"Aku menunggu kabar dari Najwa, yang berjanji akan menghubungiku dekat dekat ini". Itulah kata kata yang sering keluar dari lisan cak biru akhir akhir ini.
Najwa adalah wanita yang dikenalnya lalu dicintainya, hanya dalam tempo yang cukup singkat,cukup dalam waktu dua hari.
Cinta keduanya murni, tanpa nafsu pun birahi.Bukti cinta dari Najwa adalah sebuah gelang yang dikirimkannya lewat pos kepada cak biru sesaat sebelum kembalinya ke pondok.dan pernyataan bahwa ia telah ceritakan semua tentang cak biru kepada Abah Najwa.Najwa harus kembali ke pondok untuk mengabdi dan menuntaskan pengembaraannya.Cak biru sudah menunggunya lebih dari satu purnama.
Kisah cinta mereka bak cerita qais dalam Laila majnun. Bertemu, bertatap, video call, Telfon, bahkan mengirim pesan suarapun tak pernah mereka lakukan. Cak biru pernah pergi jauh-jauh ke daerah tempat tinggal Najwa hanya untuk melihat rumahnya, meski faham betul bahwa ia tak ada disana. "Yang aku lihat bukan rumahnya melainkan orang yang pernah tinggal didalamnya". Bunga cinta bersemi dalam musim pancaroba.
Ahad, 4 Oktober 2020. Sore yang seperti biasanya, sepi, sedikit sunyi, dinaungi awan mendung. Cak biru menawarkan ku ajakan pulang ke kampung halaman yang tak jauh dari kampus kami menetap. Orientasi kepulangannya untuk obati rindunya pada keluarga. "Aku rindu senyum manis umi saat ketika menyambut kedatanganku". Akupun menyanggupinya.
Saat matahari sempurna terbenam di arah baratnya kami sampai, menginjakkan kaki atas tanah yang biasa diinjak olehnya sebelum keadaan membuatnya pergi mengembara, memburu ilmu. Bibir itu tersenyum manis ketika anaknya datang. pemandangan indah yang tidak semua putra dapat merasa sepertinya. Apa yang didambakannya terbayar lunas.
Kami lalu sholat Maghrib di mushola kecil depan rumah cak biru. Lanjut bercengkrama dengan waktu dan semilir angin sampai waktu malam menyelimuti. Kopi diseduh, makanan dan minuman dilahap hinga habis. Kitab Aufaq karya imam al ghozali pun tak luput diperbincangankan. Hingga suara jangkrik lebih mendominasi, kami sibuk dengan layar hp masing masing.
"Siapa ini ya?, Gedung apa ini foto profilnya?, Ahmad Dahlan? (Nama dalam profilnya) Siapa dia? ". Tiga pertanyaan beruntun langsung ia lontarkan. Aku melihat dengan seksama lalu perlahan coba untuk menjawab. "Gedung ini seperti gedung pendidikan dipondokku dulu, tapi sedikit berbeda. hmm,, Ndak tau cak, aku ragu". Jawabanku, hanya untuk memuaskan pertanyaannya, dan esensinya bukan berisi pernyataan yang mengandung jawaban.
'Assalamualaikum'. chat pertama yang ditulis lalu dikirim oleh orang yg mengirimnya dari tempat entah dimana ia berada. Ingin berusaha dengan melajak ip address internetnya pun percuma menurutku, ia mungkin bukan orang yang cari masalah. Setelahnya dijawab oleh cak biru dengan pesan suara 'Waalaikum salam'. "Semoga saja ini Najwa" kalimat utopis dan euforia yang respeck diucapkan oleh cak biru, aku lantas serentak mengamininya.
Selang beberapa menit, nomor tak dikenal itu mengirimkan emote yang menggambarkan ke-terharuannya. "Buuh, Apa maksud orang ini?" Gumam cak setelah membacanya. 'Siapa?'. balasan dari cak biru. Lama sekali ia tak menjawabnya, hingga kami kembali asik ngobrol dan mencoba untuk membaca buku buku yang kami siapkan. Setelah cukup lama, aku mengucap "Aku bosen cak, kalau cuma baca satu buku" sambil kukeluarkan beberapa buku dari dalam tasku.
Salah satunya berjudul *Daulah Islamiyyah Dalam Al-Qur'an dan Sunnah, karya dari M. Najih Ar Ramadhani. "Itu salah satu seniorku di Surabaya" saut cak biru setelah tak sengaja melihat buku itu. "Iya ta cak?", "Bentar, aku carikan fotoku dan teman teman saat berdiskusi dengannya". Kami bersama melihat kenangan itu. Mungkin sekitar 3-5 tahun dari sekarang.