Lihat ke Halaman Asli

Gerardus Kuma

Non Scholae Sed Vitae Discimus

Sepenggal Kisah dari Wukir

Diperbarui: 9 Mei 2020   11:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SMAN 2 Elar, Wukir. Dok. pribadi

Pagi itu, hawa dingin masih memeluk kota Ruteng. Aku dan teman bersiap merajut kisah ke tempat "misi" baru.

Wukir. Sebuah tempat yang selama ini hanya sebatas nama yang kami dengar. Cerita tentangnya membuat siapa saja merasa takut, terutama soal jarak dan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan kalau tidak mau dibilang membahayakan. Tantangan berat menanti. Namun dengan dibaluti semangat maju bersama kami bertekad menggapai Wukir.

Vega R tumpangan kami mulai beranjak pelan. Tinggalkan Ruteng yang masih berselimut kabut. Menggores kisah di kanvas jalanan.

Lima belas menit berlalu, perjalanan sudah tidak bersahabat lagi. Medannya semakin menantang. Jalan berkelok-kelok diapiti jurang yang terjal dan dalam.

Jalan masih beraspal, namun kondisinya sudah mulai rusak. Sudah berlubang-lubang. Awalnya lubang-lubang itu berjauhan. Tetapi semakin jauh perjalanan, lubang-lubang itu semakin berdekatan. Di beberapa titik, aspalnya sudah tidak kelihatan lagi.

Beberapa perkampungan terlewati sebelum memasuki sebuah kawasan hutan lindung. Setelah bertarung melawan dinginnya udara hutan, dari kejauhan terlihat rimbunan pohon kopi. Dari situ aroma kopi sudah mulai tercium. Pertanda sebentar lagi akan memasuki kampung Colol, daerah yang terkenal sebagai penghasil kopi.

Kopi Colol memang selalu menggoda selera siapa saja yang lewat untuk menikmatinya. Moment ini tidak kami lewati begitu saja. Sambil menikmati kopi Colol, kami mencari informasi tentang Wukir. Namun jawaban yang diberikan sangat jauh dari kata memuaskan.

"Seumur hidup, saya tidak pernah ke Wukir," kata pemilik warung singkan tentang ketika aku menanyakan tentang Wukir. "Dari cerita yang saya dengar, Wukir itu sangat jauh," lanjutnya menjelaskan.

Perjalanan masih jauh. Semakin jauh perjalanan, kerusakan jalan semakin parah. Aspal sudah benar-benar terkelupas. Laju Vega R makin pelan. Perjalanan semakin lambat dan lama. Kampung-kampung kecil di pinggir jalan terlewati satu persatu sampai akhirnya kami tiba di Elar.

"Masih jauh, sekitar 3 jam perjalanan dari sini," jelas Ibu penjual bensin ketika kami bertanya tentang Wukir. "Harus hati-hati karena musim (hujan) begini jalannya rusak", pesannya kepada kami.

Kembali kami arungi perjalanan tersisa. Jalanan menanjak dengan kondisi semakin parah. Berbatu dan terjal. Suatu kondisi yang sangat membahayakan jika dilalui kendaraan berapa pun jumlah rodanya. Berkendaraan melewati jalur ini kita bagaikan bertarung dengan maut. Karena itu dibutuhkan nyali yang kuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline