Lihat ke Halaman Asli

Perlukah Pelajaran Masak Memasak pada Tingkat SMA?

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pelajar di Indonesia, khususnya pelajar yang duduk di tingkat sekolah menengah pertama ataupun sekolah menengah atas merupakan pelajar dengan jam belajar tertinggi dan terbanyak di dunia, mengingat pendidikan di Indonesia belum bisa maju seperti halnya di Finlandia atau di Selandia Baru. Namun sayangnya banyaknya jam belajar siswa tidak diimbangi dengan kualitas atau hasil belajar yang memadai, bisa dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia lebih mengutamakan kuantitas (jumlah jam belajar) daripada kualitas. Banyak sekali mata pelajaran ataupun materi belajar siswa di sekolah yang sebenarnya tidak terlalu penting dan bahkan seharusnya tidak cocok untuk dijadikan pelajaran wajib namun dipaksakan untuk diberikan kepada siswa, sehingga siswa menjadi stress dikarenakan banyaknya beban dan tanggung jawabnya. Materi belajar masak memasak dalam pelajaran prakarya contohnya yang diadakan pada jenjang pendidikan SMA di salah satu SMA swasta di Kebayoran baru, Jakarta Selatan. Sepertinya masak memasak bukanlah suatu hal yang penting yang wajib untuk dikuasai oleh siswa, tidak seperti matematika ataupun bahasa inggris yang nantinya 70 persen akan dipakai di dunia kerja. Pelajaran masak-memasak lebih tepatnya diletakkan pada pelajaran peminatan atau ekstrakulikuler, dimana hanya siswa yang berminat untuk berkarir di bidang tata bogalah yang dapat belajar dan mendalami itu semua, jadi jauh lebih bermanfaat apabila pelajaran sampingan seperti seni masak-memasak, lukis, tari dan sebagainya di jadikan ekstrakulikuler dan yang mendalami hanyalah siswa yang berminat untuk berkarir kelak di bidang itu. Mengingat pendidikan merupakan sarana awal siswa untuk bisa terjun ke dunia kerja setelah tamat di perguruan tinggi, dan tidak semua siswa berminat untuk berkarir di bidang tata boga, namun apapun profesi siswa kelak setelah lulus S-1 pastinya akan membutuhkan pelajaran matematika dan bahasa inggris. Jadi lebih baik sekolah di Indonesia ini tidak mementingkan kuantitas, dimana jam belajar siswa dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore namun siswa tidak 100 persen memperoleh pelajaran penting yang akan di bawa untuk terjun ke dunia kerja, tetapi alangkah baiknya sekolah di Indonesia ini mementingkan kualitas, dimana meskipun jam belajar siswa tidak terlalu padat, namun siswa sudah siap dan matang 100 persen untuk persiapan menghadapi dunia kerja sesuai dengan minat masing-masing siswa, jadi tidak buang-buang energi dan biaya dengan belajar sesuatu yang sebenarnya tidak bermanfaat dan hanya terpaksa mengikuti standart kurikulum sekolah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline