Lihat ke Halaman Asli

Kristin Siahaan

Observer, Theological Student'15

Maret (Marah Karet)

Diperbarui: 4 Maret 2021   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 Tiap situasi yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah disepakati tentu saja membuat kita jengkel, marah, protes bahkan mengumpat dalam hati. Pertanyaannya, seberapa banyak dari kita yang lebih banyak menggunakan telinga kita dahulu untuk memahami situasi, daripada mulut kita untuk menghakimi sesuatu? Jika lebih dominan menggunakan mulut, pasti akan sering mengalami yang namanya kecewa. Sebaliknya, lebih banyak mendengar akan berujung pada sebuah pemahaman.

Di bulan ketiga setiap tahunnya, aku menyebutnya masa perenungan. Merenung untuk menilai apakah diri lebih banyak mendengar atau berkata-kata untuk memahami lingkungan. Secara khusus, umat kristiani memasuki masa sengsara Tuhan Yesus yang akan mengorbankan hidupNya. Salah satu teladan hidup yang diwariskanNya ialah mudah mengampuni kesalahan orang lain. Untuk itulah, muncul sebuah ide untuk memperpanjang nama bulan Maret dengan Marah Karet.

Salah satu sifat karet adalah elastis dan tulisan ini memberi fokus padanya. Hendaknya marah perlu memiliki batas minimal dan maksimal. Artinya, marah dalam batas tertentu perlu dilepaskan dengan mendatangkan efek jera. Penting untuk menyatakan kesalahan demi menghindari amarah yang menahun. Sebab marah yang ditahan akan menimbulkan kebencian.

Namun, ada marah yang perlu diminimalkan untuk tujuan tertentu pula. Apakah itu? Mengampuni. Mengampuni sama halnya dengan mengaretkan atau menyusutkan sebuah kemarahan.

Sobat... ternyata gak hanya waktu aja yang bisa jadi karet, alias jam karet. Ada kemarahan yang seharusnya dikaretkan dan bukan waktu. Ada tujuan kita perlu meredam kemarahan kita. Seorang motivator bernama Merry Riana pernah menyatakan "seseorang yang mudah marah sama seperti seekor kepiting. Sedikit saja rangsangan menyentuh tubuhnya, ia langsung menyerang dan mencapit musuhnya tanpa terkecuali. Adalah benar pertahanan untuk melawan musuh bagi seekor kepiting adalah capitannya, tetapi justru itu juga yang sekaligus menjadi kelemahan yang digunakan oleh para pemancing atau nelayan untuk menangkapnya. Tangkapan itupun berujung pada akhir hidup dari seekor kepiting."

Ini akibat tidak mampu mengenali mana hal yang harus diserang dan mana marah yang perlu diredam.

Karena itu, sekali lagi jika pertanyaannya bolehkah kita marah? Boleh. Tetapi marah yang harus elastis. Sekian.

04 Maret 2021

KJS




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline