Lihat ke Halaman Asli

Kukuh C Adi Putra

Praktisi Pendidikan | @kukuhcadiputra

Cukupkah Kita Berpikiran Positif Saja?

Diperbarui: 8 Maret 2019   17:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bracketsmackdown.com

Awalnya ini bentuk kegelisahan saya saja. Jarang mengevaluasi hal -- hal yang sudah menjadi kebiasaan lambat laun membuat kita kurang waspada dan anti kritik terkait pengembangan diri sendiri. Saya pribadi memiliki rasa cemas yang berlebih, susah mengesampingkan pikiran-pikiran negatif. Maka salah satu senjatanya adalah mencoba berpikir positif.

Namun seberapa keras pun berusaha, selalu saja pikiran negatif datang mengusik, layaknya "yin" dan "yang", kedua elemen tersebut selalu berpasangan untuk menjaga keseimbangan. Apakah tepat jika saya mencoba membohongi diri sendiri dan mengatakan semua baik-baik saja, sedangkan perasaan saya berkata lain? Sehingga kesimpulan yang saya dapat, berpikir positif harus memiliki kekuatan multidimensional, ia tidak boleh dikelola dalam satu lingkup saja (pikiran), perasaan juga harus dilibatkan, agar seimbang, berjenjang dan terukur. Mari kita dalami satu - persatu.

Pikiran

Perkembangan terbaru ilmu psikologi ternyata menemukan fakta, adanya potensi masalah saat berpikir positif. Dalam artikel "The Problem With Positive Thinking" menjelaskan bahwa berpikir positif justru sering menghambat. Beberapa eksperimen menunjukkan, mereka yang selalu berpikir positif dalam usahanya untuk mencapai tujuan, seringkali memperoleh hasil yang lebih buruk dibandingkan mereka yang tidak menerapkannya.

Berpikir positif secara spesifik sebetulnya menipu pikiran kita, memberi anggapan seolah - olah sudah mencapai apa yang kita inginkan, sehingga cenderung melemahkan keuletan kita dalam berusaha. Namun patut digaris bawah, sekedar menganjurkan orang untuk berpikir realistis pun ternyata juga tidak banyak membantu dan tidak memberikan hasil yang lebih baik.

Dalam artikel di atas, penulis mengusulkan adanya "mental contrasting", yaitu penggabungan antara positive thinking dengan negative thinking. Secara lugas dapat dikatakan seperti ini, boleh berpikir positif dengan membayangkan hal -- hal yang diharapkan telah dicapai, namun jangan lupa memikirkan dan memperkirakan hambatan -- hambatan apa saja yang nantinya ditemui. Begitulah pengertian ringkasnya.

Tentunya penelitian terhadap "mental contrasting" menunjukkan hasil yang lebih baik ketika diterapkan kepada peserta eksperimen jika dibandingkan dengan mereka yang hanya berpikir dan membayangkan hal-hal positif maupun negatif saja. Bab pikiran sudah selesai digabungkan, selanjutnya adalah bab perasaan.

Perasaan

Dalam bukunya "Quantum Ikhlas", Erbe Sentanu secara detail menjelaskan fenomena transformasi diri secara digital. Dengan menitikberatkan kepada "rasa ikhlas" kita dituntun kepada dunia dimana seharusnya kita berada. Berbagai kalangan beranggapan sifat ikhlas adalah sikap yang lemah, menjadikan kurang dihargai, tidak tercukupi secara materi, atau tidak tercapainya tujuan hidup karena tidak ada ambisi.

Padahal justru sebaliknya, dalam kondisi ikhlas, menjadikan kita lebih kuat, cerdas, dan bijaksana. Kita bisa berpikir jernih, mampu menjalani hidup dengan lebih efektif dan produktif dalam mencapai tujuan. Bahkan hubungan dengan siapa pun akan terjalin baik dan menyenangkan.

Erbe mengajak kita untuk menggeser fokus pengembangan diri berbasis intelegensi pikiran menuju intelegensi hati dan kinerja jantung. Dengan kata lain dari positive thinking menuju positive feeling. Ini yang saya sebut kekuatan multidimensional di atas. Dalam penerapannya, berpikir positif ternyata multidimensional dan berjenjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline