan adanya kebijakan masing-masing perguruan tinggi yang menerima mahasiswa baru melalui jalur khusus, dimana dengan mudah seseorang diterima di perguruan yang selama ini dianggap pavorit asal mampu memberikan sumbangan awal yang cukup besar. Sungguh ironis ketika mutu pendidikan dikalahkan dengan uang. Hal ini akan semakin parah ketika perguruan tinggi negeri direncanakan akan dilakukan privatisasi (baca komersialisasi), maka pendidikan akan menurun mutunya dan akan melahirkan diskriminasi, elitisme, serta eksklusifisme.

Dengan kebijakan two track education seperti dipaparkan di atas, maka pendidikan di Indonesia berangsur-angsur namun pasti akan menuju pada mutu yang baik dan tidak hanya menghasilkan pengangguran sebagaimana yang dirasakan sekarang ini. Melalui pendidikan (sekolah) siswa diberikan bekal akdemik dan keterampilan (skill) sesuai dengan minat dan bakat serta kemampuan akademiknya untuk mempersiapkan masa depan dan pada akhirnya dapat hidup secara layak di tengah kehidupan masyarakat yang semakin tak menentu. Dengan demikian kesenjangan antara ilmu pengetahuan yang diberikan sekolah (school knowledge) dan pengetahuan di luar sekolah (out of school knowledge) tidak semakin melebar.

Penulis adalah Widyaiswara di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DKI Jakarta Kemdikbud.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline