Lihat ke Halaman Asli

Gerardus Kuma

Non Scholae Sed Vitae Discimus

Merayakan Hari Buku di Tengah Corona

Diperbarui: 23 April 2020   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Buku adalah jendela dunia. Di dalam buku terkandung banyak informasi. Juga tersimpan banyak pengetahuan. Yang semuanya hanya bisa disibak dengan membaca. Sebagaimana kata Seus, "The more you read, the more things you will know, the more that you learn, the more place you'll go." Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak yang kamu ketahui, semakin banyak yang kamu pelajari, semakin banyak tempat yang kamu kunjungi. Singkatnya berteman dengan buku memperluas wawasan kita.

Disadari bahwa rasa cinta bangsa Indonesia terhadap buku mulai pudar. Halmana tergambar dari berbagai survey tentang budaya membaca masyarakat Indonesia. UNESCO misalnya, melaporkan bahwa dari 1000 orang Indonesia hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca. Oh my God. Begitu rendahkah rasa cinta kita kepada buku? Sampai kita tidak meluangkan waktu untuk membacanya.

Benarkah budaya membaca kita sudah luntur? Dari pengalaman sebagai guru, saya menemukan bahwa budaya membaca di lingkungan sekolah memang memprihatinkan kalau tidak mau dikatakan buruk. Warga sekolah baik pendidik, tenaga kependidikan maupun siswa hampir tidak memiliki waktu untuk membaca. Tetapi kabar baiknya, bila disodorkan buku, mereka begitu antusias menerima dan membacanya. 

Pengalaman ini menghantar saya pada kesimpulan bahwa budaya membaca kita memang rendah; kekurangan, atau lebih tepatnya ketiadaan buku adalah penyebabnya. Karena itu buku adalah jawaban atas persoalan literasi membaca bangsa.

Ketika survey tentang budaya membaca melaporkan hasil serupa, kita seperti kebakaran jenggot. Tidak mungkin budaya membaca kita seburuk itu. Apa pun "protes" yang dilayangkan, itu tidak akan menyelesaikan soal. Untuk mengusir rasa malas membaca, kita mesti beraksi. Gerakan menyebarkan buku bacaan dan ajak banyak orang untuk membaca. Itu solusinya. Selain itu hanya retorika.

Aksi itu pelan-pelan sudah dimulai. Di sekolah gerakan literasi perlahan dihidupkan. Setiap pagi warga sekolah diwajibkan membaca lima belas menit sebelum aktivitas pembelajaran dimulai. Di masyarakat taman baca mulai didirikan. Bertebaran dari kota hingga pelosok. Solidaritas menggalang bahan bacaan untuk didonasikan ke taman bacaan digawangi oleh Pustaka Bergerak Indonesia. Buku-buku bacaan didistribusikan ke seluruh Nusantara.

Aksi ini didukung pemerintah yang menggratiskan pengiriman buku ke seluruh wilayah tanah air pada tanggal 17 setiap bulan melalui Kantor Pos Indonesia. Walau belakangan mekanisme pengirimannya sudah berubah, gerakan ini setidaknya menjawabi kekurangan buku bacaan yang dialami selama ini.

Di saat ini dunia sedang menghadapi serangan virus SAR-COV-2. Menghdapi pandemic covid-19, Indonesia menerapkan kebijakan social distancing: bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah.

Saat menjalankan social distancing, buku menjadi teman setia saya. Saya memiliki lebih banyak waktu untuk membaca buku. Mendalami isinya. Menimba inspirasi dari para (penulis) buku. Bersama buku social distancing dapat saya jalani dengan baik. Benar pepatah Arab, "Sebaiknya-baiknya teman duduk paling setia adalah buku."

Tiga hari lalu saya memilih buku Menjadi Guru Hebat Zaman Now untuk menemani saya. Hari ini saya menuntaskan buku karya Robert Bala tersebut. Adalah kebetulan saya selesai membaca buku ini di hari buku international. Ketika memilih buku ini tiga hari yang lalu untuk dibaca, saya tidak memasang target harus membaca dalam tiga hari. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline