Sudah sejak sedekade kebelakang ini para pengamat musik dari segala penjuru negara dibingungkan dengan sebuah fenomena aneh yang menjalar global di industri musik.
Bukan, bukan popularitas autotune yang rasa-rasanya kini dipakai penyanyi dari semua lini, atau makin menjamurnya penyanyi menelurkan video klip via youtube tanpa mengeluarkan satu paket album; kedua hal ini bisa dijelaskan dengan mudah lewat fakta di era digital ini, manusia lebih memilih mengonsumsi produk yang instan dan menarik di bagian luarnya. Yang membingungkan para analis ini justru semakin populernya kembali piringan hitam sebagai media mendengarkan musik bagi kaum kawula muda, atau istilah kerennya Vinyl Revival.
Piringan hitam, sebuah benda yang dimasa kepopuleran CD dan kaset dua dekade silam rasanya tak lagi dipedulikan, laiknya satu spesies nyaris punah, entah kenapa kini mendapat tempat lagi di masyarakat. Plus, yang lebih hebatnya lagi, fenomena ini terjadi secara global, bahkan hingga negara tercinta.
Meski hingga saat ini belum terdapat data resmi tentang kuantitas penjulan piringan hitam di Indonesia, grafik paralel soal Vinyl Revival di tanah air dengan 'kekerenan kembali piringan hitam' di tanah Paman Sam (yang menurut laporan The Verge mengalami kenaikan penjualan piringan hitam baru pada 2018 hingga 12 persen dari tahun sebelumnya, mencapai 10 juta keping) dapat tercium dari makin menjamurnya toko yang berfokus pada penjualan vinyl di berbagai kota macam Jakarta, Bandung, dan Surabaya, serta ajang dua belas bulanan Record Store Day yang makin lama makin populer hingga menarik minat musisi indie seperti Mocca, Crayola Eyes, dan NonaRia untuk merilis album atau singel baru bertepatan pada perayaan di bulan April itu.
Jika Anda menanyakan alasan di balik kegemaran 'aneh' mengonsumsi piringan hitam, biasanya respon mereka akan berkutat dalam tiga poin: unsur nostalgia, artwork unik dan khas yang melengkapi setiap kemasan dalam keping piringan hitam, serta suara yang keluar dari piringan hitam yang berbeda dengan output dari layanan streaming macam Spotify atau bahkan CD dan kaset. Untuk alasan pertama, rasanya ini terbatas pada penikmat musik yang telah berumur saja.
Para kakek dan nenek mungkin akan teringat kembali masa-masa menyenangkan dulu tatkala mendengarkan lagu lawas via vinyl di usia senja. Namun, data menunjukkan jika pelaku terbesar yang berpengaruh dalam Vinyl Revival justru kalangan milenial, yang tentunya tak punya memori nostalgia, mengingat era piringan hitam sendiri terakhir populer pada dekade 1980an saat diterjang menjamurnya CD dan kaset, jauh sebelum mereka lahir.
Karenanya, kini pertanyaannya adalah, kenapa kaum milenial menyukai piringan hitam? Jawabannya mungkin terdapat di poin terakhir: sebab vinyl menawarkan suara yang berbeda dari perangkat musik lainnya. Istilah yang umum digunakan adalah 'warmth', dalam arti piringan hitam menciptakan distorsi yang lebih 'hangat' didengarkan dibandingkan musik digital yang, meskipun kini menjadi media paling populer, sebenarnya hanya berkutat pada audio mp3 yang mudah pecah.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang unsur 'warmth' yang menjadi patokan utama bagi banyak audiophile memilih piringan hitam dan bukan busik digital, Anda bisa mendengarkan ketujuh album dibawah ini di piringan hitam, lalu membandingkannya dengan suara keluarannya dari media streaming digital.
1.Led Zeppelin II. Led Zeppelin
Mp3 yang ukurannya minimalis biasanya mengorbankan kualitas suara instrumennya, seperti suara drum yang terdengar pecah. Dengan mendengarkan album dari band hard rock ini dari piringan hitam, Anda akan mendengarkan suara gitar Jimmy Page secara lebih garang dalam lagu keras macam "Whole Lotta Love" serta suara drum yang lebih hangat, seakan Anda berada satu ruangan dengan penggebuk drum, dalam "Moby Dick", masterpiece dari drummer Jon Bonham. Selain itu, suara melengking Robert Plant juga tak akan terasa pecah dari vinyl.
2.Sabbath Bloody Sabbath. Black Sabbath
Nampaknya kebanyakan album hard rock lebih terasa memuaskan di telinga saat didengarkan via piringan hitam. Senada dengan album pertama diatas, album milik Black Sabbath ini menawarkan suara gitar yang lebih 'berat' dari Toni Iommi saat diputar lewat piringan hitam, dibanding via musik digital. Dengarkan lagu pembuka dari album ini (yang judulnya sama dengan titel album) di turntable Anda, dan rasakan sensasi musik keras yang sebenarnya.