Pada umumnya orangtua menduga bahwa kebutuhan anak mereka hanyalah terbatas kepada makanan, minuman, pakaian, pemilikan barang mainan, serta pendidikan. Padahal anak juga membutuhkan didikan melalui kedisiplinan dalam rangka pembentukan dan pengembangan wataknya secara sehat. Melalui kedisiplinan yang diajarkan orangtua, diharapkan anak dapat secara kreatif dan dinamis mengembangkan ketertiban hidupnya dikemudian hari.
Kasih dan disiplin harus berjalan bersama-sama secara seimbang. Kasih tanpa disiplin mengakibatkan munculnya rasa sentiment atau ketidak pedulian. Karena kasihnya, ada saja orangtua yang tidak tegas dalam hal menetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi anak. Pada umumnya orangtua tidak tega melihat anaknya menangis karena harus mematuhi aturannya. Pada akhirnya, orangtua melonggarkan aturannya tersebut, dan memberikan kebebasan yang tidak mendidik. Mereka tidak sadar bahwa dengan ketidak tegasannya tersebut, perlahan membentuk anak bertumbuh dalam kemanjaan. Sebaliknya, jika orangtua menegakkan disiplin secara keras dan ketat (apalagi tanpa kasih), hal itu akan menjadi sebuah tirani (tindakan kejam). Di kemudian hari, akar kepahitanlah yang cenderung bertumbuh pada diri anak.
Karena berbagai alasan kesibukan, orangtua tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang cara mendisiplin anak. Sehingga orangtua abai akan kebutuhan anak dalam hal disiplin. Bagi orangtua yang memiliki kemampuan finansial, pengasuhan anak diserahkan saja kepada pembantu yang biasanya tidak berani bersikap tegas. Akibat kurangnya disiplin yang baik dan benar, dikemudian hari anak memberontak, sulit dikendalikan, mencari perhatian secara berlebihan. Anak akan terus menipu, mengakali, atau memanipulasi orangtuanya, supaya ia memperoleh kebebasan dan kemenangan menurut versinya. Ada juga anak yang berani mengancam orangtuanya jika tidak memenuhi atau mengabaikan keinginannya. Orangtua demikian tentu akan mengalami konflik berkesinambungan dengan anaknya, bahkan tidak jarang yang mengalami kekecewaan dan perasaan terluka.
Paul Meier (1981) menegaskan bahwa karena pentingnya disiplin anak, Raja Salomo, Penulis Kitab Amsal sampai menuliskan kepada kita beberapa nats mengenai tugas orangtua untuk mendisiplinkan, sebagai berikut: "Siapa tidak menggunakan tongkat benci kepada anaknya, tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya" (Ams. 13:24). "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya" (Ams. 19:18). "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak menyimpang dari pada jalan itu" (Ams. 22:6). "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu daripadanya" (Ams. 22:15). "Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalua engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan tetapi engkau menyelamatkannya dari dunia orang mati" (Ams. 23:13, 14). "Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya" (Ams. 29:15). "Didiklah anakmu, makai a akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu" (Ams. 29:17).
Agar sikap kedisiplinan pada anak bertumbuh, ayah harus mendapat tempat sebagai kepala dalam rumah tangga dan ibu sebagai pendampingnya, Ibu bukan sebagai saingan bagi ayah. Ibu tidak boleh mendominasi peran ayah sebagai kepala atau pimpinan dalam rumah tangga. Kalau ayah tidak berperan sebagai kepala dalam rumah tangga, maka anak tidak memiliki idola yang jelas, tidak mempunyai konsep otoritas secara jelas pula. Akhirnya, keadaan demikian dapat menimbulkan gangguan kepribadian pada anak seperti timbulnya pemberontakan terhadap orangtua dan otoritas lainnya. Jadi, sangatlah bijak bagi ibu dalam rumah tangga untuk membangun semangat atau motivasi suaminya supaya mengambil kepemimpinan yang melayani, bukan menguasai secara keras dan paksa. Sebaliknya, para suami harus membuka kesempatan bagi istrinya menjadi pendukung, penolong, di dalam menegakkan kedisiplinan dalam segala aspek.
Beberapa prinsip efektif bagi orangtua di dalam mendisiplinkan anak dapat dipelajari orangtua, diantaranya: pertama, Orangtua harus mengembangkan rasa hormat dalam diri anak terhadap orangtuanya sendiri. Jangan menuntut anak memberikan rasa hormat sebagaimana kebiasaan kita di masyarakat. Rasa hormat itu harus ditumbuhkan dari dalam diri anak, melalui inisiatif orangtua dalam komunikasi yang akrab, lalu dikembangkan dan dipelihara dengan penyediaan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan si anak. Dengan demikian anak belajar mengenal otoritas orangtuanya secara benar dan tepat.
Kedua, orangtua harus menghukum anak atas tingkah lakunya yang secara jelas memberontak atau menentang orangtua; melawan terhadap aturan yang sudah diterangkan dan ditetapkan atau disetujui sebelumnya. Hukuman fisik harus dikenakan bagi anak, pada bagian "pantat" (spanking). Orangtua jangan melakukan hukuman fisik dalam kondisi marah atau sangat emosional. Mereka harus mengendalikan dirinya, supaya tidak melukai anaknya. Kemudian, orangtua harus memberitahukan mengapa ia melakukannya. Hukuman jangan diberikan kepada anak jauh setelah anak melupakan pelanggaran yang dibuatnya. Misalnya, kesalahan kemarin atau minggu lalu baru dikenakan hukuman sekarang. Sebab, anak mudah lupa atas pelanggarannya. Kalau anak sudah berusia Sembilan tahun, maka tidak tepat lagi memukulnya dibagian pantat, atau mengenakan hukuman fisik pada bagian tubuh lainnya. Hukuman fisik tidak efektif lagi. Untuk anak di atas usia Sembilan tahun orangtua paling-paling hanya menekan bagian tertentu dari bahunya untuk menyadarkan dirinya bersalah. Bentuk hukuman lain seperti mengurangi uang jajan, tidak menonton TV, tidak memainkan HP atau Gadgetnya dalam waktu beberapa lama, atau tidak boleh bermain dengan teman untuk waktu tertentu. Hukuman-hukuman seperti ini dapat digunakan sebagai pengganti hukuman fisik. Perlu dipahami, bahwa tujuan hukuman adalah agar membuat anak selalu sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.
Ketiga, orangtua harus mengendalikan diri agar tidak menyimpan amarah berkepanjangan. Janganlah ia menyimpan emosi benci terhadap anak manakala menghukumnya secara fisik. Untuk meredakan emosi yang meninggi adalah baik bila sebelum melakukan hukuman fisik orangtua menghitung angka satu sampai angka sepuluh. Jika ada benih kekesalah terhadap pribadi anak, maka hal itu harus diselesaikan dihadapan Tuhan. Anak harus diterima apa adanya, sebagai milik Tuhan yang dititipkan kepada orangtua.
Keempat, orangtua tidak seharusnya memberikan sogokan kepada anak, agar ia berlaku tertib. Misalnya, supaya anak tidak menangis di gereja ketika orangtua beribadah, kepada anak diberikan permen terus menerus. Seharusnya yang diberikan adalah kegiatan pengganti seperti menggambar dan mewarnai gambar.
Untuk mendisiplinkan anak, orangtua juga dapat memperkuat sikap dan perilaku positif diperlihatkan dengan cara menghargai anak. Kalau ada hal positif yang dilakukan anak, anak patut dipuji, ia patut mendapat sanjungan orangtua. Jangan dianggap remeh upaya anak dalam hal kebaikan dan ketertiban hidup. Orangtua jangan gengsi mengakui sikap dan perbuatan baik anaknya. Prinsip ini disebut upaya penguatan atau reinforcement. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan hadian karena ia berbuat baik.
Prinsipnya dalam membangun sikap disiplin pada diri adalah sebagai berikut: