Lihat ke Halaman Asli

Analisis Awam : Bisakah Dhani Dituntut Pidana dalam Peristiwa Kecelakaan Si Dul?

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu (8/9) dinihari, di Jalan Tol Jagorawi telah terjadi kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggalnya 6 orang dan belasan lainnya mengalami luka berat, serta kendaraan rusak parah. Kecelakaan lalu lintas ini terjadi ketika mobil Mitsubishi Lancer dari arah Bogor ke Jakarta kehilangan kendali, menabrak pembatas tol hingga mobil menyeberang ke jalur yang berlawanan, kemudian menyenggol bagian belakang sebuah mobil Toyota Avanza, dan akhirnya Lancer tadi menabrak Suzuki Gran Max yang melaju dari arah Jakarta menuju Bogor. Keenam korban meninggal dunia semuanya berasal dari mobil Gran Max itu. Peristiwa naas ini kemudian menarik perhatian publik, tidak hanya karena banyaknya korban yang ditimbulkan namun juga karena pengemudi Lancer yang diduga adalah penyebab utama kecelakaan itu, merupakan putra bungsu pesohor musik Indonesia, Ahmad Dhani, yaitu Abdul Qadir Jaelani atau sering disebut Dul.

Si Dul sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Secara kasat mata tentu kita bisa melihat apa saja pelanggaran yang kemungkinan besar telah dilakukan oleh Dul. Pertama, kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain (pasal 310 ayat 4 UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Kedua, masih dalam pasal yang sama, adalah kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan barang/kendaraan (pasal 310 ayat 1 UU No.22/2009). Ayat 2 dan 3 pasal yang sama juga menyebutkan perbuatan pidana yang kemungkinan telah dilakukan Dul, yaitu kelalaian dalam berlalu lintas yang menimbulkan kecelakaan dengan korban luka ringan dan kerusakan barang/kendaraan (ayat 2) dan kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan kecelakaan dengan korban luka berat (ayat 3). Ketiga, dan ini mungkin yang cukup menarik perhatian publik, adalah pasal yang berkaitan dengan perizinan mengemudi kendaraan bermotor. Yaitu pasal 281 UU No. 22/2009 mengenai mengemudikan kendaraan bermotor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi, dan pasal 288 ayat (2) UU No. 22/2009 mengenai orang yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan tanpa dapat menunjukkan SIM yang sah.

Si Dul jelas mengendarai kendaraannya tanpa dilengkapi surat izin mengemudi. Umur si Dul yang masih di kisaran 13 tahun tentu belum mencukupi untuk mengajukan permohonan membuat SIM, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa si Dul memang tidak punya SIM saat berkendara malam itu. Untuk jenis tindak pidana ini, merupakan jenis tindak pidana pelanggaran dimana ancaman hukuman maksimumnya adalah 4 bulan kurungan atau denda Rp 1 juta untuk pelanggaran pasal 281 UU No. 22/2009, dan maksimum 1 bulan kurungan dan/atau denda Rp 250 ribu untuk pelanggaran pasal 288 ayat (2) UU No. 22/2009. Dua delik ini tergolong delik pelanggaran, yang ancaman hukumannya adalah berupa kurungan dan atau denda, maka digolongkan ke dalam tindak pidana ringan. Karena merupakan tipiring tentu jika pasal ini yang disangkakan ke Dul, tidak terlalu menjadi soal sebab kejadian mengendarai kendaraan tanpa membawa SIM adalah hal yang cukup lumrah terjadi di Indonesia dan penyelesaiannya pun umumnya cukup singkat, yaitu melalui pengadilan dengan acara singkat. Hukumannya pun umumnya hanyalah membayar denda, dan sebagian besar pelanggar pasal ini di Indonesia sudah menjadi rahasia umum tidak mau repot-repot untuk bersidang di pengadilan, melainkan cukup melakukan ‘perdamaian’ ilegal dengan aparat kepolisian, dengan pemberian uang tentunya.

Yang menjadi soal tentu saja ketika si Dul juga dikenakan pasal kelalaian yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban jiwa dan atau luka, serta rusaknya kendaraan sebagaimana disebutkan di atas. Untuk dua hal ini sudah tergolong tindak pidana kejahatan, dan ancaman hukumannya pun menurut UU LLAJ lumayan berat, yaitu pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda Rp 12 juta bagi pengemudi yang menyebabkan kecelakaan dengan korban jiwa, pidana penjara maksimum 6 bulan dan/atau denda Rp 1 juta bagi pengemudi yang menyebabkan kecelakaan dengan rusaknya kendaraan, pidana penjara maksimum 1 tahun dan/atau denda Rp 2 juta rupiah bagi pengemudi yang menyebabkan kecelakaan dengan korban luka ringan dan rusaknya kendaraan, dan pidana penjara maksimum 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 10 juta rupiah bagi pengemudi yang menyebabkan kecelakaan dengan korban luka berat. Semua ancaman hukuman di atas tentu normal jika diterapkan pada orang yang sudah cukup umur, namun tentu menjadi menarik jika dikenakan pada pelaku yang masih tergolong masih di bawah umur seperti si Dul ini.

Di Indonesia, undang-undang yang mengatur tentang anak terutama adalah undang-undang nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Di UU itu disebutkan bahwa yang tergolong ‘anak’ adalah seseorang yang umurnya di bawah 18 tahun, termasuk yang masih di dalam kandungan. Adapun mengenai peradilan terhadap anak, sebenarnya sudah ada ketentuan baru dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. UU ini secara eksplisit dalam pasal 106 menyebutkan, berlakunya UU ini menyebabkan dicabutnya UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU tentang pengadilan anak yang berlaku saat ini). Hanya saja dalam ketentuan penutup UU No. 11/2012 ini menyebutkan mulai berlakunya UU ini adalah dua tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya UU ini. tanggal diundangkannya UU no. 11/2012 adalah tanggal 30 Juli 2012, maka mulai berlakunya adalah pada 30 Juli 2014. Sedangkan peristiwa Dul ini masih terjadi di September 2013, karena itu UU yang berlaku masihlah UU yang lama (UU No. 3/1997).

Pasal 4 ayat 1 UU No. 3/1997 menyebutkan batas usia anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dibawa ke persidangan anak adalah minimal 8 tahun dan belum mencapai batas 18 tahun serta belum pernah kawin. Ketentuan ini oleh MK telah dibatalkan, dan dinyatakan bahwa batas bawah usia seorang anak untuk dapat dibawa ke persidangan anak (sekaligus menjadi batasan anak dapat dipidana) adalah pada umur 12 tahun, sehingga anak yang usianya di bawah 12 tahun bila melakukan tindak pidana tidak boleh dibawa ke persidangan. Alasan pembatalan oleh MK ini adalah karena baru pada usia 12 tahun si anak dinilai sudah cukup mempunyai kematangan emosional dan psikologis untuk mempertimbangkan berbagai konsekuensi perbuatan pidana. Jika kita memakai ketentuan ini untuk kasus Dul, maka Dul menjadi bisa dibawa ke persidangan karena umurnya sudah 13 tahun , melebihi batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Tafsiran MK ini kemudian diadopsi dalam UU No. 11/2012 dengan menyebutkan bahwa anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah anak yang minimal telah berusia 12 tahun tapi belum mencapai usia 18 tahun. Sedangkan bagi anak di bawah usia 12 tahun apabila melakukan tindak pidana maka dikembalikan kepada orang tuanya ataupun dibina oleh pemerintah, tidak boleh dilanjutkan proses hukumnya.

Anak yang bermasalah dalam UU No. 3/1997 disebut dengan anak nakal. Anak nakal terbagi dua, yaitu anak yang melakukan tindak pidana, dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Mengenai ancaman pidana, UU No. 3/1997 memberikan peluang untuk mempidana anak nakal dengan pidana yang sama seperti orang dewasa. Pasal 22 dan 23 menyebutkan, terhadap anak nakal (anak yang melakukan tindak pidana) bisa dikenai pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang bisa dikenakan adalah pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan atau pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Selain dapat dikenakan pidana, terhadap anak nakal juga dapat dikenakan ‘tindakan’. Tindakan ini bentuknya adalah pengembalian anak kepada orang tua/wali, anak diserahkan ke negara untuk dididik/dibina, atau anak diserahkan ke Departemen (Kementerian)Sosial ataupun ormas yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan untuk dibina dan dididik. Namun untuk ‘tindakan’ hanya dapat dijatuhkan bagi anak nakal yang tergolong ke dalam kategori kedua, yaitu anak yang melakukan perbuatan yang terlarang menurut UU.

Sepintas, antara penggolongan anak nakal dalam UU ini memang bermiripan, yaitu sama-sama anak yang melakukan pelanggaran. Hanya saja penggolongan anak nakal kategori kedua bisa dibilang semacam perluasan, sebab disitu disebutkan tidak hanya melanggar ketentuan perundang-undangan saja, namun juga ‘ melanggar peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat’. artinya jika si anak melakukan suatu perbuatan yang tidak ada aturannya dalam perundang-undangan namun di masyarakat menurut hukum/kearifan lokal setempat bisa dianggap sebagai pelanggaran, maka hal tersebut bisa digolongkan juga ke dalam anak nakal dan hukuman yang dapat dijatuhkan kepadanya adalah ‘tindakan’. Bagaimana dengan Dul? Karena Dul sudah memenuhi syarat anak nakal yang dapat dipidana adalah ‘anak yang melakukan tindak pidana’, maka Dul jelas dihadapkan dengan ancaman pidana, bukan tindakan. Dul dianggap ‘melakukan tindak pidana’ lantaran perbuatan yang ia lakukan adalah pelanggaran ketentuan pidana dalam undang-undang, karena itu ia boleh disebut telah melakukan tindak pidana. Walaupun demikian, dari sudut berbeda kita masih bisa melihat celah kemungkinan terhadap si Dul dapat dikenakan hanya ‘tindakan’ saja, karena menurut UU anak yang melakukan perbuatan yang terlarang dalam UU pun bisa dikenakan tindakan saja. Tinggal bagaimana aparat hukum disini menafsirkan ‘perbuatan yang terlarang dalam UU’ itu apakah termasuk juga perbuatan yang telah dilakukan si Dul.

Sekiranya si Dul benar-benar dibawa sampai ke persidangan dan kemudian dipidana, bagaimana konsekuensinya? Kalau kita lihat dari beberapa sangkaan yang mungkin bisa dikenakan kepada Dul, pasal kelalaian mengemudi yang menyebabkan hilangnya nyawa orangadalah yang ancaman hukumannya paling berat, yaitu pidana penjara maksimum 6 tahun dan ataau denda paling banyak Rp 12 juta. Jika pasal ini yang dipakai, maka berdasarkan UU No. 3/1997 si Dul maksimum hanya dikenai ancaman setengah dari ancaman maksimum pasal yang bersangkutan. Karena ancaman maksimumnya penjara 6 tahun, maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada Dul adalah 3 tahun saja. begitupun terhadap pidana kurungan ataupun denda, jika dikenakan terhadap anak maka ancaman maksimumnya adalah setengah dari ancaman maksimum pasal yang bersangkutan. Ketentuan ini juga relatif tidak banyak mengalami perubahan dalam UUNo. 11/2012. Begitupun dalam UU No. 11/2012 ini sesungguhnya ada suatu metode baru yang tidak terdapat di UU 3/1997, yaitu tentang proses Diversi. Diversi sendiri adalah proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana menjadi proses di luar peradilan pidana. Kalau saat ini UU No. 11/2012 itu sudah berlaku barangkali itu akan menguntungkan Dul karena berbagai faktor, namun sayangnya UU itu masih belum bisa berlaku dan proses terhadap Dul mau tak mau harus mengikuti alur proses pidana anak sebagaimana diatur dalam UU NO.3/1997.

Berkaitan dengan kasus Dul ini, ada juga suara-suara yang meminta orang tua Dul yaitu Ahmad Dhani untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana juga. Berbagai argumen dikemukakan oleh pihak-pihak ini untuk menuntut agar Dhani ikut bertanggungjawab. Paling banyak adalah karena Dhani dinilai tidak mengawasi anaknya sehingga anaknya yang masih di bawah umur bisa seenaknya saja mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya tanpa memiliki izin-izin mengemudi yang sah. Sejujurnya saya juga masih tidak terlalu paham apa dasar hukum dan teori hukum apa yang bisa dipakai untuk ikut menyeret Dhani ke proses pidana dan ikut dimintai pertanggungjawaban pidananya.

Seorang Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap Dhani layak dituntut pidana lantaran dianggap melanggar beberapa pasal dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak . Komisioner ini menyebut Dhani melanggar pasal 77 UU no. 23/2002, mengenai menyebabkan kerugian baik moril maupun materil terhadap anak, serta penelantaran terhadap anak sehingga mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, ataupun sosial. Tentu pernyataan komisioner ini agak membingungkan. Sebab jika dia mendakwakan Dhani menyebabkan kerugian moril maupun materiil terhadap anak, itu jelas lemah. Pasal 77 menyebutkan kerugian moril/materil yang dimaksud adalah karena adanya diskriminasi orang tua, bukan karena pembiaran. Rasanya tidak ada diskriminasi yang dilakukan oleh Dhani terhadap Dul yang menyebabkan Dul mengalami kerugian moril/materil dalam kasus ini. Lalu jika disebutkan bahwa Dhani melakukan penelantaran terhadap anak sehingga si anak mengalami sakit/penderitaan sebagaimana yang Dul alami sekarang (Dul dikabarkan mengalami patah kaki akibat kecelakaan ini), tentu perlu didalami juga adakah unsur ‘penelantaran’ oleh Dhani dalam perkara ini. Perlu dipertanyakan apakah perbuatan Dhani membiarkan anaknya mengemudi tanpa SIM adalah dapat digolongkan ke ‘penelantaran’. Secara awam kita membaca kemungkinanyang dimaksud sebagai penelantaran oleh pembuat UU ini adalah perbuatan-perbuatan orang tua yang membiarkan anaknya tidak mendapatkan kebutuhan yang harus diberikan pada anak, seperti makan, minum, pendidikan, pengobatan, dll. Memang ada kemungkinan perbuatan Dhani yang membiarkan Dul mengemudi itu tergolong ke dalam penelantaran, namun sepertinya bukan penelantaran yang dimaksud dalam UU ini melainkan lebih ke ‘pembiaran’, artinya orang tua kurang mengawasi anaknya secara baik. Jika ini yang dimaksud, tentu pasal penelantaran tadi tidak dapat dikenakan pada Dhani karena kurang kontrol sepertinya bukanlah termasuk penelantaran. Di penjelasan pasal 77 sendiri tidak ada disebutkan penjelasan rincinya, melainkan Cuma disebut ‘cukup jelas’. Yang jelas, jika memang Dhani mau dijerat dengan pasal ini, ancaman hukumannya lumayan berat yaitu pidana penjara maksimum 5 tahun dan/atau denda maksimum Rp 100 juta.

Jika kita tarik ke delik umum, maka jika Dhani akan dikenai pidana, tentu pidana yang disangkakan kepadanya adalah delik pasif atau omisionis. Dhani dapat disebut melakukan pembiaran, membiarkan anaknya mengemudi tanpa SIM yang jelas-jelas itu adalah suatu pelanggaran atas undang-undang. Hanya saja saya belum menemukan mana delik dalam KUHP ataupun UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang tergolong dalam delik pasif yang dapat dikaitkan dengan perkara kelalaian mengemudi ini. Sehingga yang disebut ‘Dhani melalukan delik pembiaran’ masih belum terlalu jelas bagi saya. Yang jelas, jika memang ada deliknya, maka delik ini cukup kuat untuk disangkakan ke Dhani, karena secara kasat mata Dhani membiarkan anaknya melakukan pelanggaran undang-undang.

Kalau kita mau bersusah-susah berpikir barangkali kita bisa mempelajari teori kausalitas (sebab akibat) dalam hukum pidana untuk mencari tahu, bisakah Dhani dapat diseret ke kasus ini dan dituntut secara pidana. Kalau kita memakai teori kausalitas yang conditio sine qua non, maka Dhani bisa dijerat pidana dalam kasus ini. Sebab teori yang ini mengatakan bahwa semua rangkaian perbuatan hingga tindak pidana terjadi adalah satu kesatuan utuh dan mempunyai bobot kesalahan yang sama, sehingga siapa saja yang terlibat dalam salah satu rangkaian kejadian itu wajib dimintai pertanggungjawaban pidananya. Semua faktor yang terjadi dalam rangkaian perbuatan itu dianggap sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana. Maka kita dapat menyimpulkan , dengan teori kausalitas conditio sine qua non inilah Dhani bisa dianggap turut bertanggungjawab secara pidana dalam peristiwa ini karena Dhani termasuk salah satu faktor dalam rangkaian kejadian itu (membiarkan anaknya yang masih di bawah umur mengemudi kendaraan. Kecelakaan terjadi karena Dul mengemudi, dan Dul mengemudi karena diizinkan Dhani. Maka Dhani pun menjadi salah satu faktor dalam peristiwa ini). Namun conditio sine qua non bukanlah satu-satunya teori kausalitas yang ada dan bukanlah teori yang dianut dalam hukum pidana Indonesia. Masih ada beberapa teori kausalitas lain seperti teori individualisasi dan generalisasi. Kalau kita memakai teori individualisasi maka Dhani tidak dapat diseret dalam kasus ini, karena teori ini beranggapan bahwa faktor yang paling dominan dalam peristiwa pidana, atau faktor yang memiliki peran terkuat dalam timbulnya suatu akibat tindak pidana-lah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam teori ini jelas sekali faktor terkuat serta dominan dalam kecelakaan ini adalah Dul sendiri, karena itu Dul-lah yang harus bertanggungjawab, sedangkan Dhani tidak. Sedangkan kalau teori kausalitas yang generalisasi, secara sederhana adalah teori yang menyatakan faktor yang paling bertanggungjawab dalam rangkaian kejadian adalah faktor yang secara wajar dan akal sehat serta pengalaman merupakan faktor yang dapat menimbulkan suatu akibat. Kalau kita memakai teori ini maka bisa saja Dhani ikut diseret, sebab bisa saja penegak hukum berpendapat bahwa secara akal sehat perbuatan Dhani yang membiarkan anaknya mengemudi itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Hanya saja bakal terjadi beda pendapat mengenai ukuran ‘menurut kewajaran dan akal sehat’ yang disyaratkan dalam kasus ini, sebab ukuran kewajaran menurut banyak orang tentu bisa berbeda-beda.

Jika Dhani akan dikenai delik penyertaan dan pembantuan dalam KUHP (pasal 55 dan 56), bisakah? Pasal 55 KUHP ayat 1e mengatur mengenai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan tindak pidana dihukum sebagai pelaku kejahatan. Ayat 2e mengatur mengenai pembujukan dan atau pemaksaan dalam melakukan tindak pidana. Dhani sepertinya tidak termasuk ke dalam kategori pasal 55 ini karena unsur menyuruh/membujuk/memaksa Dul agar mengendarai kendaraan di jalan raya rasanya tidak dilakukan oleh Dhani. Yang agak pas adalah pasal 56 KUHP, yang berbunyi ‘dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan : 1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu, 2. Barangsiapa dengan sengaja MEMBERI KESEMPATAN, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.’ Disini bisa kita nila bahwa unsur ‘MEMBERI KESEMPATAN UNTUK MELAKUKAN KEJAHATAN’ rasanya terpenuhi bila dikenakan ke Dhani, karena dia jelas memberi kesempatan anaknya untuk mengendarai kendaraan tanpa SIM. Persoalannya, pasal ini secara spesifik menyebut ‘kejahatan’, sedangkan perbuatan Dul yang mengendarai kendaraan tanpa SIM adalah termasuk tindak pidana ringan atau menurut KUHP dikenal dengan istilah ‘pelanggaran’. Menurut pemikiran awam saya, pasal pembantuan ini pun tak tepat untuk dikenakan ke Dhani.

Rasanya yang paling mungkin adalah meminta pertanggungjawaban Dhani secara perdata. Yang bisa dijadikan dasar di antaranya pasal 1365 KUH Perdata mengenai kewajiban seseorang yang untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan orang tersebut. Karena Dul belum berpenghasilan maka upaya ganti rugi ini dilakukan oleh orang tuanya, yaitu Dhani. Berkaitan dengan hal ini, Dhani sudah berinisiatif untuk mendatangi keluarga para korban meninggal akibat kecelakaan itu, dan menjanjikan akan memberikan santunan-santunan termasuk santunan membiayai pendidikan anak dari korban meninggal hingga jenjang strata 3. Benar tidaknya janji ini jelas urusan Dhani dengan keluarga korban, namun memang sudah seyogyanya Dhani memberikan uang duka ini disamping membayarkan ganti rugi baik secara materil maupun immateril akibat perbuatan yang dilakukan oleh anaknya. Selain itu, tentu amat baik pula apabila Ahmad Dhani selaku orangtua Dul menyampaikan permintaan maaf secara terbuka di media kepada keluarga korban dan masyarakat pada umumnya, dan berjanji akan membina dan mendidik anaknya dengan lebih ketat lagi agar peristiwa semacam ini tak terulang lagi.

Ada satu preseden yang muncul berkaitan dengan peristiwa kecelakaan lalu lintas, yaitu ketika putra Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Rasyid Rajasa, hanya diberi hukuman5 bulan penjara dengan enam bulan masa percobaan, kendati akibat kelalaian dia dalam mengendarai kendaraan menyebabkan 2 orang meninggal dunia pada Januari 2013 yang lalu. Artinya, Rasyid tak perlu mendekam di bui selama 5 bulan jika selama 6 bulan pasca vonis Rasyid tidak mengulangi melakukan tindak pidana. Hakim menjatuhkan hukuman percobaan, salah satu pertimbangannya adalah karena prinsip ‘restorative justice’ atau keadilan restoratif telah dilakukan Rasyid, yaitu dengan cara mengadakan perdamaian dengan keluarga korban serta melakukan berbagai pemberian semacam ganti rugi maupun penanggungan biaya hidup dan pendidikan keluarga korban. Dengan telah dilakukannya hal ini maka hakim berpandangan Rasyid tidak perlu dijatuhi pidana yang lebih berat lagi. Mungkin hal serupa juga sedang coba dilakukan Dhani, mencoba ‘berdamai’ dengan keluarga korban meninggal dunia dengan harapan hal itu bisa menjadi pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman bagi anaknya (kalau memang nantinya bakal dipidana). Hanya saja bedanya, Rasyid adalah putra orang berpengaruh, sehingga melakukan ‘perdamaian’ dengan keluarga korban dan membuat hakim mengeluarkan pertimbangan ‘restorative justice’ adalah hal yang masih dalam batas kemampuan Rasyid dan keluarganya. Sedangkan Dhani sendiri adalah orang biasa yang bukan pejabat negara maupun kerabat pejabat negara, hanya saja kebetulan terkenal ke seantero Indonesia karena karya-karya seninya. Akankah hakim juga akan menjatuhkan pertimbangan keadilan restoratif (jika Dhani sukses melakukan perdamaian dengan keluarga korban) sehingga nantinya Dul akan dihukum ringan, seperti yang dialami Rasyid Rajasa?

Mohon maaf jika ada kesalahan penerapan teori dan pencantuman pasal-pasal yang kurang tepat. Penulis hanyalah seorang awam yang sedang mencoba mendalami hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline