Apa yang ada di pikiran anda bila mendengar London? Apakah glamornya Oxford street? Serunya menyaksikan penjaga di Buckingham Palace? Harry Potter? Big Ben? British Museum? Banyak alternatifnya ya.
Demikian juga saya, banyak sekali yang ingin saya lihat di London. Tapi awalnya bila ingat paspor Indonesia butuh visa UK, yang luar biasa mahal dan belum pasti diberikan, lalu harus melalui prosedur dingin agen pengurusan visa UK pula, ah... malas sekali membayangkan hal-hal yang harus kami lalui dengan tidak sukarela itu.
Tapi okeylah, untungnya banyak tawaran tiket murah ke London dari airport terdekat di tempat kami tinggal di Jerman. Bayangkan, kadang harga tiketnya hanya 9,9 Euro satu kali jalan (kurang lebih 150 ribu rupiah! Hampir sama dengan tiket travel Bandung - Jakarta), sangat menggoda kan. Apalagi saya terakhir ke Inggris hampir 25 tahun y.l. Kenangan tentang Inggris hanya tinggal puing-puing belaka. Akhirnya, kerepotan membuat visa pun kami lalui juga dan dapat. Tanggal 21 Desember 2017 y.l. terbanglah kami ke London.
Kota Nyaman Layak Tinggal
Sebagai orang yang bekerja di bidang konservasi energi, walaupun tata kota bukan urusan saya namun seringkali pekerjaan saya menyerempet urusan tata kota dan kebijakan kota. Nah, tulisan saya kali ini bukan tentang wisatanya, tapi lebih ke benang merah kenyamanan hidup di sebuah kota metropolitan.
London konon merupakan kota pertama di bumi ini, yang penduduknya di tahun 1900-an menembus angka 1 juta lebih orang. Sekarang London Metropolitan bahkan hampir 14 juta penduduknya, demikian juga dengan kota-kota lain, kota dengan penduduk lebih dari 1 juta sudah tidak terhitung jumlahnya. Tapi saya akan berangkat dari kota London saja ya untuk menuliskan pendapat saya tentang Urban Life ini, mumpung masih segar dalam ingatan.
Pernah membaca tulisan Dr Tri Harso Karyono, beliau sarjananya dari Arsitek ITB dan Doktornya dari Inggris, tahun 2007 pernah membuat tulisan di Kompas dan membuat tercekat kolega arsiteknya. Judulnya cukup provokatif PEMANASAN BUMI DAN DOSA ARSITEK, bisa diklik di sini. Tapi beliau ini bukan satu-satunya arsitek, yang menyalahkan arsitek. Seorang arsitek, penata kota dan profesor Urban Design dari Denmark, Jan Gehl, kurang lebih memiliki pendapat senada, klik di sini.
Jan Gehl ini sosok tidak sembarangan lho walaupun sekarang sudah berumur 80 tahun. Sepak terjang dalam disiplin ilmunya menjadi kiblat kebijakan kota-kota metropolitan dunia, yang mendapat predikat kota nyaman dan layak tinggal. Menurutnya, "Only architecture that considers human scale and interaction is successful architecture."
Gehl dan koleganya mengajarkan pemerintah kota dan bagian tata kota tentang manfaat public space dan kualitasnya, yang ada diantara bangunan gedung. Studinya terdiri dari 2 bagian:
- a quality evaluation of the public spaces,evaluasi kualitas public space
- a recording of public life in the spaces and,rekaman kehidupan di area public space itu
berdasarkan ini kemudian disusun rekomendasi untuk peningkatan kualitas area umum.
Dan London adalah salah satu kota metropolitan, yang pernah masuk dalam studinya.