“If the only tool you have is a hammer, you tend to see every problem as a nail.”
Seorang psikolog asal Amerika, Abraham H. Maslow, pernah melontarkan kalimat di atas yang muncul di benakku setiap kali membaca pernyataan keras Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, Ahok. Rasanya setiap kali ada hal yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah Jakarta, beliau akan bereaksi keras.
Beliau seakan-akan, seperti yang dibilang Maslow, hanya memegang palu dan siap menghantam setiap paku yang nongol. "Paku - paku" itu adalah warga yang menempati lahan secara ilegal dan tidak mau pindah; PKL yang masih menempati pinggiran dan bahkan tengah jalan meski sudah disediakan tempat; warga-warga yang bersikeras dengan keinginannya, ngotot dan cenderung susah di atur.
Setiap orang selalu punya alasan di balik setiap sikapnya. Demikian pula dengan Ahok. Aku membayangkan betapa beliau gemas dan geregetan menyikapi situasi dan kondisi Jakarta, dan tidak tertutup kemungkinan juga loh, jika beliau sebenarnya juga gemes banget pasangan beliau yang paling serasi: Jokowi.
Bayangkan jika kita adalah orang yang blak-blakan, dengan semangat yang menggebu-gebu dan hasrat yang menggelora, kemudian kita mendapat pasangan yang cenderung bertolak-belakang dengan kita; cenderung kalem dan susah ditebak isi pikirannya. Satu sisi kita akan gemes, sisi lain, semoga kita menyadari, jika kita mendapat pasangan dengan karakter yang bertolak belakang, justru itulah pasangan kita yang paling serasi (jadi teringat istri yang bawel).
Balik lagi ke Ahok. Beliau dengan gaya beliau sebenarnya sangat menarik perhatianku dan sekaligus menghiburku. Menarik perhatianku karena memang dengan jauh berbeda dengan gaya pemimpin Jakarta sebelumnya dan bahkan pemimpin Indonesia. Sekaligus menghiburku karena seringkali ucapan beliau memang harus diakui terkesan "asal ngomong". Contoh; Beliau sempat menawarkan untuk memberikan kuliah umum kepada Komnas HAM, tentang... HAM, ketika masa penertiban waduk Pluit, atau ucapan; "Apa itu HAM? Hamburger?" yang belum lama ini dilontarkan terkait rencana penertiban PKL Tanah Abang.
Berulangkali aku ketawa ngakak kalau baca ucapan-ucapan Ahok yang terkesan asal itu. Padahal, bisa jadi beliau tidak sedang bercanda, dan sudah pasti, beberapa pihak tidak merasa nyaman dengan ucapan-ucapan Ahok terlepas dari adanya kebenaran-kebenaran di dalam ucapan-ucapan tersebut.
Hal yang terlintas di benakku adalah, sejauh mana efektivitas gaya komunikasi Ahok yang meledak-ledak itu? Bagaimanapun juga beliau juga pasti sudah sangat menyadari jika masalah Jakarta sudah sangat banyak dan bertumpuk. Aku tidak tahu sebanyak apa berkurangnya waktu, tenaga dan pikiran Ahok ketika sekelompok orang yang tersinggung dengan ucapan Ahok kemudian melakukan demo, mengajukan gugatan, yang bayanganku sedikit banyak akan mengalihkan perhatian Ahok dari tugas dan tanggung jawabnya utamanya. Semoga saja, hanya sekejap saja waktu dan perhatian Ahok yang tersita untuk menyikapi dampak dari gaya kerasnya.
Hal lain adalah sebagai pemimpin Jakarta, Ahok juga harus mempertimbangkan cara yang paling efektif untuk mendorong warga Jakarta untuk bergerak ke tujuan yang sama dengan irama yang selaras.
Ketika "palu" yang digunakan sebagai alat untuk mendorong, kemungkinan yang paling mungkin terjadi adalah hantaman palu itu akan berbalik, atau orang akan mengikuti tapi dengan terpaksa. Ketika orang mengikuti dengan terpaksa, dia tidak akan pernah sepenuh hati dan maksimal dalam setiap apapun yang dia lakukan.
Penolakan - penolakan sebagian warga atas kebijakan-kebijakan pemimpin berangkat dari ketidaktahuan dan kekuatiran. Tantangan utama pemimpin adalah mengatasi ketidaktahuan dan kekuatiran itu membuat warga yang semula menolak menjadi menerima karena mereka kemudian menyadari bahwa tidak ada yang perlu dikuatirkan. Sikap keras rasanya justru akan semakin meningkatkan kekuatiran-kekuatiran itu sekaligus mengurangi kepercayaan warga kepada pemimpinnya.