Sewaktu Presiden Joko Widodo menerima undangan dari Presiden Tiongkok, tampak jelas bahwa arah kutub kebijakan luar negeri Indonesia semakin jelas. Bahwa fakta ada lebih dari 5 orang pejabat tinggi Tiongkok, baik dari pemerintah maupun dari Partai Komunis Tiongkok, yang telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo, semakin menerangkan polarisasi kiblat luar negeri Indonesia. Pertanyaannya sekarang, apakah model pendekatan luar negeri yang dilakukan akan single-minded mengikuti salah satu kutub, atau model realpolitik seperti yang secara gemilang diaktualisasi oleh Kanselir Prussia Otto Von Bismarck.
Hubungan luar negeri merupakan sebuah hal yang sangat rumit dan rapuh. Puluhan tahun membangun hubungan baik bisa saja runtuh seketika bila ada masalah yang menohok kepentingan nasional kedua pihak. Penolakan surat kepercayaan Calon Dubes Indonesia untuk Brazil merupakan contoh yang sangat gamblang. Hubungan Indonesia dan Brazil sebenarnya sangat baik, kedua negara sering diklasifikasikan dalam suatu blok negara berkembang yang pesat. Bahkan, Brazil sebenarnya masih melakukan negosiasi dagang tentang ekspor daging sapi dan kedelai. Bahkan, dalam bidang pertahanan, Indonesia sedang dan telah memesan beberapa alutsista modern. Tetapi tetap saja, penolakan sebuah surat kredensial merupakan hal yang sangat jarang terjadi dalam dunia diplomasi dewasa ini. Untuk tidak melakukan hubungan diplomatik adalah lumrah, namun untuk menolak surat kepercayaan ketika calon Dubes sudah berada di Istana negara merupakan sebuah tindakan penghinaan pada level tertinggi.
Kembali pada permasalahan tiongkok dan Jepang, Gestur yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo merupakan suatu gestur yang luar biasa ciamiik. Ingat, ketika Presiden Joko Widodo menghadiri KTT APEC di Tiongkok beliau memaparkan keinginannya untuk menjadikan Indonesia sebagai Hub Bank Pembangunan Asia baru yang diprakarsai oleh Tiongkok. Jelaslah bahwa Tiongkok diundang untuk berinvestasi di Indonesia.
Terlepas dari itu, Tiongkok juga tampaknya memahami posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dan merupakan Primus inter Pares di ASEAN. Konflik yang semakin memanas di kepulauan spratly, paracel dan bisa dikatakan, hampir seluruh laut china selatan, menunjukkan bahwa Tiongkok sedang mencari kawan. Vietnam, walaupun sama-sama menganut paham komunis, masih sakit hati dengan perang singkat pada 1979 dan fakta bahwa garis lautnya, yaitu laut china selatan sedang digerogoti oleh Tiongkok. Filipina, kawan lama Amerika Serikat, dan secara de Facto masih memiliki ikatan persekutuan, juga merupakan pihak yang berada di garis depan dalam perebutan wilayah Laut China Selatan. Usaha Tiongkok untuk mengambil hati kawan-kawan ASEAN rupanya sudah mulai berbuah. Ketika KTT ASEAN terjadi, sempat ada penolakan dari kontingen Kambodja dan Myanmar untuk memasukkan klausul yang bersifat antagonistis (dalam sifat yang paling ringan) terhadap kebijakan Tiongkok di Laut China Selatan. Hal ini membuktikan bahwa soliditas ASEAN sudah mulai mengendur.
Posisi tawar Indonesia pada awalnya cukup lemah, mengingat bahwa kita lebih membutuhkan Tiongkok ketimbang Tiongkok membutuhkan kita. Tetapi, disinilah “gocekan Manis” dari Kementerian Luar Negeri. Adalah suatu fakta bahwa sedang terjadi perlombaan senjata dan “primus inter pares” di kawasan Asia Timur, terutama antara Tiongkok dan Jepang. Dengan memposisikan diri untuk terlebih dahulu mendatangi Jepang sebelum beralih ke Tiongkok, maka Republik Indonesia bisa menaruh “harga” dan melihat reaksi dari kedua pihak.
Begitu rencana kunjungan diumumkan, reaksi dari pihak pemerintah Jepang sangatlah positif, beberapa kemungkinan kerjasama sudah mulai dijajaki, seperti kerjasama di bidang intelijen, ajakan untuk mengikuti pelatihan militer dan beberapa tawaran investasi. Reaksi dari pihak Tiongkok ? adem ayem, tampaknya pihak Tiongkok sengaja memilih “Wait and See”.
Dukungan ekonomi dari Jepang merupakan hal yang krusial, dengan investasi dari Jepang yang semakin menurun semenjak 2010 dan nilai perdagangan yang semakin merosot per 2012, kunjungan Presiden Joko Widodo sangat berarti dalam rangka penguatan ekonomi. Timing kedatangan Presiden Joko Widodo ketika pemerintah Jepangsedang melakukan stimulus fiskal juga akan memperbesar kesempatan bagi Indonesia untuk mendapat tambahan FDI (foreign direct investment), karena tingkat suku bunga yang sangat rendah dibandingkan dengan suku bunga di Indonesia (1 % vs 12 % p.a). Disisi lain, pebisnis Jepang jelas butuh jaminan yang lebih kuat, karena pengalaman Jepang berbisnis di Indonesia selama beberapa dekade menyebabkan mereka cukup kenyang makan asam garam pengalaman. Akan butuh upaya ekstra dari delegasi Indonesia untuk meyakinkan para investor ini, terlebih beberapa masalah klasik seperti tata logistik dan perizinan masih menghantui Indonesia.
Selain itu, Indonesia juga sukses mencetak skor dalam kancah hubungan internasional, ketika negara-negara yang selama ini terhitung sebagai sekutu dekat Amerika Serikat seperti Inggris, Jerman bahkan Kanada, mulai menunjukkan keinginan mereka untuk bergabung dengan Bank Pembangunan Asia yang dimotori oleh Tiongkok. Sementara Indonesia dari awal sudah mendukung ide ini, terlebih dengan tawaran Presiden Joko Widodo untuk membangun kantor pusat
Terlepas dari itu semua, tampaknya slogan “Zero Enemy, one thousand friend” perlahan mulai ditinggalkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Mungkin memang sudah saatnya kita mulai memakai pragmatisme sebagai acuan politik luar negeri Indonesia, dimana pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto hal tersebut merupakan inti dari kebijakan luar negeri Indonesia. Dan terasa efektifitasnya selama 32 tahun Orde baru bertahan, pertanyaan lanjutannya, apakah kita bisa memainkan kartu dengan bagus untuk kepentingan nasional kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H