Lihat ke Halaman Asli

Jojo Simatupang

Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Pak Gigih

Diperbarui: 1 Juni 2016   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang kuli bangunan sedang membangun sebuah rumah mewah. Sumber: merdeka.com

Pak Gigih usianya kini sudah menginjak lima puluh dua tahun, semasa hidupnya dihabiskan di ibu kota DKI Jakarta. Pak Gigih memiliki 2 orang anak dan seorang istri. Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil yang padat penduduk. Pekerjaannya saat ini adalah penjaga toko buku di Kwitang.

Aku mengenalnya ketika 10 tahun yang lalu. Aku kala itu baru saja menikah dengan seorang ahli filsafat dan aku seorang pecinta buku. Aku memang pedagang buku, namun belum cukup besar seperti saat ini. Berkat istiku, aku mampu mengembangkan usahaku.

Membuka sebuah toko buku dengan lapak yang lumayan besar, aku dan istriku mengelolanya sendiri. Belum ada pegawai, karena pikirku masih mampu. Baru 3 hari aku kewalahan, ah rasanya aku butuh pekerja

Seminggu lamanya aku pajangkan lowongan pekerjaan, akhirnya aku temukan dua orang yaitu pak Gigih bersama istrinya. Wah, beruntung. Pak Gigih dan istrinya terlihat sangat baik dan ramah. Aku dan istriku akhirnya memerkerjakan mereka.

Lambat laun tampak pak Gigih membuahkan hasil. Daganganku sukses, aku dan istriku merasa bangga terhadap kemampuan pak Gigih. Bukan hanya itu, daya tariknya adalah pak Gigih selalu tahu isi buku dagangan. Sehingga setiap pembeli yang menanyakan isi buku, sinopsis, keunggulannya, pak Gigih mampu menjelaskannya dengan rinci. Aku pikir, luas biasa.

Istriku sakit, aku harus berusaha merawatnya. Pak Gigih dan istrinya aku percayakan sepenuhnya pekerjaanku. Aku sudah tidak peduli lagi, aku hanya inginkan istriku sembuh. Penyakit lupus membuatku harus terus bersamanya.

Nyatanya pengobatan sangat mahal, aku tidak ada lagi uang kecuali modal untukku berdagang. Aku merasa tak enak harus ke toko sekadar ambil uang saja. Ah, menundukpun aku pada pak Gigih.

Istriku tercinta telah mati, tak kuasa aku lemah saat ini. Tokoku harus tutup karena tak mampu mengelola sendiri, uangku habis tak mampu bayar sewa dan pegawai. Pak Gigih masih dapat tersenyum, beliau begitu paham kehidupanku. Kami harus berpisah dan tak komunikasi. Saya hanya berdagang buku online melalui jejaring sosial. Ya berharap dapat meneruskan hidup.

Sudah empat tahun pasca tutup tokoku, aku buka buku telepon, ah ada pak Gigih. Aku telepon beliau yang sudah bekerja di galian pipa kabel. Diajaknya aku ke rumahnya. Sangat kecil dan 'maaf', seperti kandang kambing. Catnya semen dengan lantai semen, atap asbes, dan kamar mandi tanpa atap. Prihatin sekali! Tetapi aku berpikir lumayan punya rumah walau seperti ini. Tapi, ah, masa harus seperti ini pikirku. Pak Gagah yang baru pulang bekerja menyambutku, mantan pegawaiku terus terasenyum kepadaku. Sambil menikmati secangkir teh pak Gigih menceritakan kehidupannya, oalah, rumahnya itu kontrakan. Astaga! Pak Gigih sudah berusia lima puluh dua tahun, kerja sana sini belum punya rumah. Kejamnya dunia ini.

Pak Gigih hanya berharap dapat menyambung hidupnya, memberi makan anak, istri, dan cucu-cucunya. Ya, cucu-cucunya seringkali dititipkan pada beliau. Sudah beberapa kali ganti pemimpin, baik Walikota, Gubernur, bahkan Presiden, pak Gigih tetap seperti ini. Anehnya, masih ada orang seperti pak Gigih. Aku yang kini duda sedikit termotivasi, hidupku tanpa keluarga namun aku masih sanggup makan dan hidup. Siapa bilang zaman 90an itu enak, buktinya pak Gigih sengsara. Siapa bilang sekarang lebih makmur. Nyatanya masih ada pak Gigih. Ah, tapi seharusnya susah itu tidak pada beliau. Beliau gigih, seperti namanya Gigih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline