Setidaknya dalam sebulan terakhir muncul beberapa berita viral, salah satunya adalah penganiyayaan yang dilakukan oleh seorang anak pejabat yang membuat salah satu Kementerian disorot habis-habisan. Bak bola salju yang terus bergulir, tidak hanya latar belakang sang pelaku, melainkan seluruh keluarganya terekspos media.
Sejenak, mari kita ingat kembali akar masalah mengapa peristiwa itu terjadi, muncul satu kata yang cukup mewakili : Terhina.
Awal cerita bermula ketika kekasih pelaku merasa dilecehkan dan dirugikan oleh korban. Sebagai pasangannya, pelaku merasa memiliki kewajiban untuk bertindak, lengkap dengan atribut perangainya, api amarah tersulut dan nahasnya ia merasa 'terhina' secara sepihak tanpa klarifikasi tiga arah.
Mari kita bayangkan keadaan terhina itu. Meriangnya sampai ke jiwa dan menekan dada. Jika melihat sang penghina rasanya ia hendak kita lumat hingga selumat-lumatnya. Cara paling sehat untuk membuang perasaan terhina ini adalah dengan cara menyalurkan dengan segera. Sayang cara ini tidak mudah karena berbagai keterbatasan.
Prie GS dalam artikelnya menjelaskan, cara yang pertama adalah keterbatasan hukum. Melumat begitu saja para penghina, jatuhnya cuma akan melanggar hukum. Padahal tak setiap dari kita kuat dan berani melanggar hukum. Kedua adalah keterbatasan kita sendiri. Contoh kedua ini dililustrasikan dengan baik oleh maestro lawak Jawa : Junaedi. Saat itu ia bercerita tentang istrinya yang digoda lelaki iseng di jalanan.
Sebagai suami terhormat ia marah luar biasa dan bersiap melabrak sang penggoda. Untung kemarahan itu tidak mengganggu akal sehatnya. Sebelum main labrak ia bertanya lebih dulu keadaan sang penggoda itu. "Tinggi besar," jawab sang istri. Junaedi surut setindak dan gantinya cukup memberi nasihat bijak, "Ya sudah, besok jangan lewat jalan itu lagi".
Psikologi seperti Junaedi itulah yang kadang-kadang kita derita. Tak mudah menyalurkan perasaan terhina karena banyak sekali batasannya. Jika cuma batasan hukum, kita mudah menerimanya karena ia menghuni keadaan banyak orang. Tetapi jika keterbatasan itu berpusat pada diri sendiri ia akan menjelma jadi depresi.
Dalam kasus di atas, pelaku mendobrak semua batasan itu. Ia merasa kebal terhadap hukum karena orang tuanya memiliki pengaruh. Sayang, semua tak seindah yang ia kira. Rasanya kita diingatkan kembali bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Begitu berbahaya keadaan terhina itu sehingga penting sekali mengurangi jumlah penyebabnya.
Jika dianalogikan perasaan "terhina" adalah telurnya, lantas siapa induknya ?
adalah perasaan ingin diperhatikan. Segala tindakan pelaku tak ayal berinduk kepada keinginan untuk diperhatikan dan membalas perhatian pasangannya. Ternyata memang, sejauh penelusuran netizen, pelaku dirasa memiliki kecenderungan ingin diakui dan gemar membagikan momen-momen sejenis flexing. Mari sejenak kita perhatikan induknya ini, jika salah kelola tentu berujung menjadi telur-telur yang merugikan kita di kemudian hari.
Beberapa kawanku -memang tidak banyak- namun ada yang rutin membagikan momen atau apapun yang ia miliki via media sosialnya. Alasan kenapa ia gemar menunjukkan apapun adalah soal yang sejatinya bukan urusan kita. Tetapi akhir-akhir ini perilaku tersebut menjadi candu Nasional, jika berlebihan rasanya seperti flexing.