Sebetulnya ini laporan pandang mata bulan Agustus y.l saat Karnaval Kemerdekaan "Pesona Parahyangan" di Bandung tanggal 26 Agustus 2017. Bahwa orang Indonesia lebih menyukai selfie dibandingkan orang Jerman, sudah saya sadari dari lama. Namun, bahwa kehebohan selfie yang mengganggu karnaval itu ditoleransi, dan luarbiasa ramahnya peserta karnaval, sebuah kenyataan baru bagi saya.
Sudah sejak pagi di hari Sabtu tanggal 26 Agustus itu, kami berniat nonton Karnaval. Karnaval, yang katanya akan dimulai pagi hari ternyata dimulai lebih siang, membuat kami menunggu sampai tidak terlalu terik. Tujuan kami adalah tempat para Karnavalis mengakhiri pawainya, jalan Asia Afrika. Karena rumah ibu saya tidak jauh dari jalan Asia Afrika, kami memutuskan jalan kaki dan disambung naik angkot supaya lebih cepat sampai. Turun di dekat jalan Tamblong, kami lanjutkan berjalan kaki ke jalan Asia Afrika.
Karnaval sudah terlihat dikerubuti oleh penonton. Hampir tidak ada celah yang bisa saya tembus untuk melihat aliran karnaval seutuhnya, hanya bagian atas kostum para karnavalis terlihat melambai-lambai mengalir lambat dan sering terhenti. Batas penonton di atas jalan dan karnavalis hampir tidak ada. Saya bahkan bisa melenggang bebas di antara sedikit celah antara trotoar yang dipenuhi penonton dan penonton di atas jalan, yang merangsek para karnavalis.
Awalnya saya tidak mengerti kenapa para karnavalis terkadang terhenti total. Setelah berusaha mengintip lebih ke dalam diantara penonton di jalan, ternyata para penonton yang merangsek para karnavalis ini menyetop para karnavalis dan memaksa untuk berswafoto dengan mereka. Yang membuat saya kagum adalah wajah ramah para karnavalis, walaupun dengan kostum yang berat dan hambatan para selfie-er, masih bisa tersenyum ramah.
Saya tidak yakin, bila hal ini terjadi pada para karnavalis Jerman, apa kondisi seperti itu dapat dipertahankan. Suasana saat itu yang bagi saya lebih terasa chaos daripada nyaman, rasanya membuat sumpah serapah atau teriakan tidak puas khasnya orang Jerman langsung berdengung-dengung di telinga. Kenapa tidak ada pembatas dipasang diantara para karnavalis dan penonton, sehingga para karnavalis nyaman mempertontonkan kecantikan kostum dan kebolehannya, demikian juga penonton lebih memiliki kebebasan melihat para karnavalis.
Saya sangat prihatin pada para karnavalis, karena mereka sulit menembus para penonton dan tidak bisa bebas mempertontonkan kostumnya. Padahal saya cukup yakin, di setiap kostum tersembunyi jam kerja yang tidak sedikit dan usaha serta kreatifitas yang tidak terhitung. Akhirnya, saya lebih merasa menonton penonton karnaval daripada menonton karnaval.
Langkah kami lanjutkan menyusuri tenda-tenda yang menjual berbagai penganan. Kami pun sempat mencoba dim sum dan .... Sambil duduk dan menikmati keramaian, kami melihat Jokowi tiruan, yang sering muncul dalam iklan tivi, ditahan untuk berswafoto.
Menyusuri jalan Cikapundung, diantara bus-bus para karnavalis, kami menuju jalan Braga. Warung dan restoran banyak dipenuhi pengunjung dan peserta karnaval. Bandung demikian hidup dan berwarna. Saya menyukai suasana Bandung yang demikian ramah, ramai dan ceria. Andaikan saja kerapihan dan keteraturan karnaval Jerman disuntikkan hari itu, saya yakin suasana Karnaval Kemerdekaan Pesona Parahyangan" akan lebih menyenangkan lagi. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H