Lihat ke Halaman Asli

'Panci Bertekanan' Bernama Institusi Pendidikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tidak lama lagi para orang tua dan calon murid akan disibukkan dengan hadirnya tahun ajaran baru. Seolah rutinitas yang terjadi setiap tahun, maka kita akan melihat betapa sibuknya sejumlah institusi pendidikan--mulai dari sekolah dasar, menengah dan atas hingga perguruan tinggi--mempersiapkan hal ini. Mereka--institusi pendidikan--berusaha menampilkan reputasi terbaik di hadapan khalayak dengan harapan menjadi pilihan nomor satu bagi para calon murid dan orang tua. Imbasnya, apa fenomena yang terjadi kemudian? Fenomena yang terjadi adalah sebuah kompetisi atau persaingan. Persaingan yang tidak hanya untuk para calon murid, tetapi juga untuk institusi pendidikan itu sendiri. Kalaulah kita dapat melihat atmosfer yang terjadi di sana, suasana seakan memanas, keduanya masing-masing tidak mau kalah berjuang agar menjadi yang terbaik.

Sekadar mengingatkan, masih ada hal yang lebih penting untuk diperhatikan setelah euforia persaingan telah usai. Khususnya, ini ditujukan bagi institusi pendidikan agar menyelenggarakan pendidikan sebaik-baiknya kepada para peserta didik. Hakikat pendidikan seperti yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan diperjelas pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 3, yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, pendidikan merupakan upaya dalam membuat insan manusia terdidik--yang membuat mereka dapat menjadi pribadi yang lebih baik karena pendidikan adalah perubahan. Lalu, bagaimana cara untuk menjadikan manusia yang terdidik? Itulah salah satu peran serta amanah yang diemban oleh institusi pendidikan untuk menghasilkan insan manusia terdidik.

Sejatinya, pernyataan tersebut dapat diinterpretasi sebagai pedoman yang harus dijunjung tinggi oleh institusi pendidikan sehingga mereka dapat berupaya menjadi institusi yang efektif. Dalam daripada itu, efektif yang dimaksud adalah pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada orang-orang yang terlibat di dalamnya (stakeholder). Institusi pendidikan bukan tempat untuk bagaimana mengajari para peserta didik mendapatkan nilai bagus, akan tetapi, bagaimana mereka belajar untuk memahami apa yang mereka pelajari. Terdapat beberapa hal penting yang patut diperhatikan, di antaranya perihal keyakinan bahwa setiap anak memiliki potensial untuk belajar. Setiap peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar sehingga tenaga pendidik tidak akan pernah melepaskan tangan murid yang lemah. Dengan demikian, proses pembelajaran dan pemelajaran yang terjadi akan dilalui atas dasar mendidik bukan melatih. Perbedaan keduanya sangat jelas, mendidik adalah memastikan para peserta didik ikut berpatisipasi aktif dalam proses pemelajaran, mereka diajak untuk memahami sampai mereka menemukannya sendiri. Sebaliknya, melatih hanyalah suatu rutinitas pemelajaran berulang-ulang yang menitikberatkan pada menghafal tanpa memahami, peserta didik hanya sekedar diperankan sebagai penerima dalam proses pemelajaran.

Lebih jelasnya perhatikan analogi berikut. Pemelajar mungkin saja memeroleh nilai “A” di tes hariannya, tetapi hasil itu sebenarnya tidak menjamin ia memahaminya. Contohnya, ketika pemelajar dapat belajar kosakata dan mengingat apa yang telah ia baca dan mungkin mendapatkan nilai “A”. Namun, tidak berarti ia dapat mengingat tersebut dalam waktu yang lama dan juga tidak berarti ia dapat menggunakan kemahiran barunya untuk menyelesaikan masalah dan mengambi keputusan di kehidupan sehari-hari. Hal itu disebabkan bahwa ia hanya menjadi penerima bukan partisipan dalam proses pemelajaran. Proses pembelajaran dan pemelajaran yang membuat pelakunya benar-benar merasakan apa yang sedang mereka lakukan membuat proses mencari dan memahami ilmu tersebut dapat berjalan dengan baik. Terlebih lagi, pendidikan itu terselenggara, sesungguhnya bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat, bukan sekedar perkara nilai atau hanya embel-embel mencari gelar apalagi hanya untuk lulus mendapatkan ijazah. Dan ini dibuktikan dengan tujuan institusi pendidikan yang cenderung hanya berorientasi pada hasil, hal ini terlihat bagaimana mereka mendeskripsikan kesuksesan pemelajaran dengan mengedepankan kuantitas bukan kualitas. Jumlah lulusan yang mencapai 100% dianggap itulah keberhasilan pendidikan. Nilai-nilai yang seolah dipaksakan--dikerek untuk mencapai nilai tertinggi memicu pemahaman ilmu yang disangsikan. Apakah para murid tersebut benar-benar memahami yang mereka pelajari? Apakah mereka menikmati proses belajar tersebut?

Proses pembelajaran dan pemelajaran yang sukses adalah bagaimana ilmu itu hadir di dalam diri pemelajar--sesuatu yang akan terus melekat, tidak pernah hilang. Seperti udara yang dihirup, terhisap, dialami dan dirasakan. Pendidikan harus benar-benar berarti bagi pelaku yang menjalankannya. Konsepsi ilmu inilah yang sepertinya lupa bahkan tidak tersampaikan dari seorang tenaga pendidik terhadap muridnya. Dari sekian banyak bombardir terobosan-terobosan terbaru dan berkelanjutan dalam upaya pengembangan di dunia pendidikan, seperti metode atau pun ancangan pembelajaran yang kerap kali muncul dalam pelbagai bentuk, seolah-olah itulah langkah yang tepat. Para pemangku kepentingan (stakeholder) terlalu disibukkan dan fokus terhadap masalah teknis penyelenggaraan pendidikan. Ibarat peribahasa gajah di pelupuk mata tak tampak, tetapi semut di seberang lautan terlihat. Lihat saja wajah pendidikan saat ini, yang tampak hanyalah fenomena persaingan. Persaingan untuk mendapatkan nilai tertinggi, persaingan hanya agar dapat lulus, kalau begitu sudah sewajarnya mereka hanya mendapatkan ijazah. Tuntutan seperti itu membuat para pemelajar melupakan bahwa ilmulah yang paling utama. Ilmu yang dipahami, dihayati, bukan ilmu yang sebatas hanya dihafal dan menjadi goresan angka.

Menuntut ilmu (belajar) bagi para pemelajar menjadi sesuatu hal yang tidak mereka sukai. Para pemelajar selalu merasa di bawah tekanan, mereka tidak menikmati dan tidak mengerti apa gunanya melakukan ini, belajar bagi mereka hanya sebuah rutinitas yang hampa. Mereka hanya diarahkan untuk menjadi yang terbaik, kalau tidak mampu melakukannya mereka dianggap gagal dan bodoh. Anak-anak dipaksa mengikuti arus persaingan ini, yang terkadang sungguh membuat anak tertekan. Jika suka bersaing peliharalah kuda balap, jangan anak-anak. Terlebih lagi, persaingan yang menekan dan cenderung tidak sehat, malah menumbuhkan bibit-bibit perilaku negatif, seperti contoh adanya kasus korupsi, sifat egois, menang sendiri, atau kadang menghalalkan segala cara agar bisa unggul dibanding yang lain. Penting untuk diingat, jabatan para tenaga didik amat mulia, mereka yang hanya cari tugas gampang dengan banyak libur harus dikeluarkan dengan cepat. Pendidikan adalah sebuah pertaruhan masa depan dan ini bukanlah slogan pemanis semata karena pendidikan menyangkut hajat hidup orang banyak, yakni rakyat Indonesia. Pendidikan harus diarahkan dengan sebenar-benarnya--murni, tidak ada unsur lain yang mengangkangi, selain penghayatan dan pemahaman akan ilmu yang dipelajari.

Karin Sari Saputra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline