Lihat ke Halaman Asli

Kurnia Trisno Yudhonegoro

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Robohnya Profesionalisme TNI-AD : Babinsa Jadi Penyuluh Pertanian

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Ketika Kompas mengangkat berita tentang 55000 babinsa (Bintara Pembina Desa) akan direkrut pemerintah untuk menjadi penyuluh pertanian. Maka penulis segera menyiapkan tulisan ini, karena tindakan pemerintah ini dikhawatirkan akan berdampak buruk bukan hanya terhadap sector pertanian kita, melainkan juga merusak profesionalisme TNI-AD sampai ke jantungnya.

Penulis kebetulan adalah Sarjana Pertanian dari salah satu PTN terkemuka di Indonesia. Adalah sebuah fakta bahwa sector pertanian merupakan sector yang paling seksi ketika kampanye tetapi yang mendapat perhatian paling kecil ketika (siapapun) berkuasa. Jadi ketika pemerintahan yang sekarang berusaha untuk mencapai kedaulatan pangan, maka patut didukung. Salah satu caranya adalah dengan menerjunkan lebih banyak penyuluh pertanian untuk mengajarkan kepada petani cara bertani yang baik dan benar.

Usaha Tani bisa diklasifikasikan kedalam tiga kegiatan utama, Pra-tanam, tanam dan pasca-panen. Pra tanam termasuk persiapan lahan (penelitian lahan, pencangkulan, penggaruan, pemupukan awal, dan pengapuran bila perlu), pemilihan benih (benih: biji), dan pembuatan persemaian (benih ditumbuhkan hingga siap dipindahkan ke lahan). Termasuk di dalam komponen tanam adalah transplanting (pindah tanam), pemupukan, perawatan (insektisida, fungisida, rodentisida, bakterisida, ZPT, penyiangan, Pencangkulan ulang), dan irigasi serta akhirnya, panen. Setelah panen maka petani juga harus paham penyimpanan, pengeringan, pengolahan, pengepakan dan penjualan.

Pada saat penulis masih menjadi mahasiswa pertanian, penulis beberapa kali terjun ke lapangan dan sejujurnya, petani sangat memandang rendah apa yang mereka sebut sebagai “Manusia Teori”, mereka-mereka yang dianggap masih “bau kencur” alias belum pernah praktek. Memang kita harus memahami, bahwa para petani rata-rata sudah berkecimpung selama beberapa dekade. bahwa umur dan pengalaman tidak menjamin seseorang itu benar juga iya, namun itu juga menyebabkan mereka menjadi sangat konservatif dan anti perubahan.

Sehingga untuk memberikan mereka wawasan baru dan pemahaman, membutuhkan sosok penyuluh yang paham mengenai semua aspek usaha tani diatas. Dan paham disini bukan sekadar paham, melainkan juga pernah menanam. Karena petani sangat awas akan hal-hal kecil seperti bagaimana cara transplanting (umur semaian, waktu semaian, cara semaian, jumlah semaian), irigasi yang baik (teknik penyiraman, waktu penyiraman), pembuatan guludan (searah kontur atau melawan kontur), pembuatan saluran air, perbedaan serangan cendawan dan gejala defisiensi pupuk. Sehingga, usaha penyuluhan yang baik biasanya berlangsung sangat intensif selama hampir 2x masa tanam, atau kira-kira delapan bulan, sehingga bisa benar-benar mengikuti dari awal hingga akhir.

Disinilah masalah muncul, seorang bintara (sersan dua, sersan satu, sersan kepala) yang dilatih untuk memimpin suatu regu atau peleton (dalam kondisi darurat) bisakah memahami semua yang disebutkan diatas? Sejujurnya, penulis yang menempuh lima tahun pendidikan Sarjana Pertanian saja masih belum berani memberi penyuluhan tanpa ditemani buku panduan. Apalagi seorang bintara yang hanya mengikuti orientasi singkat selama 50 jam kelas. Yang ditakutkan adalah Bintaranya sendiri tidak yakin ketika memberi penyuluhan sehingga hanya menjadi buang-buang waktu belaka baik bagi sang sersan maupun para petani. Terlebih apabila sang bintara sendiri tidak sanggup untuk terus menerus mendampingi para petani.

Itu baru dari segi kesiapan para penyuluhnya, dari segi social budaya, beberapa petani senior yang saya temui sewaktu masih mahasiswa masih mengingat bagaimana orde baru dengan pemaksaan penggunaan intensifikasi pertanian, melakukan tindakan koersif yang berlebihan. Penerjunan babinsa dikhawatirkan bisa menyebabkan trauma lama itu muncul kembali. Di level kalangan urban tentu hal ini tidak terasa, tapi coba bayangkan getaran di level pedesaan.

Dari segi profesionalisme TNI, penerjunan Babinsa sebagai penyuluh pertanian jelas merupakan strategi pelemahan TNI-AD yang luar biasa efektif. Menurut data dari IISS Military Balance 2012, jumlah personil aktif dari KODAM adalah 150.000 orang. Dengan logika bahwa ada 3 sersan per regu, maka perbandingan antara total pasukan dengan sersan adalah sekitar 1:3 atau 1:4. Nah, bila kita masukkan permintaan dari pemerintah, yaitu 55.000 babinsa, ini berarti setiap sersan di kesatuan KODAM akan berubah menjadi penyuluh pertanian. Yang patut diingat, keberadaan sersan (atau NCO dalam US Army) adalah sentral bagi pelatihan prajurit. Ketidakefektifan tentara Soviet (dan Rusia pada awal pecah) berawal dari ketiadaan Sersan yang professional dan full-time, sehingga sebagian tugas seperti pelatihan dan pembinaan menumpuk ke pundak perwira pertama (letnan dua dan satu). Di Uni Soviet, defisiensi ini begitu kentara sampai-sampai dibentuk suatu kepangkatan baru yaitu praporschnik untuk memastikan bahwa pelatihan dan pembinaan suatu regu bisa berjalan dengan maksimal tanpa membebani perwira yang sudah pusing dengan taktik dan supervisi medan pertempuran. Sehingga tidak dapat dibayangkan apabila para sersan, yang disebut sebagai “tulang punggung tentara” oleh Kepala staf gabungan Inggris Jenderal Mike Jackson, disibukkan oleh hal lain selain profesi mereka sebagai prajurit.

Sehingga jelaslah apabila pemerintah memaksakan untuk menerjunkan praktis semua bintara di KODAM untuk menjadi penyuluh pertanian, hasilnya adalah terjadinya kemandekan pelatihan di tingkat regu. Berikutnya adalah anjloknya profesionalisme TNI, karena pasti akan muncul pertanyaan, kami dilatih untuk berperang atau bertani? Kemudian, berhubung yang digerakkan adalah dari KODAM, akan terjadi perbedaan kesiapan tempur dengan unit KOSTRAD dan KOPASSUS yang semakin tajam.

Semangat untuk mencapai kedaulatan pangan melalui penambahan penyuluh memang patut diapresiasi. namun, setelah ditilik dari segi manapun, terlihat bahwa walaupun teknik ini bisa menghemat pengeluaran Negara, namun negatifnya lebih kentara. Alangkah baiknya jika penyuluhan dilakukan oleh penyuluh yang terlatih atau setidaknya, anggaran dan kegiatan seperti sekolah lapang pertanian kembali digiatkan ketimbang dianggarkan untuk melatih silang para sersan yang notabene berprofesi sebagai prajurit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline