Oleh: Kang Moes
Di media sosial, setiap orang bisa menjadi tokoh utama. Tetapi tanpa sadar, semakin lama menjelajahi media sosial, akan membuat banyak tokoh utama itu tertekan. Semakin lama menatap layar ponsel, seperti merasakan ada sesuatu yang mendesak dalam diri. Istilah yang paling tepat mungkin 'cemas' untuk menggambarkan perasaan itu. Merasa cemas karena melihat hidup orang lain jauh lebih menarik, seru, asyik, dan sukses. Perasaan macam inilah yang disebut dengan FOMO.
Istilah FOMO pertama kali dikenalkan oleh Patrick J. McGInnis, pada tahun 2004 melaui artikelnya yang berjudul Social Theory at HBS: McGinnis 'Two FOs' diterbitkan di Harbus, sebuah koran mahasiswa Harvard Business School (HBS). Istilah ini menjadi populer 15 tahun kemudian, seiring pertumbuhan media sosial.
FOMO atau Fear Of Missing Out dapat diartikan sebagai rasa takut tertinggal dari orang lain. FOMO menyebabkan munculnya banyak keinginan, entah karena tidak ingin tertinggal atau ingin menjadikan hidupnya lebih sempurna. Dengan adanya media sosial, FOMO semakin tampak dan menjadi-jadi. FOMO bisa timbul saat kita menghabiskan waktu untuk berandai-andai mengenai apa yang ingin kita miliki daripada mensyukuri apa yang telah atau benar-benar kita miliki.
Patrick McGinnis kemudian menjelaskan lebih rinci dalam bukunya yang berjudul Fear Of Missing Out mulai dari definisi (sebagaimana dijabarkan diatas), dampak, hingga solusi FOMO dan yang berkaitan dengan itu, tentang sifat yang menimbulkan banyak pengaruh namun sering kali tidak disadari banyak orang.
Dampak FOMO
McGinnis mengungkapkan bahwa FOMO itu perasaan memabukkan. Perasaan itu juga membuat kewalahan, terutama jika kita sering mencoba membandingkan diri dengan orang lain. Maka kita akan merasa ada begitu banyak yang harus dilakukan tapi waktu begitu terbatas. FOMO mendorong kita untuk melakukan sebanyak mungkin hal karena tidak ingin tertinggal.
Suasana hati atau mood seseorang yang mengalami FOMO akan cenderung kurang baik. Mereka memiliki rasa percaya diri lebih rendah dan tersimpan perasaan kesepian serta rasa inferior, terutama ketika mereka yakin bahwa mereka tidak sesukses orang-orang sebaya atau yang ada di lingkaran sosialnya. Hal ini juga berimplikasi pada penurunan semangat belajar, kesulitan interaksi tatap muka, hingga gangguan motivasi diri.
Entah itu FOMO yang berasal dari dunia digital ataupun secara langsung, bukti ilmiah menyatakan bahwa FOMO menimbulkan dampak nyata yang berpengaruh pada kehidupan, pekerjaan atau studi kita. Jika dorongan di balik keputusan atau pilihan kita dibajak secara sistematis oleh kerabat, orang sekitar atau internet, itu artinya kita telah menyerahkan kendali. Kita tidak lagi mempunyai otonomi atas kehidupan diri sendiri.
McGinnis menyatakan bahwa media sosial memegang kendali yang besar dalam hal provokasi. Media sosial memudahkan kita untuk mengetahui hal-hal yang sedang terjadi secara luas hingga lebih mudah bagi kita untuk terpapar pada informasi yang memprovokasi FOMO di sekitar kita melalui media sosial.
Waspada FOBO