[caption caption="Orde Baru, Rezim Presiden Soeharto. Sumber: www.pendidikanmu.com"][/caption]
Orde baru tentu merupakan rezim lampau yang pernah menguasai negeri ini selama 32 tahun. Sebuah rezim yang dipimpin oleh Jenderal Besar Soeharto, jelas saja karena beliau adalah seorang tentara dengan bintang lima di pundaknya. Jika kita lihat, beliau setara dan sederajat dengan Panglima Soedirman yang sama-sama memiliki bintang lima di pundaknya. Tapi, tunggu dulu, Soedirman di angkat dan ditahbiskan sebagai Jenderal Besar oleh Panglima Perang Tertinggi saat itu, yaitu Presiden Soekarno. Berbeda dengan Presiden Soeharto yang mengangkat sendiri dirinya menjadi Jenderal Besar, tentu tidak jarang dan sangat mudah ditemukan Soeharto menggunakan pakaian kebesaran TNI dengan bintang lima di pundaknya, tetapi kondisi tubuhnya sudah uzur. Lihat saja, rambutnya memutih, kulitnya keriput dari wajah hingga leher, bahkan ketika sikap hormat, tangannya begitu keriput. Tapi sudahlah, pemerintah kala itu adalah penguasa.
Bicara sastra di saat itu, sastrawan merasa ketar-ketir ketika harus mengkritik pemerintah. Tidak mudah bukan, lihat saja, sahabat kita yaitu Wiji Tukhul yang mengkritik pemerintah lewat media sastra, hilang begitu saja. Tapi itulah orde baru, double Jenderal berkuasa, tiada satupun yang menentang bapak satu itu. Asal Bapak senang, isih penak toh jamanku toh. He he he.
Wiji Tukhul menjadi salah satu contoh suara-suara terbungkam yang mencuri simpatik negeri dan bangsa ini, kenapa tidak? PBB saja hingga menurunkan utusannya untuk mengunjungi keluarga Wiji Tukhul untuk melakukan klarifikasi akan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di negeri ini.
Mengenal sosok Wiji Tukhul, seorang pria berkeluarga yang hidup kurang tercukupi, betapa miris ketika itu harus hilang begitu saja tanpa pamit kepada keluaganya yang amat ia cintai. Tetapi, saya bukan mau bahas Wiji Tukhul dan memfitnah rezim makmur ini.
Sastra sebagai bentuk menyalurkan ide atau pikiran menjadi bagian seni yang menjadi kontroversi sendiri, karena sastra sendiri mengungkapkan tanpa di saring, jelas sastra itu karya mentah dari pikiran atau ide. Tapi bisa saja di kemas sebaik mungkin agar mencari aman.
Selain itu, banyak tokoh-tokoh atau pelaku-pelaku sastra mencoba lagi mengungkapkan ide atau pikirannya dengan sastra lain. Lihat saja Teater Koma, sebuah teater besutan Sutradara kelas atas, Nano Riantiarno. Beberapa kali mementaskan naskah-naskah yang berbau politik, ya intinya sih mengkritik juga penerintahan, selalu saja dihalang-halangi bahkan beberapa kali batal pentas. Anda bisa lihat langsung di halaman resmi Teater Koma, dijelaskan perjalanan mereka mementaskan naskah-naskah drama mereka, berhasil dan batalpun mereka tulis secara detil dengan alasannya. Tapi saya tidak mau bicara soal Teater Koma, apalagi Nano Riantiarno. Saya tidak hidup di masa itu, saya hanya menumpang di rezim itu, ya tahun 1994 dan 4 tahun saja rezim itu bubar.
Selanjutnya mengenai Belok Kiri Fest, ini saya baru benar-benar alami. Masa-masa ini, tahun 2016 adalah rezim bapak Presiden Joko Widodo yang Mulia. Beliau berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau bekennya PDI-P. Ketua Umumnya adalah yang mulia ibunda Megawati Soekarnoputeri, seorang anak kandung dari bapak pendiri negeri ini, Ir. Soekarno. Nah, tentu tidak ada hubungannya dengan rezim orde baru toh, tapi bapak Presiden kita seorang penguasa negeri ini sekarang. Secara ideologi partai dan pribadinya, bapak Presiden kita tidak ada hubungannya dengan rezim bapak Presiden kedua kita, almarhum Jenderal Besar (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto. Nah, kali ini saya mau bicara soal ini, coba baca lagi kalau agak-agak kurang paham.
Orde baru sudah selesai, bapak sudah lama tiada, meninggalkan kita untuk menghadap sang Khalik, hanya kebesaran nama dan jasanya yang masih tercatat dalam sejarah. Eh, tetapi bukan! Masih ada lagi, saya hampir lupa bapak masih punya anak-anak dan cucu-cucunya yang banyak dan juga masih hidup hingga sekarang ini. Ya, maklum saya lahir di era baru-baru ini, saya ini masih bau kencur kalau kata orang dulu.
Ya lewati sajalah, saya mau seikit berargumen. Dari pandangan dan paparan di atas jelas sekali toh, orba sudah selesai, penguasa kita bukan bagian dari mereka. Nah disini saya bingung. Sebentar, saya mau ilustrasikan sedikit. Ada ruko di Mangga Dua disewakan oleh pihak manajemen, penyewa pertama membuka restoran khas Jawa. Tak lama kios tutup karena penyewa pindah. Kemudian ada penyewa selanjutnya dan membuka restoran khas Cina. Laku keras, sedangkan penyewa sebelumnya ya ala kadarnya. Tetapi lagi-lagi bukan itu yang saya sorot, tapi begini. Ada tidak hubungan di antara keduanya (penyewa pertama dengan penyewa kedua)? Mereka tidak saling kenal, mungkin sekadar tahu dari cerita tentang asal usul kios sewa mereka itu. Nah, sudah mulai paham?
Sekarang kita pikirkan, bapak Presiden kita sekarang Joko Widodo dengan bapak Presiden kedua kita Soeharto, mereka sama-sama memimpin negeri ini namun di waktu yang berlainan. Apa mereka kenal? Ya bisa saja, kan tertulis dalam sejarah bangsa ini, tapi, pasti mereka berbeda dan tidak ada hubungannya. Betul?