Lihat ke Halaman Asli

Australia Mengalami Sesat Fikir dalam Menilai Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan Kedubes Australia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh bahas soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di ruangan pimpinan DPR Aceh, pihak Kedubes diwakili oleh Kepala Bidang Politik, Lauren Bian dan Sekretaris Bidang Hukum dan Hak Azasi Manusia, Annie Hildebrand.

Pada kesempatan itu, Lauren Bain menanyakan perkembangan politik ekonomi yang ada di Aceh dan perkembangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena Dubes Australia berkomitmen terhadap penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM. Dalam pertemuan tersebut, pihak DPR Aceh mengharapkan Australia dapat memberikan saran kepada Indonesia untuk serius terhadap permasalahan KKR, karena sampai saat ini belum ada jawaban dari pemerintah pusat terkait Qanun KKR.

Ada tiga daerah rawan yang menjadi perrhatian pihak  Australia, daerah tsb   akibat sisa-sisa gerakan separatisme yang kini muncul dalam bentuk perjuangan menuntut tegaknya hukum, keadilan dan HAM, yaitu Papua, Maluku dan Aceh. Seperti  daerah Maluku dimana juga terdapat sisa-sisa gerakan separatisme, perwujudannya sudah hampir tidak nyata, karena sisa-sisa kekuatan bersenjata kelompok separatis, sudah lama dapat dihancurkan dan upaya mewujukan Maluku sebagai bagian dari Indonesia secara sosial, ekonomi dan politik cukup berhasil. Menurut salah seorang wartawan senior di Maluku kelompok RMS sebenarnya sudah tidak ada, kalaupun ada simpatisannya sebenarnya mereka tidak mengerti apa itu RMS. Meski kondisi dan situasi di Maluku semakin aman dan damai namun tetap dalam pantauan Australia melalui Program Darwin-Ambon Sail, yaitu  perlombaan perahu layar yang bertolak dari Darwin ke Ambon, terus diadakan setiap tahun.

Sedangkan terkait  Papua sangat mungkin masalah penegakan hukum, keadilan telah menjadi program klasik Partai manapun yang berkuasa di Australia, sehingga terucap oleh Dubes Australia ketika berada di Aceh, bahwa penyelesaian pelangaran HAM di Aceh merupakan komitmen Australia, yang dalam tataran hubungan internasional antar dua negara dapat diterjemahkan sebagai “benih-benih intervensi dalam hubungan kedua negara”.

Oleh karena itu ada kesalahan dari berbagai pejabat di Aceh ketika merespons ucapan Dubes Australia, seolah-olah rakyat Aceh mengucapkan welcome terhadap upaya Australia ikut campur dalam masalah Aceh, dengan meminta membantu mereka untuk memberikan tekanan politik kepada Pemerintah RI di Jakarta membuka peluang agar Peraturan Daerah Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dapat segera disahkan. Masalahnya adalah karena Peraturan Daerah tentang KKR tidak bisa dibuat apabila UU Tentang KKR yang bersifat nasional belum disahkan.

Dalam menghadapi keinginan rakyat Aceh agar ada Peraturan Daerah Tentang KKR (Komisi Kerukunan dan Rekonsiliasi) Pemerintah menghendaki agar rekonsilisai terwujud di Aceh, namun sebagian rakyat Aceh menghendaki rekonsiliasi harus terwujud dan mereka yang bersalah harus didituntut, diantaranya adalah pejabat yang dahulu memutuskan Aceh sebagai DOM harus diadili. Prinsip inilah yang belum bertemu dan untuk pemecahannya.

Cara berfikir orang Australia harus diperbaiki, uruslah masalah HAM yang belum beres di Australia dan serahkan masalah HAM di Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri. Kebiasaan Australia mencantumkan ikut serta dalam upaya terwujudnya HAM diseluruh dunia, harus disadari tidak berarti  harus ikut campur tangan di negara lain.

Australia tampaknya perlu mempelajari dan menyikapi pernyataan tokoh nasionalis Papua, Nicolaas Jouwe. Dalam bukunya berjudul “Kembali ke Indonesia : Langkah, Pemikiran dan Keinginan (2013)”, Jouwe menyatakan, masyarakat Papua saat ini sudah dihormati oleh bangsa Indonesia dibandingkan tidak adanya penghormatan dari Australia terhadap suku Aborigin misalnya. Sampai saat ini, suku Aborigin tidak memiliki satupun anggota di parlemen Australia. Sedangkan di Indonesia, banyak orang Papua yang menjadi anggota DPR-RI, DPD RI, MPR-RI, DPRP, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wakapolda Papua dll. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan Australia, maka Australia jauh lebih mundur di bidang penghormatan HAM daripada Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline