Saat orangtua semakin sibuk karena mereka bekerja di luar linkungan rumah, pendidikan bagi anakpun seringkali kemudian menjadi masalah. Apakah anak mendapatkan perhatian? Apakah pendidikan yang mereka dapat di rumah atau di sekolah memadai? Sedangkan waktu yang tersedia untuk mengawasi, membimbing dan mendidik langsung anak-anaknya sering terhalang oleh kegiatan mencari uang, demi karirnya.
Hal seperti itu baru berkaitan dengan pendidikan anak di rumah. Lalu bagaimana dengan kemajuan pada pendidikan sekolah mereka? Biasanya, karena waktu yang dimilikinya terbatas, orangtua cenderung lebih memilihkan sekolah "favorit" untuk anaknya. Sekolah yang dirasa memilki disiplin tinggi, memberi banyak pekerjaan rumah, kemudian menyediakan berbagai aktivitas ekstrakurikuler yang akan menghabiskan waktu sehari-hari anak.
Orangtua bahkan tidak lagi memperhitungkan apakah anaknya mampu belajar dengan nyaman dan enak di sekolah itu, atau apakah memang benar sekolah itu sesuai dengan tingkat kematangan pribadinya dan kemampuan intelegensi pada anak.
Dari pengalaman praktiknya, dr Jan Prasetyo, psikiater dalam buku yang berjudul "Memudahkan Anak Belajar" mengatakan banyak orangtua yang mengeluh anaknya sukar menangkap pelajaran di sekolah, tidak dapat konsentrasi, sukar membaca, menulis, berhitung dan sebagainya. "Ternyata mereka yang dinyatakan orangtuanya bermasalah dalam belajar itu, sebagian besar tidak mempunyai persoalan-persoalan IQ. Kecerdasan mereka berfungsi pada taraf rata-rata, "katanya pada seminar sehari tentang Peranan Positif Orangtua pada Pendidikan Anak, yang diadakan POMG SDN IKIP Jakarta, pada Februari 1993 silam.
Dalam kasus-kasus seperti itu, orangtua lebih memaksakan anaknya belajar secara terus-menerus. Anak usia 6 tahun yang duduk di kelas I SD disuruh orangtuanya belajar seperti anak setingkat SMP. Hal ini dilakukan orangtua, dengan tujuan agar anaknya bisa mengikuti kurikulum ketat yang diterapkan sekolahnya. "Mengapa orangtua tidak mempertimbangkan memindahkan anaknya ke sekolah yang tidak terlalu ketat kurikulumnya, atau terlalu tinggi ambisiusnya?.
Menurut Conny Semiawan, sebaiknya orangtua didalam mengambil keputusan masalah sekolah anaknya, hal yang harus diperhatikan yaitu yang terbaik bagi anaknya, bukan bagi orangtuanya itu. Stimuls untuk mengembangkan diri anak harus diberikan sesuai dengan kemampuannya. Jarang sekali orangtua memperlakukan anaknya sebagai orang dewasa kecil," tuturnya.
Misalnya, anak dilatih terus-menerus agar bisa mengungkapkan hal-hal yang tidak masuk akalnya untuk dicernakan. Sehingga anak memang bisa mengungkapkan, karena anak memang mempunyai kemampuan menghafal, tetapi tidak mengerti maknanya. Pengajaran seperti ini akan menjadikan anak mengetahui pengetahuan secara verbal saja, tetapi tidak pada maknanya.
Prasetyo mengatakan masalah belajar pada anak timbul dikarenakan keperibadian dan kemampuan intelegensi yang belum mapan. Kedua hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya berhubngan dengan kelainan /gangguan saraf pusat, taraf kecerdasan, kejiwaan, dan cara pendidikan yang diberikan kepada anak.
Ciri anak yang sudah matang kepribadiannya diantaranya yaitu mampu melepaskan diri dari oarngtuanya tanpa masalah, dapat bekerjasama dengan teman sebayanya, dapat tertarik belajar sesuatu yang baru, dan lain sebagainya. Sedangkan kemampuan intelegensia anak cirinya antara lain, mengerti pengelompokan dan dapat menerima pendapat dari orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H