Lihat ke Halaman Asli

Gerardus Kuma

Non Scholae Sed Vitae Discimus

Potret Pendidikan "Orang-Orang Oetimu"

Diperbarui: 3 Mei 2020   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Tahun 2018, ketika sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta diumumkan, Felix K. Nesi dengan novel Orang-Orang Oetimu keluar sebagai pemenang. Kemenangan ini melambungkan nama Felix, tentu saja.

Karya Felix Nesi ini menuai apresiasi positif dan dipuji banyak kalangan. "Sebuah contoh fiksi etnografi yang digarap dengan sangat baik", begitu pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2018.

Saya pun jadi penasaran. Timbul hasrat memiliki Orang-Orang Oetimu. Ingin membaca seperti apa "isi" novel tersebut. Awal tahun 2020, keingingan itu baru terpenuhi.

Oetimu yang menjadi judul merupakan latar cerita novel tersebut. Oetimu adalah sebuah daerah di pelosok Nusa Tenggara Timur.

"Oetimu terletak di ujung selatan kecamatan Makmur Sentosa, menghubungkan kota kecamatan dengan kampung-kampung lama" (hal.54).

Orang-Orang Oetimu mengisahkan kehidupan social orang Timor. Berbagai bidang kehidupan orang Timor dipotret dalam novel ini. salah satu adalah pendidikan.

Pendidikan yang layak bagi orang Oetimu adalah sebuah utopi. Hak untuk mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang layak adalah mimpi yang entah kapan akan terwujud. Pendidikan di Oetimu dijalankan dalam kondisi (fasilitas) yang memprihatinkan.

"Gedung SMA itu sederhana saja, hanya los panjang berdiding bebak beratap alang-alang yang disekat menjadi tiga ruang; satu ruang kelas, satu ruang kepala sekolah dan satu ruang guru. Siswanya banyak tapi hanya sedikit yang berseragam. Banyak dari mereka yang tidak memakai sepatu dan tidak mempunyai topi" (hal.60).

Pendidikan yang baik dan bermutu selalu mahal dan elitis. Walau program wajib belajar sembilan tahun sudah digalakkan, namun pendidikan gratis belum sepenuhnya dinikmati. Orang kampung Oetimu, yang ekonominya lemah lembut harus menerima kenyataan untuk tersingkir dari lembaga pendidikan dengan label "bermutu."

"Sementara sekolah itu semakin tersohor dan mendatangkan siswa-siswi baru, anak-anak nelayan, kuli pelabuhan, para pelacur, dan para pekerja kasar lainnya harus keluar dari sekolah itu. Biayanya menjadi lebih mahal empat kali lipat (hal.99)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline