Lihat ke Halaman Asli

Kurnia Trisno Yudhonegoro

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Covid-19 dan Radikalisme

Diperbarui: 17 Agustus 2020   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Refleksi

Ekonomi luluh lantak. Jutaan orang menjadi pengangguran. Terjadi antrian masyarakat di pusat pembagian bantuan. Di banyak tempat terjadi demonstrasi meminta kejelasan tindakan pemerintah. Agitator dan pendemo saling berlawan-lawanan di jalan, satu pihak mendukung pemerintah, pihak lainnya mendukung perubahan besar-besaran. Lockdown dan jam malam diberlakukan di banyak daerah dan negara.

Selamat datang di era tahun 1930an pasca depresi besar (great depression)

Kondisi saat ini

Mungkin secara sekilas pembaca yang budiman merasa banyak kemiripan antara era tersebut dengan saat ini. Oleh karena itulah penulis mencoba untuk mengangkat tulisan ini, untuk kembali mengingatkan kita betapa kita saat ini sedang berada pada tahapan titik balik sejarah (pivot of history).

Pada tahun 2014 penulis menulis sebuah tulisan di Kompasiana berjudul "lampu kuning fundamentalisme di Indonesia". Enam tahun berlalu tampaknya bukannya semakin teredam malah semakin menjalar kemana-mana. Inti masalah tetap sama, masalah ekonomi, keterpinggiran dan keterasingan.

Pandemi Covid-19 telah menjungkirbalikkan tatanan ekonomi di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Pada akhir tahun 2019 kita masih optimis ekonomi tumbuh 5,6 % pada 2020. Pada awal Indonesia terkena imbas Covid-19, Menteri Keuangan masih percaya diri terhadap pertumbuhan ekonomi, pada pertengahan April pun beliau masih yakin bahwa kuartal 1 2020 Indonesia masih akan tumbuh 4,6% dan secara tahunan masih tumbuh 3 %..

Laporan BPS ternyata tidak seindah itu, RI hanya tumbuh 2,97 % pada kuartal 1 2020, dan kuartal 2 amblas - 5,3 % y-o-y terendah dalam 20 tahun terakhir. Scenario yang digunakan kementerian keuangan pun sudah bergeser ke scenario berat yaitu antara tumbuh 1 % hingga minus 0,4%.

Tiga Masalah utama

Disini selanjutnya muncul masalah pertama, yaitu ekonomi. Dengan pertumbuhan yang maksimum hanya 1 %, maka total tenaga kerja yang bisa terserap hanya sekitar 170.000-250.000 orang. Padahal setiap tahunnya terdapat pertambahan Angkatan kerja sebanyak 1,7 Juta orang. Seolah untuk menambah derita para pencari kerja, saat ini menurut KADIN Indonesia, setidaknya terdapat 10 juta orang pekerja mengalami PHK, baik di sektor formal maupun informal akibat pandemi Korona.


PHK di sektor formal akan sangat memukul kalangan menengah, terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Padahal pada tahun 2019 saja, tingkat pengangguran terdidik telah mencapai 16 %, tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Sekarang coba sejenak membayangkan perasaan para lulusan Perguruan Tinggi, mereka sudah habis-habisan belajar, menggunakan uang tabungan orang tua dan pribadi, kemudian lulus, berharap untuk bisa bekerja dan menjadi mapan, namun ternyata tidak bisa menjadi apa-apa. Tentunya yang dipersalahkan pertama adalah Pemerintah dan ideologi yang dianut, karena dianggap gagal mensejahterakan kehidupan rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline