Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Wacana Hukuman Mati Bagi Akil Mochtar

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Drama penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi HM Akil Mochtar terus berlanjut. Setelah Kamis (3/10) beliau bersama 5 orang tertangkap lainnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan sengketa pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, di Mahkamah Konstitusi, isu ini pun melebar kemana-mana. Mulai dari keterlibatan “orang kuat” lainnya, yaitu adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, berinisial TCW(Tubagus Wardana). Adik gubernur ini rupanya diduga terlibat perkara suap terhadap hakim MK Akil Mochtar dalam hal penanganan sengketa pemilukada Kabupaten Lebak, Banten.

Isu lainnya adalah terutama fakta-fakta yang terungkap mengenai diri Akil pasca penangkapan itu. Mulai dari upaya menyegarkan kembali ingatan publik tentang ucapan Akil beberapa waktu lalu ketika dia berkomentar mengenai korupsi. Akil ketika itu beranggapan bahwa hukuman mati itu tidak cukup untuk membuat koruptor jera. Akil menyarankan, cukup koruptor dihukum dipotong satu jarinya saja dan kemudian dilakukan “pemiskinan” terhadap diri si koruptor dan keluarganya. Dengan model hukuman seperti itu Akil merasa yakin bahwa koruptor akan jera dan para “calon koruptor” akan berpikir ulang untuk melakukan tindakan tercela itu. Pada akhirnya tingkat korupsi di negara ini akan berkurang. Komentar Akil ini dalam konteks saat ini menjadi ironi, karena justru Akil sekarang terlibat kasus korupsi. Pertanyaannya, maukah Akil menerapkan wacana yang ia apungkan tadi untuk diterapkan ke dirinya sendiri? Atau ia menjilat ludahnya sendiri dengan tidak mau melakukan apa yang telah diucapkannya? Ironi komentar Akil ini mau tak mau mengingatkan saya pada hal serupa yang terjadi pada mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Anas sebelum menjadi tersangka dengan lantang mengatakan siap digantung di Monas jika terbukti terlibat korupsi satu rupiah saja dalam proyek pembangunan Sports Center Hambalang. Sekarang Anas sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Hambalang ini oleh KPK karena diduga menerima gratifikasi mobil Harrier. Sampai sekarang tak jelas apakah Anas masih ingat pernyataan siap digantung di Monas itu dan apakah dia mau melaksanakan “sumpah”nya itu (walaupun memang kasus Anas masih di tahap penyidikan dan belum ada putusan apapun dari pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Anas terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi). Saya hanya teringat satu pepatah, “mulutmu harimaumu”. Saya juga teringat akan khutbah Jumat tadi siang, yaitu khatib berpesan agar kita jangan mengatakan/memerintahkan kepada orang lain apa-apa yang kita sendiri tidak lakukan. Dalil Qur’an-nya ada di Surat Ash-Shaff (61) ayat 2 dan ayat 3. Tuhan sangat membenci orang-orang yang mengatakan apa yang tidak dia kerjakan. Intinya,berhati-hatilah sebelum ngomong. Pikirkan konsekuensi yang mungkin ditimbulkan dari ucapan kita di masa mendatang. Apalagi bagi seorang pejabat publik, setiap ucapan mereka akan diingat oleh publik, dan manakala di masa mendatang si pejabat tersebut melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ucapan mereka, maka publik akan marah dan menuntut konsistensi antara kata yang pernah diucapkan dengan perbuatan si pejabat.

Isu lainnya adalah tingkah tak terpuji Akil Mochtar kala akan digiring KPK ke rumah tahanan KPK untuk ditahan. Ketika dihadang oleh puluhan wartawan yang ingin mendengar sepatah dua patah kata dari Akil, Akil pun bersedia. Akil menjelaskan (yang terkesan seperti ngeles) bahwa dia tak kenal dengan para oknum pengantar duit suap yang ia sebut sebagai “tamu”. Dia juga mengaku tak kenal dengan para penyuap itu. Namun bukan pernyataan ngeles Akil itu yang menarik, tapi tingkah lakunya setelah itu. Salah satu wartawan ada menanyai mengenai soal komentar Akil tentang potong jari koruptor seperti dijelaskan di atas, dan tanggapan Akil mengenai dugaan keberadaan ganja dan ekstasi di ruang kerjanya di MK . Akil entah emosi entah bagaimana kemudian setelah mendengar pertanyaan itu spontan menampar muka salah satu wartawan. Wartawan yang tak terima ditampar kemudian emosi dan mencoba mengejar Akil, namun Akil keburu diamankan pengawal tahanan KPK. Isu penamparan ini kemudian menjadi bumbu lain dalam kasus ini yang makin menjatuhkan nama Akil. Bahkan pihak MK dan KPK beberapa saat yang lalu membenarkan bahwa telah ditemukan sejumlah ganja, ekstasi, dan obat kuat di ruang kerja ketua MK (Akil Mochtar). Ini tentu sangat memalukan, jika terbukti benar seorang hakim dan ketua lembaga negara justru madat.

Bahwa seorang hakim konstitusi diduga menerima suap saja sudah sangat memalukan dan mencoreng citra penegakan hukum di negara ini. apalagi sekarang ditingkahi dengan dugaan bahwa Akil melakukan penganiayaan terhadap wartawan serta diduga terlibat dalam kepemilikan narkotika. Semua ini membuat wajah MK semakin coreng moreng, wibawa MK jatuh, dan publik pun sekarang kecewa berat. Termasuk yang kecewa itu di antaranya adalah para mantan hakim konstitusi, seperti Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Arsyad Sanusi. Yang paling kecewa dan paling keras reaksinya saya rasa adalah Jimly.

Jimly, guru besar hukum tata negara dari Universitas Indonesia itu adalah ketua MK yang pertama, periode 2003-2008. Dia bersama para hakim konstitusi periode awal bisa dibilang termasuk “pendiri” dan peletak dasar dari bangunan hukum bernama Mahkamah Konstitusi (kendati tentu saja yang mendirikan MK adalah negara Republik Indonesia melalui instrumen hukum Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang). Jimly tentu kecewa berat melihat lembaga penegak hukum yang dia rintis dan dia pernah mengabdi di dalamnya, saat ini justru sedang mengalami cobaan berat berkaitan dengan skandal yang dialami salah satu hakim konstitusinya. Begitu kecewa dan emosinya Jimly terhadap tingkah laku Akil ini, membuat Jimly melontarkan wacana agar Akil dihukum dengan hukuman mati saja. Jimly beranggapan bahwa Akil ini seorang penegak hukum, posisi dia sangat tinggi sebagai ketua lembaga negara, hukuman penjara saja tak akan cukup untuk membuatnya jera, harus diberi hukuman mati agar pembalasannya setimpal. Jimly mengatakan jika Akil dihukum penjara, itu hanya “menuh-menuhin” penjara saja dan tak akan memberi efek jera bagi Akil. Pernyataan Jimly yang cukup keras ini kemudian mendapat sambutan luas oleh media dan berbagai pihak seperti politisi, akademisi, maupun rakyat biasa pun menyetujui wacana ini.

Entah karena Jimly terlalu emosi atau bagaimana, sehingga ada yang agak janggal oleh Jimly dalam wacana yang dia lontarkan itu. Saya coba melihatnya dengan logika bodoh saya. Akil oleh KPK disangkakan pasal 12 huruf c UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 6 ayat 2 UU yang sama,  serta pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Pasal 12 berbunyi “dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah...” untuk huruf c pasal itu bunyinya “hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.” Jadi bisa kita lihat disini, ancaman maksimal yang dapat dikenakan untuk Akil adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Hukuman mati jelas tidak dapat diancamkan untuk perbuatan Akil jika tetap pasal ini yang didakwakan oleh KPK di tingkat pengadilan nanti.

Jimly sendiri mengakui bahwa hukuman mati memang tidak dikenal dalam hukum pidana korupsi kita. Namun jika kita melihat di pasal 2 ayat (2) UU 31/1999 jo UU 20/2001 memang dimungkinkan dijatuhkan pidana mati bagi pelaku korupsi. Hanya saja kemungkinan itu adalah bagi koruptor yang terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain dan menyebabkan kerugian negara, dan perbuatannya itu dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Batang tubuh UU Pemberantasan Tipikor tidak merinci apa saja yang termasuk “keadaan tertentu” itu, namun perinciannya ada di bagian penjelasan UU tersebut. Penjelasan itu menyebutkan bahwa “keadaan tertentu” sebagai pemberatan dalam tipikor adalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan di saat negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana alam nasional, pada saat tipikor itu adalah pengulangan dari tipikor yang si terdakwa pernah lakukan sebelumnya, dan pada saat negara mengalami krisis ekonomi dan moneter. Pertanyaannya, apakah perbuatan korupsi yang diduga dilakukan Akil ini sudah memenuhi kualifikasi “keadaan tertentu” sehingga dimungkinkan baginya untuk diancam hukuman mati? Negara saat ini relatif dalam keadaan aman (walaupun sedang banyak terjadi penembakan terhadap aparat), sehingga persyaratan “negara dalam keadaan bahaya” (yang saya tafsirkan sebagai negara dalam keadaan perang) itu rasanya tidak terpenuhi saat ini. Lalu saat ini juga sedang tidak ada bencana alam nasional. Lalu Akil juga tidak sedang mengulangi perbuatan korupsi mengingat dia sebelumnya belum pernah dipidana karena terlibat korupsi. Lalu negara juga saat ini tidak mengalami krisis ekonomi dan moneter, kendati beberapa waktu lalu nilai tukar rupiah terhadap dollar sempat anjlok namun tak sampai menimbulkan keadaan krisis moneter seperti yang terjadi tahun 1998 lalu.

Terhadap ketentuan hukuman mati di atas, kita bisa melihatnya dari dua sisi. Jika kita menganggap bahwa kualifikasi “keadaan tertentu” itu mutlak terbatas pada apa yang disebut pada penjelasan pasal itu tadi, maka jelas Akil tidak bisa dipidana mati. Namun jika kita menganggap terbuka kemungkinan memasukkan apa yang sedang terjadi pada diri Akil saat ini sebagai kualifikasi “keadaan tertentu” (lantaran penjelasan Undang-undang pada dasarnya bukanlah norma yang bisa dijadikan dasar hukum/dasar melakukan tindakan hukum) maka bisa saja ada kemungkinan menjerat Akil dengan hukuman mati.Namun yang perlu diingat adalah ketentuan hukuman mati sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor adalah terhadap pemberatan terhadap pelanggaran pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor. Sedangkan terhadap pasal yang sekarang disangkakan ke Akil yaitu pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tipikor , bukan pasal 2 ayat (1). KPK bisa menjerat Akil dengan hukuman mati jika pasal penyuapan tadi disandingkan dengan pasal 2 ayat (1), namun rasanya itu sangat tidak sinkron mengingat pasal 2 ayat (1) umumnya adalah diterapkan pada kasus korupsi anggaran dan korupsi proyek, bukan kasus suap. Jadi saya rasa tidak tepat mengancamkan hukuman mati kepada Akil.

Emosi dan kekecewaan terhadap perbuatan Akil tentu sangat beralasan, namun tidak serta merta membuat kita melangkahi ketentuan hukum. Asas legalitas adalah prinsip mutlak dalam penegakan hukum pidana. KPK dalam membuat surat dakwaan dan juga tuntutan nantinya, maupun hakim dalam membuat putusan nantinya, mutlak harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk mengenai ancaman maksimal hukuman pidananya. Dalam hal ini jika memang KPK mengenakan pasal penyuapan hakim tadi untuk Akil, maka jelas ancaman hukuman maksimalnya adalah penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun. Begitu juga bagi hakim pengadilan tipikor , jika Akil terbukti melanggar pasal penyuapan maka ancaman hukumannya harus sesuai dengan ancaman maksimal pasal itu, tidak boleh melebihi dari batasan yang digariskan. Tidak bisa karena kita emosi dan ada tuntutan yang kuat misalnya dari berbagai lapisan masyarakat untuk menghukum mati lalu hakim bisa menjatuhkan pidana mati dengan melangkahi atau melampaui batasan undang-undang. Tak elok dan sangat tidak boleh hakim memutus sesuatu berdasarkan tekanan publik ataupun kelompok tertentu. Menghukum seseorang dengan melebihi ancaman maksimum yang ada di undang-undang jelas adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia dan juga merupakan pelecehan terhadap aturan hukum.

Sebenarnya kita bisa melihat wacana hukuman mati ini dari kacamata yurisprudensi. Hakim memang tak semata-mata menjadi corong undang-undang. Dalam ilmu hukum kita kenal teori yang menyebut bahwa hakim dapat menemukan hukum (rechtsvinding) dan membuat suatu terobosan baru dalam putusannya (yang menyimpang dari keadaan yang selama ini ada). Namun permasalahannya, keleluasaan hakim untuk membuat terobosan hukum ini adalah dalam hal suatu perkara tidak ada ketentuannya, artinya tidak diatur dalam undang-undang tertulis (Terjadi kekosongan hukum), ataupun aturan hukumnya tidak jelas dan multitafsir. Hakimdalam hal ini bisa membuat suatu putusan yang nantinya dijadikan pedoman bagi hakim-hakim lainnya jika menghadapi perkara yang serupa (inilah yang disebut yurisprudensi). Yang terjadi pada Akil sekarang, ketentuan hukumnya jelas sudah ada dan tidak ada kekosongan hukum disini. Hakim wajib memutus berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Lagipula, Indonesia adalah negara yang condong berkiblat padahukum Eropa Kontinental. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental teks tertulis sangat penting sehingga apapun perkaranya hakim musti mengacu pada undang-undang. Berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon alias Common Law yang memang mendasarkan putusan hakim tidak pada undang-undang, melainkan pada putusan hakim ataupun yurisprudensi. Sistem yurisprudensi memang agak jarang diterapkan di Indonesia yang menganut Eropa Kontinental itu.

Kegeraman kita akan apa yang terjadi sekarang ini mungkin bisa dijadikan masukan untuk merevisi lagi UU Tipikor tadi. Sebaiknya pasal-pasal yang berkaitan dengan ketentuan pidana bagi penegak hukum (Termasuk hakim) yang melakukan tindak pidana korupsi musti direvisi, dan diperberat hukumannya, termasuk dimungkinkan ancaman hukuman maksimal hukuman mati. Sebab mereka adalah harapan kita dalam menegakkan hukum,kita percayakan tugas mulia itu pada mereka, tentu sangat tak bisa ditolerir jika justru penegak hukum itu sendiri yang melanggar undang-undang. Pencantuman hukuman mati ini akan membuat penegak hukum untuk lebih berhati-hati lagi dalam bertugas dan tidak tergoda untuk berbuat macam-macam, sebab ancaman hukuman yang paling berat berupa hukuman mati sudah menanti. Sehingga di masa mendatang dunia hukum Indonesia tak perlu lagi mendapat malu gara-gara ada penegak hukum yang terlibat skandal korupsi.

Akhir kata, saya teringat perkataan pakar hukum Asep Irawan. Dia bilang, komentar Akil bahwa koruptor perlu dihukum potong jari adalah komentar yang sangat tidak berlandaskan hukum, sebab jelas hukum potong jari tidak dikenal dalam jenis-jenis hukuman pidana di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Akil jelas tidak mengerti asas legalitas dalam hal ini, dan karenanya Asep dengan terang-terangan mempertanyakan kapasitas Akil sebagai seorang sarjana hukum. Kita harap pihak-pihak yang menyarankan agar Akil dihukum mati adalah pihak-pihak yang telah memikirkan dengan matang sarannya itu berdasarkan ketentuan dan teori hukum yang ada, bukan sekedar berdasarkan emosi semata yang membutakan logika hukum, dan bukan sekedar “asbun” seperti yang diduga terjadi pada diri seorang Akil Mochtar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline