Ia lahir satu pekan sebelum hari Keluarga Berencana, pada Sabtu Pon 1981 yang dirundung badai sedari subuh. Ibunya telah mewanti-wanti kepada sang ayah yang agak gila agar memanggil dukun beranak sejak sehari sebelumnya, dan pesan itu dilaksanakan dengan patuh oleh sang ayah; lelaki itu menggelandang tukang tambal ban yang tampak linglung ke rumahnya ketika ketuban istrinya pecah.
Bayi itu dilahirkan oleh ibunya sendiri, sendiri dalam arti yang benar-benar harfiah. Sang ibu yang murka dan kesakitan mengusir tukang tambal ban beserta suaminya yang gila dengan memakai apa saja yang terjangkau oleh tangan. Dia terlalu letih untuk meminta bantuan pada tetangga, maka dengan tertatih dia menuju dapur dan bersandar pada sumur pompa sambil menggenggam pisau untuk memutus tali pusar.
Ia dinamakan Ngaisah, sesuai dengan nama istri Rasul yang sering ibunya dengar dari corong surau. Menjadi setengah yatim sejak dilahirkan tentu bukan perkara mudah bagi siapapun, termasuk Ngaisah yang bertambah muram dari hari ke hari akibat ibunya yang sakit-sakitan dan ayahnya yang menggila.
Ayahnya tak pernah pulang sejak diusir oleh ibunya ketika ia dilahirkan, tetapi lelaki itu masih tinggal di kota yang sama dengan keganjilan yang terus bertambah seiring waktu. Para tetangga berceloteh dengan riang perihal ayahnya yang menyusuri jalanan tanpa busana dan anak-anak mereka mengejek Ngaisah dengan pelbagai julukan keterlaluan.
Ngaisah gantung seragam saat kelas lima Sekolah Dasar demi menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya tak mampu bangkit dari ranjang sejak dua bulan sebelum Ngaisah menghanyutkan buku-buku pelajarannya di Bengawan Solo dan melamar kerja di keluarga juragan kopra. Bakat menjualnya telah tampak ketika sesi wawancara di beranda rumah sang juragan.
"Saya sudah punya pembantu yang cakap dan tak ingin menambah pembantu lagi saat itu, apalagi yang melamar kerja adalah bocah dekil yang mengangkat wajan pun sepertinya tak mampu," kata Loekminto, sang juragan kopra sekaligus tuan Ngaisah. "Tapi bocah ini berkata bahwa ia mampu memasak makanan apa pun dengan kelezatan yang sulit ditandingi oleh siapapun, dan karena itulah saya menerimanya. Meski ternyata bikin tempe goreng pun ia tak becus."
Sulit membayangkan horor macam apa yang ibunya makan selama itu, tetapi dengan bimbingan luar biasa dari pembantu senior sang juragan dan kegigihan Ngaisah untuk belajar, bocah itu akhirnya mampu membuat sesuatu yang bisa disebut makanan pada hari ketiga ia bekerja, dan membuat Loekminto sekeluarga tercengang pada minggu keempat saat menyantap tengkleng bikinannya.
"Harus saya akui, tanpa tengkleng bikinan Ngaisah di surga kelak, saya lebih memilih masuk neraka," ujar Loekminto dengan mimik serius, yang diamini istrinya.
Ngaisah berhasil menyajikan makanan surgawi kepada keluarga itu tiap hari, tetapi ibunya yang lumpuh akhirnya wafat di tahun keduanya bekerja, empat pekan setelah menstruasi pertamanya. Ia tak lagi seorang bocah, tetapi fase baru itu mengantarkannya ke status baru yang membuatnya sebatang kara. Ia menangis sehari semalam, tak menggubris kedatangan keluarga Loekminto yang membujuknya agar tak meratapi jenazah sang ibu.
Gadis itu menampik ajakan sang juragan untuk tinggal di rumahnya. Ia tetap pulang ke rumah bobrok itu sebagaimana biasa sepulang kerja.
Ia tidur di ranjang ibunya, membuat wedang jahe pada pagi dan petang dan meletakkannya di meja reyot di samping ranjang untuk sang ibu, dan memasak air di pagi buta sebelum berangkat kerja untuk menyeka tubuh sang ibu, yang akhirnya ia buang sepulang kerja bersama wedang jahe yang tak terminum untuk kemudian mengulangi siklus itu keesokan hari.