Lihat ke Halaman Asli

Kristogonus Tadeus

mencitai kebijkasanaan

Ada Cinta dari Yogyakarta

Diperbarui: 1 November 2023   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pribadi

Jika langkah meninggalkan jejak maka peristiwa menyisakan percikan refleksi dan makna yang berguna. Menemukan nilai dan makna hidup tidak mesti melalui peristiwa hidup yang heroik atau pengalaman yang menguras rasa dan emosi. 

Memaknai hidup dapat diperoleh dari peristiwa-peristiwa hidup kita yang sederhana. Saat-saat santai, canda tawa, gurauan dan obrolan apalagi yang dikemas dalam sebuah agenda perjalanan, memberikan nilai dan makna jika direfleksikan atau direnungkan kembali. Sebaliknya akan berlalu tanpa makna jika tidak direnungkan.

Pada 16-19 Oktober 2023, semua pengurus Yayasan Karya Murni Medan bersama para guru/pegawai dari dua sekolah yakni SLB A dan SLB B Karya Murni berkunjung ke Yogyakarta. Beragam kegiatan yang diisi selama empat hari, mulai dari menyambangi destinasi wisata, menikmati aneka kuliner, mengunjungi SLB, berburu souvenir dan yang tak kalah seru adalah mengabadikan setiap momen dalam jepretan kamera.

Menyambangi destinasi wisata dan kuliner lokal

Pesona Yogyakarta, kota yang memiliki beragam warisan sejarah masa lalu, mulai terasa sejak memasuki area bandara. Perpaduan arsitektur modern dan kerarifan local menjadikan wajah bandara yang baru beroperasi setahun itu kian menawan. Melewati koridor bandara, mata dimanjakan dengan beragam keunikan budaya entah dalam bentuk gambar tiga dimensi maupun patung dan ukiran.

Setiba di Yogyakarta karena saatnya makan siang kami langsung menuju restoran. Gudek, kuliner khas yang sudah melegenda, menjadi santapan siang. Lapar bercampur penasaran membuat kami segera ingin menikmatinya.  Cita rasa gudek yang terlampau manis untuk lidah wong Medan, hampir separoh dari kami tidak mampu menghabiskannya.

Dok Pribadi

Di hari yang sama, selepas makan siang, kami menuju Candi Borobudur. Kami tiba sekitar pukul tiga sore, saat matahari mulai condong ke barat. Kala itu wilayah Yogyakarta dan sekitarnya termasuk kawasan Borobudur dilanda kemarau panjang. Alamnya terlihat kering dan gersang. Kabarnya, sudah empat bulan tidak datang hujan. 

Teriknya matahari yang datang dari puncak candi, terasa menusuk pori-pori dan menyilaukan mata. Kami pun memborong topi dari pedagang asongan untuk sekedar menahan sengatan teriknya matahari sore itu.

Gelora kebersamaan yang  terus dipancarkan, membangkitkan semangat kami untuk menapaki  jalan menuju puncak Candi yang berada di ketinggian. Demi menjaga kelestarian kawasan Candi Borobudur, para pengunjung harus berjalan kami lebih kurang 1,5 km. Hawa panas yang membakar serta tenaga yang mulai terkuras akibat perjalanan dari Medan, sedikit melelahkan kami menyusuri jalanan yang menanjak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline