Saat saya menulis artikel ini, berita mengenai aksi penolakan UU Cipta Kerja selalu menghiasi media, baik itu media online, cetak, televisi, sampai media sosial.
UU Cipta Kerja merupakan omnibus law pertama yang disahkan DPR dari beberapa omnibus law yang diharapkan bisa segera direalisasikan dan disahkan.
Omnibus law pertama kali dicetuskan Presiden Jokowi dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI, dan menurut Presiden, omnibus law merupakan langkah strategis untuk menyederhanakan Undang Undang di Indonesia yang tumpang tindih dan tidak efisien.
Ketika pertama kali saya mendengar dan membaca mengenai konsep omnibus law, saya semula berharap bahwa omnibus law ini akan menjadi produk Undang undang tunggal yang menggabungkan sekaligus merevisi sejumlah Undang Undang.
Tentu saja hal ini seharusnya akan memudahkan masyarakat awam untuk mengakses, mempelajari, dan memahami suatu peraturan perundangan. Satu hal yang tidak menjadi perhitungan saya adalah; bahwa Undang Undang tunggal yang merupakan produk dari gabungan beberapa bahkan puluhan undang undang, pasti akan menjadi undang undang yang bermuatan banyak.
Ketika RUU Cipta Kerja disahkan DPR, segera berseliweran draft RUU Cipta Kerja setebal lebih dari seribu halaman. Ya, seribu halaman lebih
Bangsa Indonesia yang tingkat literasinya masih rendah, mendapat suguhan Undang undang setebal lebih dari seribu halaman. Hal ini justru membawa hukum Positif Indonesia semakin jauh dari jangkauan masyarakat. Hukum menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh sekelompok kecil orang yang mau dan punya kemampuan membaca yang baik.
Bukti dari kemewahan Omnibuslaw adalah begitu mudahnya HOAX menghasut banyak orang untuk turun ke jalan dan melakukan unjuk rasa. Hanya dengan modal tulisan : Pesangon dihapus di UU Cipta Kerja, ribuan orang bisa turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa tanpa mau memeriksa kebenaran berita tersebut.
Bahkan tadi malam saya sempat terlibat diskusi hangat dengan salah satu adik tingkat saya yang mengajak teman-temannya berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Ketika saya menanyakan apakah dia sudah membaca draft UU Cipta Kerja, dia hanya meneruskan pesan (gambar) Whatsapp tentang Ps 81 UU Cipta kerja.
Bahkan mahasiswa pun yang seharusnya mempunyai kemampuan literasi di atas rata-rata, malas membaca apalagi mempelajari sebuah omnibus law. Yang penting demo. Saya yakin sebagaimana tingkat literasi Indonesia yang hanya di angka 0,001 atau hanya satu dari seribu orang Indonesia yang suka membaca, dari 10 ribu orang yang ikut berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja paling banyak hanya 10 orang yang sudah membaca Omnibuslaw Cipta Kerja. Itupun belum tentu yang dibaca adalah draft final baca di sini, mengingat akademisi UGM pun masih belum menerima draft final RUU Cipta Kerja yang akhirnya disahkan DPR
Klik di sini
Kembali ke harapan awal saya mengenai omnibus law yang menjadi undang tunggal hasil gabungan beberapa undang undang, ternyata jauh panggang dari api. Omnibus law cipta kerja bukanlah Undang undang tunggal.
Omnibus law Cipta Kerja bisa dikatakan gabungan perubahan undang undang, di mana undang undang induk tidak dicabut. Artinya, kalau mau mengakses undang undang tersebut, orang harus menyandingkan omnibus law Cipta Kerja setebal 1000 halaman dengan undang undang induk. Belum lagi bila nanti di kemudian hari untuk mengimbangi dinamika dalam masyarakat, diterbitkan lagi perubahan UU dimaksud, atau jika ada putusan judicial review dari MK.