Lihat ke Halaman Asli

Kukuh C Adi Putra

Praktisi Pendidikan | @kukuhcadiputra

Bersihkan Diri dari Ke-Aku-an

Diperbarui: 31 Maret 2023   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku yang Ramai (Sumber: Pixabay.com)


Tengoklah, hampir setiap hari pengendara motor maupun mobil berlalu lalang. Sesekali pernah atau bahkan sering menjumpai perilaku pengendara yang mayoritas seenaknya. Contoh yang perlu disorot ialah membuang bungkus apapun lewat kaca jendela mobil, atau menyentil puntung rokok ketika berkendara, hingga abunya menyeruak ke mata. 

Ini bukan soal tradisi buang sampah sembarangan yang konon sangat melegenda di Indonesia. Ini lebih menyangkut kepada perilaku kita yang membuat kerusakan tatanan hampir di semua lini. 

Penyakit boleh bemacam-macam variannya, tapi sumbernya ternyata satu : diri sendiri.

Prioritas kita terhadap diri sendiri ternyata dianggap masih luar biasa. Sayang, konsep membersihkan diri tanpa peduli kebersihan tetangga adalah hal yang biasa. Sekedar diminta bergotong royong merapikan lingkungan sendiri beratnya minta ampun. Akibatnya, yang bersih dan yang kotor, yang lebih dan yang kurang, sudah biasa rukun berdampingan dengan kontrasnya. Bakat disertai kesanggupan mengotori tanpa sanggup membersihkan adalah hegemoni kita. 

Terdengar sarkatis, faktanya kenapa WC umum selalu jorok keadaannya, bus kota selalu cepat mogok, piranti-piranti berat selalu lupa tak diurus, selalu butuh dana perawatan, dan uniknya selalu berkurang tiap periode. Apalagi yang bisa diharapkan dari masyarakat yang hanya bisa memakai tanpa mau merawat, hanya mau enak tapi cuci tangan terhadap tanggung jawabnya.

Masyarakat seperti ini pasti akan merosot mutunya. Baru-baru ini contohnya, jika membentuk kesebelasan sepak bola pasti akan menjadi kesebalasan yang lemah. Yang kuat cuma suporternya. Semakin mempertegas bahwa betapa lemahnya kekuatan yang kita miliki, kenapa ?  Karena kita hanya mampu mengalokasikan energi untuk berbuat onar dan membuat kerusakan wabil khusus acuh tak peduli. Keacuhan ini nampaknya jika disemai akan berbuah menjadi ke-aku-an yang dominan.

Salah satu kekhawatiranku adalah kesalahan dalam meletakkan “aku” di berbagai tempat. Unsur “aku” adalah wujud dari ego yang diperhalus secara menahun. Jika mis-intonasi sedikit saja, misal meninggikan ke”aku”an, tinggi pula penghakiman publik. 

Resiko seperti itu tidak cocok untuk kesehatan batin, setidaknya bagiku.

“Aku” muncul ketika merasa bisa menguasai segala hal, mulai mempermasalahkan bab receh, dan klimaksnya over confidence atas secuil apapun pencapaian. Ringkasnya apapun yang kuperintahkan wajib dalam kendaliku, duniamu harus diisi “aku”. Jika perlu saat berpapasan, wajib setiap orang tahu bahwa aku adalah “aku”. Buahnya pengakuan. Repot betul urusan ini.

Dalam hal ini perlu sesekali menegaskan diri, berteriak siapa bosnya kepada aku yang memiliki “aku”. Siapa yang take the lead. Siapa yang memberi perintah skala ring satu. Bukan terbalik, “aku” yang sebetulnya bukan aku. 

Setidaknya pernah ada kiasan, sifat manusia tidak sekalipun berubah, yang bergeser hanya cara pandang kita terhadap sifat aslinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline