Lihat ke Halaman Asli

Pemilu 2014, Golkar, dan Kegalauan Aburizal Bakrie

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center

Pada Jum'at (9/5), Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil pemilihan umum (pemilu) legislatif tahun 2014. Sebagaimana telah diperkirakan oleh sejumlah lembaga survei melalui quick count (hitung cepat), hasil perhitungan resmi rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU menunjukkan tidak ada satu partai politik pun mampu tampil dominan dengan perolehan suara di atas angka 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara pemilih, tidak terkecuali Partai Golkar.

Alih-alih tampil sebagai pememang, Partai Golkar hanya mampu meraih posisi runner up di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan raihan suara 14,75 persen. Apabila dibandingkan dengan capaian pada pemilu legislatif lima tahun lalu, perolehan suara Partai Golkar dalam pemilu legislatif kali ini terbilang stagnan.

Stagnasi suara Partai Golkar dalam pemilu legislatif kali ini memunculkan rasa ketidakpuasan dari sejumlah elite di internal partai terhadap kepemimpinan Aburizal Bakrie. Apalagi hingga detik ini Partai Golkar tidak kunjung mendapatkan mitra koalisi untuk mendukung pencalonan Aburizal Bakrie dalam pemilihan presiden (pilpres) Juli mendatang.

Alih-alih mendapatkan rekan koalisi untuk mengantarkan sang ketua umum menuju kontestasi pilpres, Partai Golkar justru memperoleh penolakan dari partai-partai lain, seperti PDIP dan Partai Gerindra, saat menawarkan nama Aburizal Bakrie dalam proses penjajakan koalisi.

Tidak dapat dimungkiri, saat ini Aburizal Bakrie menjadi capres paling galau dibandingkan dengan dua capres lain Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Pemilik kelompok usaha Bakrie ini Seakan tidak lagi memiliki posisi tawar sedikit pun di hadapan partai-partai politik lain sehingga tidak kunjung mendapatkan dukungan koalisi. Bahkan, untuk sekadar menempati posisi calon wakil presiden bagi capres lain.

Untuk itu, muncul wacana untuk melakukan evaluasi terhadap pencalonan Aburizal Bakrie dalam ppilpres melalui forum rapat pimpinan nasional akhir pekan ini. Selain melakukan evaluasi terhadap pencalonan sang ketua umum, Partai Golkar direncanakan juga akan memunculkan nama lain dengan tingkat penerimaan lebih baik sebagai sebagai capres/cawapres untuk kemudian ditawarkan kepada partai lain

Keinginan tokoh-tokoh senior Partai Golkar, seperti Akbar Tandjung, untuk melakukan evaluasi terhadap pencalonan Aburizal Bakrie sesungguhnya bukan hal baru. Jauh sebelum pelaksanaan pemilu legislatif pemikiran itu telah disampaikan beberapa kali dalam sejumlah kesempatan.

Keinginan untuk melakukan evaluasi terhadap pencalonan Aburizal Bakrie didasarkan atas pertimbangan tingkat elektabilitas Aburizal Bakrie yang tidak kunjung mengalami kenaikan signifikan. Bahkan, hingga satu minggu jelang pemilu legislatif tingkat elektabilitas Aburizal Bakrie tidak kunjung menggembirakan.

Survei Indikator Politik Indonesia beberapa saat sebelum pelaksanaan pemilu legislatif menunjukkan tingkat elektabilitas Aburizal Bakrie sebagai capres Partai Golkar berada jauh di bawah tingkat elektabilitas partai berlambang pohong beringin tersebut. Aburizal Bakrie memiliki tingkat elektabilitas sebesar 5,1 persen, sedangkan tingkat elektabilitas Partai Golkar lebih besar hampir tiga kali lipat (14,9 persen).

Padahal, capres-capres lain memiliki tingkat elektabilitas lebih tinggi ketimbang partai politik tempat mereka bernaung. Sebagai contoh, tingkat elektabilitas Joko Widodo sebesar 55,7 persen, jauh di atas tingkat elektabilitas PDIP sebesar 24,5 persen.

Demikian pula dengan capres Partai Gerindra Prabowo Subianto. Tingkat elektabilitas mantan Danjen Kopassus tersebut lebih tinggi ketimbang Partai Gerindra. Prabowo memiliki tingkat elektabilitas sebesar 11,4 persen, sedangkan Partai Gerindra sebesar 10,5 persen.

Resistensi

Suara-suara kritis dari tokoh senior semacam Akbar Tandjung tentu tidak dapat dipandang sebelah mata oleh Aburizal Bakrie. Meskipun tidak lagi memegang jabatan startegis, pengaruh Akbar Tandjung di partai berlambang pohon beringin tersebut diyakini masih sangat kuat.

Selain menghadapi hadangan dari lingkungan internal partai, Aburizal Bakrie juga dihadapkan pada resistensi eksternal dari publik. Kasus bencana luapan lumpur Sidoarjo boleh jadi menjadi sebab utama dari kemunculan resistensi eksternal tersebut.

Bencana luapan lumpur yang menimpa Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur itu terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh oleh PT Energi Mega Persada. PT Energi Mega Persada sendiri merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie.

PT Lapindo Brantas merupakan salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang ditunjuk BP Migas untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh atau 100 persen oleh PT Energi Mega Persada. PT Energi Mega Persada sendiri sebagai pemilik saham mayoritas PT Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie.

Elektabilitas

Aburizal Bakrie memang memimpin sebuah kendaraan politik besar sekelas Partai Golkar. Namun, modal kendaraan politik besar saja tidak cukup untuk memenangkan kontestasi pilpres.

Patut diingat di era pemilihan secara langsung seperti saat ini tingkat elektabilitas seorang kandidat juga memainkan peran penting dalam menentukan hasil akhir. Fenomena kemunculan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi bukti konkret hal tersebut.

Pada pemilu tahun 2004, Partai Demokrat selaku pendukung utama SBY hanya memperoleh suara sebesar 7,45 persen sehingga secara matematis peluang SBY untuk menduduki kursi kepresidenan pun kecil. Namun, realitas politik berbicara lain pada pilpres putaran kedua SBY berhasil meraup suara sebesar 60,62 persen.

Hal serupa kembali terjadi pada pemilu tahun 2009. SBY berhasil tampil sebagai pemenang pilpres hanya dalam satu putaran dengan perolehan suara sebesar 60,80 persen, jauh melampaui perolehan suara Partai Demokrat sebesar 20,85 persen.

Satu pelajaran penting bagi para capres dalam pilpres mendatang adalah keharusan memperhatikan penilaian publik terhadap diri mereka. Jika tingkat popularitas atau citra seorang kandidat tidak baik di mata publik, maka tentu akan sangat sulit untuk mendongkrak tingkat elektabilitas kandidat bersangkutan. Dukungan politik mumpuni dari partai politik tidak lagi menjadi faktor penentu bagi kemenangan seorang kandidat di era pemilihan langsung.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline