Lihat ke Halaman Asli

Gerardus Kuma

Non Scholae Sed Vitae Discimus

Non Multa, Sed Multum

Diperbarui: 6 Mei 2020   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidik dan tenaga kependidikan SMPN 3 Wulanggitang. Dokumen pribadi.

Guru adalah insan yang mengemban tugas mulia dengan medan pengabdian tidak tersekat wilayah. Menjadi guru adalah sebuah panggilan mulia karena mencerdaskan anak bangsa di seluruh wilayah negeri. Mulai dari kota hingga ke kampung-kampung Guru hadir mendidik putra-putri pertiwi. Figure Guru sangat dibutuhkan sebagai pelita pembawa terang dan embun penyejuk dahaga.

Dahulu, pekerjaan guru kurang diminati. Beban (tugas) berat yang mesti "dipikul" namun minus apresiasi membuat profesi ini kurang dilirik. Minat orang menjadi guru sangat minim. Tidak ada antusiaisme untuk mengabdikan diri melalui jalur pendidikan. Kondisi guru dahulu memang sangat memprihatinkan kalau tidak mau dikatakan buruk. Sebagaimana dinarasikan Iwan Fals dalam lagunya Guru Umar Bakri, guru zaman "old" adalah guru yang hanya memiliki sepeda "kumbang". Dan walau banyak menciptakan menteri, professor, dokter dan insinyur, tapi gaji guru selalu dikebiri. Tergambar bahwa apresiasi terhadap profesi guru tempo "doeloe" jauh dari layak.

Namun seiring perkembangan waktu, persepsi orang terhadap profesi guru pun berubah. Profesi guru yang kini menjanjikan masa depan cerah menjadi daya tarik. Guru yang dahulu menjadi pilihan kesekian, kini menjadi prioritas utama. Lulusan sekolah menengah berlom-lomba masuk fakultas keguruan. Fakultas ini kemudian menjadi bidang favorit. Keinginan menjadi guru kian hari kian membludak. Guru menjadi rebutan banyak orang. Pekerjaan guru lalu menjadi primadona. Singkatnya menjadi guru zaman "now" adalah idaman bagi siapa saja.

Sejak UU No.14 Tahun 20015 tentang Guru dan Dosen disahkan, dan guru diakui sebagai sebuah profesi, minat orang menjadi guru meningkat drastis. Pengakuan guru sebagai sebuah profesi yang berimplikasi pada peningkatan jaminan hidup adalah magnet yang menarik orang mengabdikan diri di bidang pendidikan.

Membludaknya minat orang menjadi guru membuka peluang bagi pendidikan tinggi pencetak guru. Kesempatan untuk memanen mahasiswa (calon guru) terbuka lebar. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pun menjamur dimana-mana. Jika pada tahun 2004 hanya terdapat 90 LPTK, termasuk 12 universitas eks IKIP, serta 28 FKIP di PTN, pada tahun 2012 tercatat ada 374 LPTK. Jumlah ini bertambah lagi menjadi 421 LPTK pada tahun 2016 (Kompas, 14/03/18).

Seiring dengan itu, perkembangan jumlah guru mengalami peningkatan pesat. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah (calon) guru menjadi bertambah banyak. Data kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Desember 2016 mengungkapkan jumlah keseluruhan guru mencapai 2.922.826 orang, terdiri dari 1,43 juta (49%) guru PNS dan 1,49 juta (51%) guru swasta (Kompas, 16/03/18). 

Informasi tambahan adalah saat ini ada sekitar 1,2 juta mahasiswa LPTK serta lebih dari 254.000 sarjana pendidikan yang menunggu peluang. Padahal kebutuhan guru untuk semua jenjang pendidikan, sampai 2024, diperkirakan hanya 126.000 guru (Kompas, 14/03/18). Kondisi ini menggambarkan bahwa Indonesia mengalami surplus guru.

Meningkatnya minat orang menjadi guru dan menjamurnya LPTK, di satu sisi mesti disambut gembira. Karena dengannya ketersediaan tenaga pendidik tidak menjadi soal. Dan pada gilirannya pemenuhan hak anak-anak bangsa memperoleh pendidikan akan terjawab. Namun, di tepi lain tanpa disadari justru menciptakan problem. Bertambahnya jumlah guru tanpa diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja (baca pembukaan sekolah baru) ujungnya menghasilkan pengangguran. 

Banyak lulusan sarjana pendidikan tidak terserap dan menjadi pengangguran terdidik yang tidak tahu harus kemana mengadu nasip. Selain itu, produksi guru dalam jumlah massal dengan kualitas LPTK yang beragam menghasilkan out put yang mutunya dipertanyakan. Kualitas guru pun diragukan. 

Sebagaimana disajikan Kompas (13/03/18), hasil uji pengetahuan per LPTK memberikan gambaran rendahnya mutu lulusan LPTK. Ujian bagi Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan pada 10 PTN, dari 438 peserta, 222 orang (50,68%) lulus pada ujian utama. Program Pendidikan Guru Terpadu Pendidikan Sekolah Guru Sekolah Dasar pada 9 PTN dan 1 PTS, dari 334 peserta, yang lulus 92 orang (27,54%). Sementara ujian bagi Pendidikan Profesi Guru Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal pada 22 PTN dan 1 PTS, dari 3.156 peserta, yang lulus sebanyak 1.568 orang (49,68%).

Fakta di atas mengungkapkan bahwa masalah guru kita sekarang bukan pada jumlah tetapi mutu. Ketersediaan guru kita cukup banyak. Tetapi dari sekian banyak guru itu hanya sedikit yang memenuhi standar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline