Udara serasa membakar kulit. Jarum jam berada di angka 12. Jaket hitam dan helm merupakan kawan dinas, cukup menambah kucuran keringat.
Tenggorokan kerontang serasa di padang gurun. Segera motor mengarah pada gerobak penjual es buah.
"Es buah satu, enggak pakai nanas ... pak," pintaku pada sang bapak berkumis itu.
Kode tangan serta senyuman, membuatku mengerti untuk sabar menunggu.
Terlihat beberapa kursi kosong, namun tarian daun-daun pohon itu membuat tertarik untuk mendekatinya. Kubuka jaket sembari mengibas-ngibas. Seperti mandi keringat, baju yang kukenakan basah kuyup. Angin sepoi-sepoi cukup mengobati dahaga di kerongkongan.
Sejenak, mangkok putih berisi buah-buah segar siap di hadapan. Tak lupa mengaduk, satu sendok kubiarkan mengaliri kerongkongan. Saking asik dengan manis dan segar buah sampai tak sadar nenek tua berdiri di hadapanku.
Tanpa suara hanya tangan mengadah ke bawah. Awalnya, ingin kuberi kode maaf agar segera pergi. Entah tiba-tiba, hatiku iba melihat wajah tua dan lelah itu. Kurogoh saku, hanya koin yang kutemukan.
Wajah sumringah disertai ucapan doa "mugo-mugo seger waras lan akeh rejeki ya, le." terlontar di mulutnya.
Aku mengamini doa itu, sambil terus memandang langkahnya menuju gerobak es buah.
Sang nenek berdiri sambil sibuk menghitung koin-koin. Tak lama, tampak berbincang dengan penjual, sebelum nenek itu duduk. Segera kuhabiskan es yang mencair itu, lalu melangkah untuk membayar.