Lihat ke Halaman Asli

Kristiyanto

Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pamulag Prodi Akuntansi

Lentera di Bawah Awan

Diperbarui: 13 September 2024   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

id.pngtree.com

Sinopsis  

Dalam gemuruh hujan yang jatuh tanpa henti, ada sebuah kisah yang tersimpan di antara kelopak bunga dan bayangan malam. "Lentera di Bawah Awan" adalah sebuah cerita yang terinspirasi dari melodi mendalam para penyair, menelusuri perjalanan jiwa yang terombang-ambing dalam harapan, kehilangan, dan kerinduan yang tak terucapkan 

Alana, seorang wanita dengan mimpi yang terkubur dalam kebisingan dunia, menemukan dirinya terjebak di antara cahaya dan kegelapan, masa lalu yang membayanginya seperti awan hitam. Di tengah kota yang gemuruh dengan suara kendaraan dan tatapan dingin, ia bertemu Arga, seorang musisi jalanan dengan gitar tua dan mata yang menyimpan rahasia alam semesta.

Melalui denting-denting melodi yang mengalir dari jari-jarinya, Alana menemukan kembali rasa yang pernah hilang—rasa hidup yang penuh warna dan nada. Namun, seperti lagu-lagu Juicy Lucy yang mengalun lembut namun penuh makna tersembunyi, hubungan mereka tak pernah sederhana. Di bawah langit malam yang kelabu, mereka saling mencari, saling mendekap, namun juga tersesat dalam labirin perasaan. 

Setiap langkah yang mereka ambil, setiap nada yang menggetarkan udara, adalah bayangan dari jiwa-jiwa yang mencari terang di bawah awan. Ini adalah kisah tentang cinta yang lahir dari luka, tentang keberanian untuk mencintai lagi meski hati telah retak ribuan kali, dan tentang cahaya kecil yang selalu ada, meski tersembunyi di balik kegelapan. "Lentera di Bawah Awan" membawa pembaca menyusuri emosi yang dalam dan alunan hidup yang penuh melodi, membiarkan mereka merasakan denting hati yang bergetar di antara cinta, keputusasaan, dan harapan yang tak pernah mati.  

Chapter 1

"Simfoni yang Terluka"

Hujan turun tanpa aba-aba, menciptakan irama yang menggema di jalanan sepi. Setiap tetesan air seperti menyimpan cerita lama yang tak pernah selesai diucapkan. Di balik jendela kaca yang berembun, Alana duduk termenung, tatapannya kosong, mengikuti jejak-jejak air yang berlarian. Hujan selalu menjadi temannya sejak dulu—dia adalah saksi dari tangis yang tak pernah terucap, dan kerinduan yang selalu ia pendam dalam-dalam. 

Di sudut kafe kecil itu, udara dingin bercampur dengan aroma kopi yang pekat. Alana menarik nafas panjang, mencoba meredam kekosongan yang seolah melekat di dadanya. Kertas-kertas di hadapannya bertebaran tanpa arah, seperti serpihan hidupnya yang tercecer. Ia pernah bermimpi menjadi penulis—seorang pencerita yang bisa mengungkap rahasia-rahasia dunia dengan kata-kata. Tapi sekarang, setiap kata yang muncul hanyalah bayang-bayang kosong dari apa yang dulu ia rasakan. Kata-kata itu hilang bersamaan dengan seseorang yang pergi. 

Sampai sebuah nada lembut mulai mengalun dari luar kafe. Alana menoleh perlahan, seperti terhipnotis oleh suara yang terasa asing namun begitu akrab di hatinya. Di bawah atap kecil, seorang pria berdiri dengan gitar tua, memainkan melodi yang menyayat hati. Hujan turun di sekitar pria itu, namun ia tampak tak peduli, seolah-olah setiap tetes hujan adalah bagian dari simfoni yang sedang ia mainkan. 

Alana tak bisa mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu, dari caranya memetik senar gitar, seolah setiap nada adalah perasaan yang tak terucap. Musik itu terasa seperti bicara langsung ke dalam jiwanya, memecah sunyi yang selama ini ia peluk erat. Lagu itu bukan sekadar melodi; ia seperti cerita yang telah lama hilang, dan kini kembali untuk mengingatkan Alana tentang apa yang pernah ia rasakan—dan apa yang telah ia lupakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline