Jelang PILKADES Serentak di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Timur dan wilayah lain di Indonesia, ijinkan saya memberikan pikiran tentang alasan dasar dilakukannya pemilihan Kepala Desa pada setiap 6 tahun. Kiranya, dapat menjadi tambahan wawasan sebelum menentukan pilihan pada tanggal 8 Desember 2022.
Selamat membaca...
Pada hakikatnya,tidak ada kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan dalam Demokrasi, diberikan oleh mayoritas rakyat melalui pemilihan Umum yang bebas dan independen. Demokrasi menempatkan kebebasan pada level yang paling tinggi, sehingga kekuasaan yang dititipkan pada pemimpin atau wakil, dapat secara bebas dan teratur dievaluasi oleh rakyat melalui hak memilih pada waktu tertentu. Evaluasi-lah yang menjadi pikiran dasar, kekuasaan harus diperiodisasi. Membatasi kekuasaan seorang Pemimpin atau Wakil Rakyat penting untuk dilakukan, agar dalam kurun waktu tertentu rakyat dapat mengevaluasi kepempimpinan atau keterwakilan. Jika tidak demikian, maka kekuasaan cendrung absolut dan korup.
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan " pintu masuk" bagi tindak korupsi. Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19 punya adagium-nya yang terkenal. Beliau menyatakan : "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)."
Jadi jelas bahwa, kekuasaan yang tidak dibatasi dengan kurun waktu, akan menumbuhkan bibit diktator dan korupsi. Kekuasaan yang lengkap dengan tameng dan antibodi, membuka peluang bagi penguasa untuk bertindak sewenang-wenang-wenang.
MEmang tidak adil, jika pernyataan diatas ditempel pada semua yang sedang berkuasa. Ada pemimpin atau wakil, yang dievaluasi memiliki kinerja yang bagus sesuai tugas yang diberikan. Demokrasi Indonesia mengijinkan, dalam hal ini, Kepala desa yang sedang berkuasa, mencalonkan lagi dirinya untuk Dua periode lagi. Jika, kebanyakan masyarakat menghendaki Cakades Incumbent untuk melanjutkan kerja baiknya, maka dipastikan untuk kembali memimpin Desa. Begitu pun, Enam tahun setelahnya, sampai 3 kali berturut-turut. Tidak peduli, taktik berkampanye, dalam lingkup kecil seperti Desa, evaluasi rakyat sangat jelas melalui hasil pemilihan nantinya.
Hasil pemilihan Umum Kepala Desa merupakan bentuk evaluasi. Kepada calon Incumbent, mendapat suara mayoritas berarti masyarakat mengevaluasi kerja baik selama periode pertama. Begitupun sebaliknya, jika kalah, maka merupakan bentuk evaluasi atas kerja buruk dan rakyat menghendaki kekuasaan digunakan oleh orang lain yang akan lebih baik bekerja.
Hak mengevaluasi ada di tangan rakyat. Strategi kampanye melalui pengaburan fakta lapangan, seharusnya tidak dilakukan, karena desa bukan kabupaten, provinsi atau negara. Desa sangatlah kecil dan sangat mudah memantau rekam kerja Incumbent ataupun rekam jejak calon baru. Jadi, tidak perlu berkampanye yang muluk-muluk. Jika sudah saatnya kalian mengakhiri periode kekuasaan, memang itulah Demokrasi. Juga, jika kekuasaan tidak diberikan kepada calon baru, itu juga demokrasi.
Semua harus lapang Dada dan berjiwa besar karena yang pada rakyat-lah kekuasaan tiada batas.
Selamat berkampanye.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H