Lihat ke Halaman Asli

Gerardus Kuma

Non Scholae Sed Vitae Discimus

Vaksinasi Corona, Pembukaan Sekolah dan Kesiapan Kita

Diperbarui: 14 April 2021   07:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kunjungan ke rumah oleh guru dalam pembelajaran jarak jauh di SMPN 3 Wulanggitang, Hewa. Dok.pribadi

Ditemukannya vaksin bagai secercah cahaya di lorong gelap pandemi korona. Karena setahun lebih diserang Covid-19, nyaris tak ada sektor kehidupan yang luput dari dampak destruktifnya. Pemerintah pun bergerak cepat melakukan vaksinasi. Indonesia termasuk negara yang paling cepat melakukan vaksinansi.

Walau di tengah publik masih muncul keraguan tentang keampuhan vaksin dan dampak yang timbul akibat minimnya sosiaslisasi dan kesimpangsiuran informasi tentang vaksin, pemerintah tetap bertekat melakukan vaksinasi. Vaksinasi adalah salah satu jalan untuk memulihkan segera mungkin kondisi yang porak poranda akibat serangan Covid-19.

Proses vaksinasi masal dan gratis telah dilakukan. Untuk menepis keraguan publik, Presiden Jokowi tampil sebagai orang pertama yang divaksin, Rabu, 13 Januari 2021 di Istana Merdeka, Jakarta. Bersamanya ikut beberapa public figure dari berbagai kalangan demi meyakinkan masyarakat. Ini menjadi titik awal pelaksanaan vaksinasi nasional dalam upaya penangan pandemic Covid-19.

Guru merupakan salah satu kelompok prioritas yang menjadi target untuk divaksin. Vaksinasi untuk kelompok guru telah dimulai, Rabu, 24 February 2021. Pemerintah menargetkan semua guru dan tenaga kependidikan selesai divaksin bulan Juni 2021. Bila target ini dicapai, pembukaan sekolah pada awal tahun pelajaran di bulan Juli dapat dilakukan.

Membuka Sekolah

Keinginan membuka kembali sekolah dapat dimaklumi. Sejak kegiatan pembelajaran konvensional mulai dari TK/ PAUD hingga perguruan tinggi dihentikan dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh, dampak negatif yang timbul dari aktivitas belajar dari rumah ini begitu besar.

Menurut prediksi Bank Dunia dan UNESCO dampak pandemi Covid-19 pada pendidikan adalah menurunnya rata-rata lama sekolah dari 7,9 tahun menjadi 7,6-7,0 tahun. Angka putus sekolah meningkat, sebanyak 24 juta siswa dari pendidikan pra sekolah (PAUD) hingga perguruan tinggi putus sekolah akibat pandemi. Di mana pendidikan tinggi akan mengalami tingkat putus sekolah tertinggi dan proyeksi penurunan pendaftran sebesar 3,5% atau total 7,9 juta siswa; pendidikan anak usia dinia (PAUD) akan mengalami penurunan partisipasi sebesar 2,8% atau total berkurang 5 juta anak; sebanyak 0,27 persen siswa sekolah dasar dan 1,48 persen siswa sekolah menengah beresiko putus sekolah.

Dampak lain adalah menurunkan capaian hasil ujian/ pendidikan sekitar 25%. Meningkatnya kemiskinan belajar (learning poverty). Sebelum pandemic 53% anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah menderita kemiskinan belajar atau tidak dapat membaca dan memahami teks sederhana di usia 10 tahun. Hilangnya investasi pemerintah untuk pendidikan dasar sebesar 16% atau setara 10 triliun dolar AS jika sekolah ditutup selama lima bulan. Memperlebar kesenjangan pendidikan antara siswa dari kelompok ekonomi atas dengan siswa dari kelompok ekonomi bawah[i]. (Kompas.id, 02/03/2021)

Efek destruktif pandemi Covid-19 terhadap pendidikan di atas membulatkan tekat pemerintah membuka kembali sekolah segera setelah vaksinasi terhadap guru dilakukan. Bulan Juli sebagai awal tahun pelajaran diharapkan seluruh sekolah boleh bertatap muka kembali.

Mendikbud dalam rapat koordinasi dengan Komisi X DPR mengungkapkan alasan pembukaan sekolah setelah vaksinasi guru dan tenaga kependidikan rampung. Menurutnya Indonesia sangat tertinggal dalam kebijakan pembukaan sekolah dari negara lain yang juga terdampak Covid-19. Selain itu dari sisi kesehatan dirasa aman semua guru divaksin. Karena resiko tinggi Covid-19 umumnya pada kelompok usia 31-51 tahun. Sementara pada anak-anak yang terinfeksi mayoritas bergejala ringan[ii] (cnnindonesia.com, 18/03/202)

Walau pemerintah optimis pembukaan sekolah akan aman, di kalangan guru belum satu suara. Masih ada pro dan kontra. Guru yang setuju dengan pertimbangan pembelajaran jarak jauh sangat menguras energy dan biaya. Terutama bagi sekolah yang berada di daerah 3T yang tidak bisa menjalankan pembelajaran online karena keterbatasan sarana pendukung. Pembelajaran jarak jauh dijalankan dengan melakukan home visit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline