Lihat ke Halaman Asli

Puisi Fadli Zon dan Kehidupan Internet Kita

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari terakhir ini kita disuguhkan berita tentang puisi yang dibuat oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, yang mengkritisi kebebasan di dunia maya. Fadli Zon menggunakan frasa "Pasukan Nasi Bungkus" sebagai para pengguna internet yang aktif dalam dukung mendukung kandidat calon presiden.

Frasa ini muncul sejak pemilihan gubernur DKI yang lalu dimana di grand final Jokowi-Ahok berhadapan dengan Foke-Nara. Para pendukung Jokowi-Ahok menemukan frasa ini ketika para pendukung Foke-Nara disuguhkan nasi bungkus dalam berbagai kesempatan. Frasa ini akhirnya digunakan secara terus menerus untuk membalas orang-orang atau akun-akun yang memposting sesuatu yang menyerang Jokowi-Ahok. Seperti kita tahu, Jokowi-Ahok ketika itu banyak sekali diserang dengan menggunakan sentimen SARA.

Jokowi-Ahok akhirnya melenggang menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI. Kemenangan ini juga seolah menjadi kemenangan para pendukungnya. Meskipun masih ada beberapa akun yang menyerang Jokowi-Ahok setelah mereka menjabat, tapi dengan mudah ditangkal oleh para pendukungnya.

Sebagaimana kabar yang beredar di internet, pendukung Jokowi-Ahok di dunia maya tidak hanya individu yang bergerak sendiri secara sukarela mendukung jagoannya, tetapi ditengarai ada juga yang dikoordinir dalam 1 naungan yang bernama Jasmev. Jika kita bukan dari pihak yang dukung mendukung ini, mungkin lebih mudah mengidentifikasi individu yang bergerak sendiri. Bisa jadi individu itu kawan baik kita, teman diskusi di Kompasiana, atau memang orang-orang yang cukup familiar kita lihat kehadirannya di sini. Tetapi jika ada beberapa akun yang tiba-tiba muncul hanya untuk menyerang/meng-counter, itu yang perlu dipertanyakan identitasnya. Jasmev cukup familiar di Kaskus, tapi sepertinya tidak di Kompasiana. Sel-sel Jasmev ini sepertinya masih aktif hingga sekarang, yang berguna untuk meng-counter segala berita miring tentang kinerja ataupun ucapan-ucapan yang sering dilontarkan oleh Jokowi-Ahok.

Jika yang dulu aktif membully Jokowi-Ahok masih relatif banyak (mayoritas), di pilpres kali ini justru pendukung Jokowi yang sepertinya lebih banyak membully sosok yang mengkritisi Jokowi termasuk pengguna internet lainnya. Persis seperti yang terjadi di kanal Sepakbola. Roda memang selalu berputar. Tapi kebebasan di internet tak pernah berubah. Setiap orang bebas mencaci maki, menghina, membully, bahkan sampai memfitnah di dunia maya ini. Seolah-olah kita tidak mampu menghadapi kehidupan di dunia nyata. Jika dulu korbannya adalah Jokowi-Ahok, maka kali ini adalah korbannya semua kandidat terkuat calon presiden (Jokowi dan Prabowo dong.. sepertinya orang sudah bosan dengan Aburizal Bakrie). Dulu, pendukung Jokowi-Ahok hanya 1-2 saja yang rajin menyerang Foke-Nara. Selebihnya hanya meng-counter isu negatif yang beredar. Dengan menjadi silent reader, saya ikuti betul kehidupan yang terjadi di kanal politik Kaskus dan Kompasiana. Entah apa yang terjadi di website lainnya, seperti Detik Forum dll.

Kenyataannya memang iklim internet kita tidak sehat. Di Kompasiana saja orang bisa dengan seenaknya membuat akun hanya untuk menyerang Jokowi dan PDI Perjuangan. Sebagian lain digunakan untuk menyerang Prabowo dan Partai Gerindra. Jika belum puas juga, pendukungnya pun dijadikan korban. Serangannya bermacam-macam. Mulai dari agama, keluarga, aktivitas sehari-hari, pekerjaan, dll. Apakah akun itu mau bertanggung jawab atas tulisannya? Ini yang jadi masalah. Ketika seseorang menggunakan satu akun untuk menulis bahwa Jokowi itu keturunan Cina, beragama Kristen, dan segala macam fitnah yang menjatuhkan lainnya, atau menyerang Prabowo dengan tidak punya (maaf) kemaluan, otak kerusuhan Mei 98, dan penghinaan-penghinaan lainnya, dengan bahasa yang kasar dan vulgar, lalu kita mau jadi bangsa apa? Bangsa yang gemar mencaci maki, membully, menghina dan memfitnah orang lain? Apa itu esensi kebebasan yang diinginkan? Cobalah ucapkan apa yang sudah kita tulis itu ke dalam kehidupan nyata. Hasilnya tentu tak hanya perang kata-kata saja, bukan?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline